Mohon tunggu...
maftuhul fahmi
maftuhul fahmi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Apa Atau Siapa?

19 September 2017   20:03 Diperbarui: 19 September 2017   20:10 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Terkadang orang mempunyai persepsi bahwa 'lihatlah siapa yang memberikan, bukan apa yang diberi'. Namun, persepsi itu terbalik disebabkan tidak adanya kegunaan dari penalaran terhadap siapa yang memberi.

Orang miskin terkadang memberikan pelajaran kepada kita yang mampu akan pentingnya belajar menghargai sesuatu terutama waktu. Semut terkadang memberikan kita pelajaran akan pentingnya pondasi ukhuwwah antar sesama yang kita bangun. Murid terkadang mengingatkan guru saat guru melakukan kesalahan yang tak pantas dilakukan atau kesalahan yang tak perlu dilakukan. Orang non-Islam terkadang memberikan kita sebagai muslim yang taat akan agama tentang suatu pelajaran akan nilai kedisiplinan dan kebersihan, padahal Islam telah mengajarkan semuanya.

Islam mengajarkan kita untuk menghargai apa yang diberikan bukan siapa yang memberi. Rasulullah SAW. Bersabda :

  : " "

"Lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan".

Betapa besar perhatian Islam terhadap etika ini. Betapa tidak, bayangkan saja jikalau guru selalu benar dan ketika salah tidak mau mengakui kesalahannya kecuali ditegur sesama atau atasannya. Maka yang terjadi, kesalahan itu akan dinilai selalu 'benar' dan ia 'enjoy' dalam melakukan kesalahan tersebut. Islam di sini selain mengajarkan suatu nilai yang agung, namun juga mengajarkan kesetaraan hak dalam memberikan nilai-nilai/norma-norma yang benar. 

Tidak peduli apakah itu manusia di bawahnya, makhluk Allah yang lain, dan lain sebagainya, yang penting apa yang diajarkannya adalah suatu kebenaran. Jika kita memandang terus-menerus terhadap siapa yang memberi, siapa yang mengajarkan, siapa yang mengingatkan, dan lain sebagainya, maka kita tidak akan menghargai apa yang disampaikannya, apalagi orang itu level-nya masih di bawah kita (dalam aspek jabatan, harta, kecerdasan, dan lain sebagainya). Meski sebenarnya kita benar tetapi ada orang lain yang menyanggahnya, maka sebaiknya kita menghargainya dalam konteks menuju suatu kesempurnaan (dengan saran tersebut).

Terkadang orang juga mempunyai suatu doktrin bahwa 'lihatlah apa yang diberikan, jangan lihat siapa yang memberi' itu benar. Namun, doktrin tersebut kurang tepat bila kita dihadapkan suatu keadaan yang mengharuskan kita menalar akan 'siapa yang memberi'. Terkadang presiden memberikan penghargaan kecil terhadap siapa saja yang dapat membantu negara dalam segala aspek. Terkadang karya seorang yang bagus diberi penghargaan yang kecil (dalam nominal uang) oleh seorang ulama' yang khos akan karya yang intelektual tersebut. Terkadang kita diberi ucapan selamat ulang tahun oleh kekasih kita. Terkadang kita diberi nikmat oleh Allah dalam suatu keadaan, aka tetapi intensitas nikmat tersebut kecil. 

Dari beberapa fenomena di atas, maka yang harus kita dalami adalah 'siapa yang memberi' bukan 'apa yang diberi'. Bila kita melihat 'apa yang diberi' maka rasa syukur kita terhadap Allah, rasa penghargaan kita terhadap sesama, dan rasa persaudaraan kita akan hilang dan makin luntur, karena kita hanya memandang segi 'materialistis'-nya saja tanpa memandang segi 'humanism'-nya (baca : menghargai siapa yang memberi). Aspek yang terlibat dari urgensi penalaran 'siapa' dibanding 'apa' terhitung banyak. Salah satunya adalah penekanan kita dalam penalaran lebih terhadap penghargaan yang diberikan oleh orang yang kita anggap lebih dari kita tanpa memandang segi 'materialistis'-nya. Karena nilai orang yang memberikan penghargaan kita tersebut lebih berharga daripada apa yang diberikannya. Misalnya saja, kekasih kita yang memberi ucapan selamat ulang tahun kepada kita. Bila kita hanya memandang apa yang diberinya yakni ucapan selamat ulang tahun saja, maka kita takkan pernah menghargai siapa yang memberi ucapan tersebut, terutama dalam perasaannya kepada kita. Pada intinya, semuanya menekankan untuk menghargai siapa yang memberi terutama dari siapa yang level-nya di atas kita.

Kita telah melihat dua persepsi yang sama benarnya dan sama shohih-nya. Dua persepsi di atas sama benarnya dan sama shohihnya, tinggal kita saja yang harus menempatkannya dalam suatu keadaan yang tepat. Seringkali kita menempatkan dua persepsi itu bersamaan atau menempatkannya tidak sesuai pada tempatnya. Maka yang terjadi bukanlah nilai etika dan nilai kebersamaan yang ada, namun nilai egoisme akan kebenaran dan keluhuran diri sendiri yang akan terbentuk. Mari kita melihat apa yang harus kita cermati dalam menilik lebih dalam kedua persepsi tersebut.

ASPEK\\PERSEPSI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun