Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hai Ibu Puan, Apa Kabar Revolusi Mental?

13 Agustus 2017   08:32 Diperbarui: 13 Agustus 2017   14:33 2360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas.com: Puan Maharani

Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo menyadari apabila fenomena intoleransi dan Suku, Agama, Ras (SARA) kini telah menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Fenomena itu terlihat salah satunya dari dinamika masyarakat yang seringkali mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dipermasalahkan beberapa tahun lalu.

Di antaranya penolakan pembangunan patung sampai merobohkan serta membakarnya karena dianggap tidak sesuai dengan nilai yang ada di satu agama. Padahal sebagian patung yang ditolak itu dibuat komunitas agama lain yang berbeda dari agama penolak sebagai sarana sembahyang.

Ada pula penolakan terhadap pemimpin beda agama dengan agama mayoritas. Mereka yang menolak menilai tidak pantas pemimpin beda agama memimpin mereka karena dilarang agama. Penolakan terhadap budaya dan tradisi lokal seperti wayang, tarian tradisonal sampai tahlilan karena dianggap tidak sesesuai dengan nilai satu agama.

Yang lebih parah lagi kini nilai intoleransi sudah mulai masuk dunia pendidikan dari sekolah dasar (SD) sampai perguruan tinggi (PT). Masuknya nilai intoleransi ke lembaga pendidikan ini salah satunya melalui dosen dan guru. Mereka sebagai pengajar berusaha menanamkan nilai intoleransi yang diyakininya kepada pelajar melalui pelajaran di sekolah maupun kampus.

Dogma selama ini yang menempatkan pengajar selalu benar membuat sebagian pelajar percaya begitu saja apa saja yang disampaikan pengajar. Termasuk soal nilai intoleransi. Biasanya itu banyak disampaikan oleh guru agama, dan ada pula guru atau dosen ilmu lain. Dengan telah masuknya nilai intoleransi ke setiap sekolah kini telah ada beberapa sekolah yang tidak melaksanakan upacara bendera setiap hari Senin, padahal itu wajib.

Ada pula organisasi masyarakat (ormas) yang menggeruduk sekolah saat berlangsungnya upacara bendera dan mengintimidasi pelajar agar tidak hormat kepada bendera merah putih. Sekolah juga ada yang tunduk kepada pelajar yang memilih tidak hormat bendera saat upacara karena meyakini hormat bendera tidak sesuai dengan nilai agama.

Bahkan pelajar beragama mayoritas kini tidak segan mengintimidasi temannya yang beragama lain dengan mengatakan agama yang diyakininya tidak benar. Tidak sedikit orangtua yang mengeluh tentang anaknya yang bercerita sepulang sekolah bahwa gurunya saat di sekolah menyampaikan agama mayoritas paling benar dan teman yang tidak seagama dengan mereka layak dijauhi.

Presiden yang akrab disapa Jokowi ini beberapa waktu lalu sudah berinisiatif membubarkan salah satu ormas agama yang dinilai akan mengganti ideologi negara dengan ideologi agama. Namun sebenarnya pembubaran ormas saja tidak cukup, yang lebih dibutuhkan sekarang sebenarnya adalah pembangunan mental manusia. Organisasi dibubarkan tapi belum tentu ideologi ikut bubar. Meski telah dibubarkan mereka tetap ada dan berlipat ganda apabila tidak disertai pembangunan mental kebangsaan.

Jokowi menilai fenomena intoleransi ini terjadi karena ada kekosongan ruang selama 19 tahun lalu sejak reformasi. Berbeda saat masa orde baru yang menggalakkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila melalui berbagai penataran. "Sembilan tahun ruang itu tak ada yang mengisi, sehingga ada kelompok yang mengisi," kata Jokowi dilansir dari Tempo.co.

Jokowi sebenarnya sudah menyadari fenomena intoleransi sejak dia akan menjabat Presiden RI. Karena itu dia membuat program Nawacita berisi sembilan program. Mengenai perlawanan terhadap intoleransi ada di program nomor delapan dan sembilan.

Di antaranya nomor delapan yang menyatakan akan melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Dan nomor sembilan, memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun