Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Puji Tuhan Ketika Orang Jawa Tak Perlu Unjukrasa di Papua

10 Agustus 2017   01:03 Diperbarui: 10 Agustus 2017   02:07 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Radar Malang: Orang Papua saat unjukrasa di depan Kantor DPRD Kota Malang, Rabu (9/8/2017).

Pagi menjelang siang, arus lalulintas di Bundaran Tugu Kota Malang sedikit tersendat, Rabu (9/8/2017). Rupanya itu karena ada aksi unjukrasa puluhan orang Papua yang memanfaatkan sebagian badan jalan di depan Kantor DPRD Kota Malang.

Tidak ada yang gawat dari unjukrasa itu. Kantor DPRD beraktivitas seperti biasanya. Sejumlah polisi tak lebih dari 10 orang mengawal mereka sembari mengatur lalulintas. Pengendara berlalu-lalang begitu saja seakan sudah biasa dengan kegiatan semacam itu. Termasuk mobil berplat merah N 2 AP dengan pengawalan patwal yang kebetulan melaju tepat di depan saya. Mobil itu setelah melintas di depan pengunjukrasa masuk ke Balaikota tepat di sebelah Kantor DPRD. Kebetulan pula di dalam Balaikota petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sedang aksi mengumpulkan berkas-berkas dugaan korupsi.

Saya sendiri yang mengendarai sepeda motor juga demikian. Sempat meraih selembar kertas kecil dari seorang pengunjuk rasa wanita, saya melaju begitu saja. Niat hati ingin berhenti meminggirkan sepeda motor lalu berbincang dengan mereka, tapi saya terlalu disibukkan dengan rutinitas.

Saya sempat terperangah dengan poster gambar mayat pria dengan luka tembak yang tertulis nama Yulius Pigai. Mengingatkan dengan nama seorang komisioner Komnas HAM asal Papua. Kertas kecil dengan tulisan yang kecil pula dan harus memicingkan mata untuk membacanya berisi informasi kekerasan aparat yang menyebabkan Yulius Pigai tewas tertembak peluru.

Menurut tulisan itu, peristiwa terjadi Selasa (1/8/2017) pukul 17.45 WIT. Awalnya warga kampung Oneiebo, Tigi Selatan, Deiyai mendapat kabar seorang warganya, Ravianus Douw (24) tenggelam di sungai saat mencari ikan. Warga bergotong-royong dan berhasil mengevakuasi, tapi kondisinya kritis.

Warga lalu meminta tolong kepada karyawan PT DK yang mengerjakan proyek jembatan sungai Oneibo mengantar Ravianus ke RSUD Madi, Paniani. Namun menurut tulisan itu para karyawan perusahaan yang memiliki fasilitas kendaraan tidak berkenan membantu.

Seorang warga lalu berinisiatif berlari sejauh 10 kilometer ke Wagete meminta bantuan mobil untuk mengantar Ravianus yang kritis. Cukup lama menunggu sampai hitungan jam akhirnya mobil yang ditunggu datang. Ravianus diantar pakai mobil tapi sampai di RSUD dia sudah meninggal dunia.

Mendapati kenyataan demikian, warga emosi dan melampiaskan amarahnya dengan merusak fasilitas PT DK. Sekitar pukul 17.45 WIT pasukan Brimob Polres Pania bersenjata datang ke lokasi untuk meredam warga. Tujuh warga tertembak, satu di antaranya Yulius Pigai. Dia tertembak di kedua paha dan kemaluan. Sempat kritis dan dilarikan ke Rumah Sakit Pratam Deiyai, Papua. Namun dia tidak bertahan lama dan meninggal dunia pukul 07.00 WIT.

Sampai di sini saya sudah sedih ketika membayangkan betapa rumitnya hidup di Papua. Untuk mengantar orang yang sudah kritis saja harus berlari sejauh 10 kilometer meminta mobil. Menunggu mobil datang dalam hitungan jam dan mengantarkannya ke rumah sakit yang jaraknya tidak dekat. Belum lagi saya bayangkan jalanan yang berat, penuh liku dan tidak beraspal.

Berbeda dengan kehidupan saya di Jawa. Kalau ada kasus demikian, puskemas ada di setiap kecamatan atau bahkan desa untuk setidaknya memberikan pertolongan pertama. Belum lagi beberapa dokter yang buka praktik. Rumah sakit swasta atau milik pemerintah banyak berdiri. Dan tidak harus berlari sejauh 10 kilometer mencari bantuan mobil untuk menuju rumah sakit karena akses cukup mudah dan moda transportasi banyak bertebaran.

Puluhan orang Papua yang menamakan diri Front Persatuan Rakyat dan Mahasiswa Anti Militerisme itu menuntut tanggungjawab pemerintah atas tragedi itu. Mereka juga menolak rencana pembangunan lima pangkalan militer di lima wilayah di Papua. Bagi mereka keberadaan aparat di Papua tidak lebih hanya untuk mengamankan aset perusahaan saja dan bukan sebagai pengayom masyarakat. Dalam sejumlah konflik yang melibatkan warga setempat dengan perusahaan, aparat dituding lebih membela pihak perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun