Selasa pagi (3/1) tiba-tiba kakak saya mengirim pesan lewat WA. Intinya pinjam mobil saya untuk belanja ke pasar tradisional Peterongan Semarang. Tak hanya memperbolehkan tetapi saya ikut ke pasar juga untuk "bernostalgia".
Dulu sewaktu masih kecil saya sering diajak ibu saya ke pasar. Seingat saya, membantu membawakan barang belanjaan ibu, merupakan alasan mengapa saya diajak ke pasar pagi-pagi buta. Saya tak keberatan dengan alasan itu selain sudah menjadi kewajiban seorang anak wajib membantu ibu.
Tiba di pasar, suara keriuhan transaksi antara penjual dan pembeli melalui proses tawar menawar, seperti nyanyian rakyat yang indah didengar di telinga seorang bocah kecil. Tak hanya itu, lalu lalang jasa pengangkut barang dagangan entah itu sayur mayur, bumbu rempah, potongan daging, ikan basah atau ikan kering, olahan makanan seperti tempe tahu ataupun buah-buahan, berlangsung begitu dinamis dan mengekspresikan keberadaan sebuah pasar.
Saat mendampingi kakak petempuan saya tawar menawar harga yang akan dibeli, seorang lelaki paruh baya menawarkan jasa ukur tensi tekanan darah dan berat badan. Dalam hati, apa ada yang mau memakai jasa kesehatan di tengah keriuhan pasar. Sempat meragukan, tapi itulah pasar.
"Yang buka usaha warungan atau rumah makan pagi-pagi sudah datang untuk belanja kebutuhan dasar rumah makannya" kata kakak saya. "Sayuran-sayuran segar seperti kol, wortel, tomat, bayam, daun bawang, sawi dan lainnya itu didatangkan langsung dari Bandungan, Ambarawa  atau Kopeng sejak dini hari agar tidak layu kena matahari" imbuh kakak saya.
Ucapan kata mahal dan murah sering dilontarkan baik pembeli maupun penjual di pasar saat transaksi. Naik turunnya harga menjadi indikator sejauh mana daya beli konsumen terhadap barang kebutuhan dasar. Juga memberi gambaran nyata tentang besar kecilnya permintaan konsumen pada barang yang dibutuhkan.
Di sisi lain, kesan kurang baik tentang pasar muncul dalam benak saya. Selain pasar identik dengan kumuh, becek, sampah yang menumpuk, aroma tidak sedap dan ketidakteraturan penempatan barang dagangan, juga pasar tradisional belum ditata kelola secara modern.
Pasar tradisional yang bersih, teratur, dan indah dipandang jarang saya temukan. Kesan pasar modern masih didominasi oleh kehadiran supermarket, mall, atau pasar grosiran tetapi belum bisa disebut pasar rakyat.