Mohon tunggu...
Miftahul Arifin
Miftahul Arifin Mohon Tunggu... lainnya -

Bekerja Untuk Keabadian

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Aku Muderat, Antara Takdir Tuhan dan Usaha Manusia

1 Desember 2013   03:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:28 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tuhan menciptakan saya tidak untuk diam. Tuhan pun menciptakan saya tidak untuk berontak dan mengabaikan-Nya dalam kehidupan. Tuhan hanya ingin saya berbuat sesuai dengan hukum alam yang telah dibuat oleh-Nya. Karenanya ia menciptakan akal untuk saya, dan menyuruh saya untuk berfikir atas apa yang harus saya lakukan untuk mendapat ridhonya.

Dalam kehidupan sehari-hari, tak jarang manusia menyalahkan orang lain atas keadaan dirinya yang mungkin kurang sesuai dengan harapan. Kurang beruntung kalau saya boleh menyebutnya. Bahkan bisa saja ia menyalahkan tuhan dengan mengatakan bahwa tuhan tidak peduli dengan hidupnya.

Banyak pula orang yang hanya menggantungkan diri kepada orang lain. Orang lain dianggap lebih bisa untuk mensukseskan sesuatu apa yang diharapkan. Dan termasuk pula tuhan: ia diangaap memiliki peran yang sangat vital dalam proses perjalanan hidupnya. Sehingga ketika yang diharapkan itu tidak tercapai ia akan menggap bahwa ini adalah bagian dari renacana dan ujian dari tuhan. Akibatnya, ia menumpulkan otaknya dan membiarkannya berkarat.

Menarik sekali, bagi saya, sebuah artikel yang diposting di kompasiana.com. Judulnya“Pelajari Cara agama menipu Anda”. Artikel itu ditulis oleh Revo Samantha dengan akun www.kompasiana.com/RevoSamantha. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia merupakan proses alamiah, tidak ada mistifikasi misterius dalam prosesnya. Ia menyayangkan bahwa manusia malas dan gagal dalam memahaminya.

Ada tiga pemisalan yang ditulis oleh Revo. Pertama, seorang pemeluk agama (orang yang menyakini adanya tuhan) ketika merasa sakit mereka akan meyakini bahwa itu cobaan dari tuhan. Padahal menurut dia, itu merupakan kecerobohan dan ketidakberdayaannya dalam menjaga kesehatan diri.

Kedua, jika seorang pemeluk agama gagal dalam hidupnya, mereka meyakini bahwa tuhan belum memberi kemudahan dalam hidupnya. Padahal, menurutnya, bila dirunut semua itu merupakan hasil dari berfikir dan cara bertindak yang tidak terarah.

Dan tetiga, jika seorang pemeluk agama merasa tidak bahagia dalam hidupnya, maka mereka meyakini bahwa Tuhan belum memberkati hidupnya. Padahal yang terjadi, mereka malas dan gagal menata pikiran dan hati mereka.

Begitulah seterusnya.

Dalam kontek hubungan tindakan manusia dan tuhan, dalam ilmu kalam, setidaknya kita mengenal tiga aliran yang mungkin bisa mewakili seluruh aliran yang tak sedikit jumlahnya. Ketiga aliran itu Mu’tazilah, Qadariah dan Asy’ariah.

Faham Mu’tazilah yang berciri rasional menganggap bahwa manusia adalah penentu segalnya. Ia mentukan dirinya dan tidak ada peran tuhan dalam setiap tindakannya.

Adapun faham Qadariah menganggap bahwa manusia berada dalam genggaman tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan tuhan. Manusia tidak punya kuasa untuk melakukan apapun. Tuhanlah yang menggerakkan manusia, dimana pun dan kapan pun.

Sedangkan faham Asyariah berada pada posisi tengah dari kedua paham tersebut. Ia mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah kehendak manusia tanpa lepas dari kehendak tuhan. Manusia memiliki kebebasan melakukan apapun, tetapi masih berada dalam kehendak tuhan. Tuhan meberikan daya untuk manusia dan tindakan manusia sesuai dengan daya yang telah diberikan oleh tuhan.

Sebagai orang yang telah sedikit banyak mempelajari ketiga aliran tesebut, saya tidak meyakini untuk kemudian mengikuti dua paham yang pertama, Mu’tazilah dan Qadariah. Pikiran dan hati saya menolak jika tuhan memberikan kebasan yang se bebas-bebas kepada manusia dan saya pada khususnya tanpa ada peran tuhan di segala tindakan yang saya lakukan.

Begitupun pada paham yang kedua, hati saya akan berontak jika saya harus diibaratkan seperti seperti robot yang selalu disetir melaui remot kontrol oleh tuhan, tanpa diberi kesempatan untuk melakukan sekehendak hati dan pikiran saya. Untuk apa tuhan menciptakan akal jika pada akhirnya saya sepenuhnya harus dikendalikan oleh tuhan? ini kurang masuk akal bagi saya.

Saya hidup dengan masyarakat, teman dan tetangga. Seluruh interaksi saya dengan mereka berjalan sesuai proses alam yang diciptakan oleh tuhan sebagai pencipta pertama.

Apa yang saya yakini ini mungkin ada kaitannya dengan beberapa pengalaman hidup yang saya jalani. Kebetulan sekali, ketika saya menulis catatan ini, setidaknya ada dua hal yang menimpa hidup saya. Pertama, mungkin saya termasuk orang yang sangat minim dalam bidang ekonomi. Sebagai seorang perantau yang jauh dari keluarga, sayamenyambung hidup dari hari ke hari dengan kerja sederhana dan tidak menentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun