Mohon tunggu...
Nisa Istiqomah
Nisa Istiqomah Mohon Tunggu... Guru -

teach, write, read, city trip

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Reuni Riana

19 Oktober 2017   09:29 Diperbarui: 19 Oktober 2017   09:33 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau bukan karena desakan beberapa kawan, tentu aku tidak akan berada di tempat ini. Kalau saja mereka belum mengeluarkan uang sepeser-pun untuk mendesakku lebih kuat, tentu aku masih dapat mengelak. Kalau saja.

Nyatanya itu semua hanya kalau. Desakan mereka yang kuat serta uang yang mereka keluarkan demi lebih kuat lagi mendesakku cukup berhasil. Entah apa yang membuatku menyerah. Mungkin ikatan persahabatan kami yang erat sehingga cukup merobohkan rasionalitas yang kubangun sendiri.

Karena jujur saja, aku malas menghadiri acara reuni. Let the past behind, itu lah yang kuyakini. Masa lalu adalah hal yang paling jauh dari diri kita dan masa depan siap menanti. Jadi untuk apa kita mengingat-ingat masa lalu yang tidak akan pernah bisa kembali? Terkesan filosofis, memang.

Dan jadilah aku di sini. Bersama orang-orang yang hampir sepuluh tahun lalu, aku bertemu dengannya. Sepuluh tahun memang waktu yang tidak singkat. Ada banyak kejadian yang manusia alami dalam kurun waktu sepuluh tahun. Ada serangkaian fenomena alam yang terjadi dalam waktu itu. Alam berubah dan manusia pun berubah.

Termasuk kawan-kawanku. Aku masih ingat dulu aku punya banyak teman di sini. Aku mengenal banyak orang meskipun tidak bisa dikatakan gaul. Tapi ketika aku menghadiri perkumpulan ini mendadak aku merasa seperti terisolir. Seolah aku hanya mengenal lingkaran kecil sahabat-sahabatku. Karena aku sudah tidak mengenali mereka yang berubah begitu banyak. Bahkan aku harus menunggu mereka menyapaku sebelum aku mengenalinya dan berbincang-bincang dengannya.

Seorang perempuan dengan gaun merah satin itu, menghampiriku. Aku sudah merasakan dia beberapa kali menatapku dari kejauhan. Tetapi apalah daya aku tidak bisa mengenalinya maka aku pasrahkan saja akankah dia mengenaliku atau tidak.

"Riana", serunya.

Rupanya dia mengenalku. Melihatku hanya menyambut uluran tangannya dan tersenyum penuh tanda tanya, dia segera menyebutkan namanya. Lalu seketika itu pula aku mengingatnya.

Kami berbincang membicarakan kesibukan masing-masing. Oh, maaf, lebih tepatnya dia yang membicarakan kesibukannya. Dia bercerita kalau dia baru saja pulang dari Somalia. Dia sangat senang bisa kembali ke tanah air dan berjumpa dengan keluarganya setelah bergelut dengan program  pengentasan kemiskinan di daerah itu selama enam bulan. Minggu depan dia akan berangkat ke Yaman untuk program serupa. Pekerjaannya sebagai project manager UNDP menuntutnya untuk berpindah dari satu negara ke negara lain. Secara tidak langsung menjadi traveler, begitu katanya.

Aku sungguh tercengang dengan kisah suksesnya. Apalagi jika aku ingat bagaimana dirinya sepuluh tahun yang lalu. Rasanya aku tidak percaya. Bahwa perempuan yang ada didepanku ini adalah perempuan yang sama yang selalu mendapat nilai jelek di hampir semua mata pelajaran, kecuali bahasa inggris. Perempuan ini adalah teman sekelasku dulu yang sering dihukum guru karena suka ngerumpi ketika guru menerangkan materi.

"Kamu sekarang kerja di mana, Riana?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun