Mohon tunggu...
Muhammad Fikrillah
Muhammad Fikrillah Mohon Tunggu... Swasta -

Pembelajar hingga batas terjauh.\r\nAyah dari Muhammad Abiyyu Maisan \r\ndan Muhammad Dzaky Naufal. \r\nMotto "hidup, berarti, dan tiada". \r\nAkumulasi asa, serpihan coretan, dan kegalauan terhadap lingkungan sekitar. Lewat kata, mari menyuarakan. Saatnya berekspresi, keluar dari pasungan yang membungkam dan mengekang kebebasan. Terimakasih atas kesediaan Anda mampir di dinding ini. Coretkan apa saja. Semoga kita menjadi teman yang menyenangkan, berbagi pengalaman hidup, suka-duka, rajutan cerita, dan sudut pandang. Salam hangat… \r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Korek Api-nya Muhammad Ali

23 April 2013   22:43 Diperbarui: 4 Juni 2016   13:20 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bulan lalu, saya menonton parade pertandingan seru petinju Muhammad Ali pada satu stasiun TV. Pria bernama asli Cassius Marcellus Clay Jr itu selalu saja menarik disimak dan selalu menjadi berita. Gaya bertinju lincah dan teknik hit and run-nya ampuh mematikan lawan. Itu adalah pesona khas Ali. Seperti yang dikatakannya, ‘mengapung seperti kupu-kupu dan menyengat bagai lebah’. Ya, Ali adalah king of the ring pada masanya. 

Ali adalah ‘The Greatest’. Dilahirkan pada 17 Januari 1942 di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Ayahnya, Cassius Marcellus Clay Sr, adalah pelukis papan nama dan reklame. Ibunya, Odessa Grady Clay, seorang pembantu rumah-tangga.

Tahun 1980-an, saat saya masih bocah, pertarungan Ali adalah tontonan paling menarik dan menantang. Menarik karena gaya khasnya nan menghibur. Sisi menantangnya adalah karena TV masih jarang, sehingga kalau ingin menonton harus berdesakan. Maklum, akses teknologi ketika itu masih terbatas.

Namun, mungkin tidak banyak yang mengetahui sisi komitmen keagamaan pascaperpindahan keyakinan agama petinju ‘bermulut besar’ itu. Suatu reformasi pertahanan diri yang menghijrahkannya ke dalam suasana baru yang lebih beradab. Hijrah keyakinan plus mentalitas ala heroisme Ali. Kemenangan atas Soni Liston diyakininya merupakan ‘waktu Allah’. Di antara tepuk-riuh para pendukung dan kilatan-kilatan lampu kamera, dia mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengumumkan pergantian namanya menjadi Muhammad Ali Clay. Dia yakinn sedang berada di depan kebenaran yang tidak mungkin berasal dari manusia.

Ali mengaku punya satu cara untuk mengendalikan diri dari arus godaan budaya dan kehidupan Amerika yang serbabebas itu. Kita tahu lingkungan Amerika sangat berpotensi menggerogoti nilai keimanan jika saja tanpa kekuatan pertahanan diri. Stok iman bisa tergerus setiap saat pada Negara yang mengagungkan kebebasan itu. Namun, Ali telah menemukan tali kekang yang menggiringnya mampu menjaga jarak. Bagi Ali, Islam adalah the way to Paradise. Religiusitas Ali adalah sisi yang patut dijadikan contoh. Seperti apa?

Ali bermain api lho… Katanya, setiap saat ketika bepergian, dia selalu membawa korek api sebagai pengerem hasrat jiwanya kalau perilakunya bertentangan dengan keyakinan Islam. Pada momentum tertentu, ada saja godaan menghadang. Ali selalu menyalakan korek api dan merasakan Panasnya api itu di jari tangannya. Nalarnya pun bekerja. Api sepanas itu saja sudah menggemuruhkan dadanya, apalagi api neraka yang digambarkan agama bisa menghancur-leburkan tubuh seseorang. Nah, api dari korek itulah yang mampu menjadi semacam rem pengendali Ali dalam interaksi sosialnya dalam dinamika kehidupan Barat yang bebas itu.

Simak saja saat Ali diwawancarai beberapa jam pascaperistiwa rubuhnya gedung World Trade Center dan Islam dituduh sebagai teroris internasional. Seorang wartawan mengajukan pertanyaan. “Bagaimana Anda menjalani hidup sebagai seorang Muslim di Amerika? Apa artinya keyakinan Islam itu bagi Anda?”

Ali pun sigap dengan jawabannya. Jawaban yang mencerminkan kematangan keyakinannya ber-Islam di tengah komunitas masyarakat negeri Obama itu. Katanya, menjalani kehidupan sebagai Muslim di Amerika jelas tidaklah mudah. Pertamakali mengumumkan ke-Islam-an, orang-orang sekelilingnya berfikir itu sesuatu yang lucu. Ali mengerti mereka berpendapat demikian, karena perubahan drastis yang dilakukan terhadap kehidupannya. Namun, Islam baginya adalah tiket menuju surga. Semua manusia akan mati dan akan ada Hari Pembalasan. Nah, adanya Hari Pembalasan tersebut dan keyakinan bahwa Tuhan selalu mengawasi apapun yang dilakukan, menggiring Ali lebih berhati-hati dalam melakukan dan berbuat pada orang lain.

Oleh karena itu, kemana pun Ali pergi selalu membawa sebungkus korek api. Setiap kali terdorong berbuat dosa atau melakukan hal-hal yang tidak pantas menurut keyakinan Islam, maka Ali menyalakannya. Dia pun merasakan panasnya api pada jari-jarinya sampai kesakitan. Setelah itu, Ali meyakinkan diri bahwa api neraka lebih panas dan siksanya abadi dibandingkan panasnya korek api yang baru saja memanggang jarinya. “Saya pun mengurungkan niat tidak berbuat dosa,” katanya seperti dikutip Syech Fathurrahman dalam buku kumpulan khutbah Jumat-nya.

Ali adalah contoh yang bisa diikuti. Membayangkan panasnya api neraka jahanam adalah satu di antara cara untuk mengerem nafsu liar yang merusak keimanan. Ketika hendak mengorupsi uang rakyat, bayangkan gelegar panas api neraka yang jika mengenai besi akan meleleh. Ketika hendak berbuat zina, lintaskan bayangan bunga api yang menyentuh kulit. Ketika hendak menzalimi orang lain, bayangkan balasan yang diterima di akhirat nanti.

Dalam contoh praktis, keteladanan Ali bisa diikuti oleh para perokok. Bukankah gas atau korek api selalu berada di dalam saku perokok. Alat itu bisa digunakan ketika ingin mengerem diri dalam berbagai interaksi sosial yang mengarah pada dosa. Ibu rumah-tangga pun yang akrab dengan korek api dan air mendidih, punya kesempatan mengakrabi cara Ali itu. Ketika tergoda atau baru saja terjebak dalam perbuatan dosa, celupkan jari ke dalam air dan rasakan ‘aroma khas neraka dini’ itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun