Mohon tunggu...
Lia Pram
Lia Pram Mohon Tunggu... Freelancer - a writer

"Just life, we're still good without luck. Even if you lose your way, keep taking light steps that make a click clacking sound. Take your time. There's no right, honestly perhaps everyone wants to cry. Maybe they get angry because they don't want to get sad." –Lee Jieun

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Suatu Siang di Kawasan Pecinan

10 Januari 2020   02:45 Diperbarui: 10 Januari 2020   02:44 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wihara Dharma Bakti Glodok (dokumen pribadi)

Sebenarnya ini cerita yang sudah agak lama.

Berawal dari teman kuliahku, Alif, yang datang ke Jakarta pada Desember 2019 lalu dan numpang menginap di tempatku. Sekalian melepas rindu, katanya, hehehe... kebetulan waktu itu aku juga belum lama resign dari perusahaan sebelumnya jadi ada waktu untuk menemaninya jalan-jalan (walau ujung-ujungnya kami lebih banyak rebahan di kasur saking magernya, hahaha).

Tapi aku bersyukur akhirnya kami jadi keluar juga setelah Alif iseng merekomendasikan kawasan pecinan di area Pasar Glodok. Aku yang dari dulu memang suka dengan hal-hal kultural langsung mengiyakan, pun menjadi yang paling semangat ketika mau berangkat.

Jujur, walau sudah tinggal di Jakarta sejak akhir Februari 2019, aku belum banyak mengenal kota ini karena jarang main ke luar (kemageran ini harus kubunuh di tahun 2020!). Bersama Alif pula aku jadi punya pengalaman pertama naik bus Transjakarta. Aku malah jadi ketagihan meski kaki pegal-pegal dan kadang harus berdiri dempet-dempetan kalau bus sedang ramai penumpang. Tapi berkat pengalaman ini aku jadi belajar menunggu dan terpacu untuk tepat waktu, juga belajar merelakan tempat duduk untuk mereka yang lebih membutuhkan.

Siang itu kami berangkat menggunakan taksi daring menuju Halte Kebon Jeruk, lalu menunggu di sana agak lama sambil terus memperhatikan orang-orang yang datang dan pergi. Kadang aku suka bertanya-tanya dalam hati, "Mau ke mana si bapak ini? Kenapa ibu tua ini sendirian? Terus apa mbak yang satu ini enggak sakit ke mana-mana pakai sepatu hak tinggi?"

Kalau aku jadi mereka--bekerja di tempat yang jauh--apakah aku akan memiliki ekspresi yang sama dengan mereka? Berdiri, resah, menunggu, atau malah sibuk mengalihkan perhatian ke gawai sambil berharap bus yang dinanti segera datang.

Dari Halte Kebon Jeruk kami berangkat ke Halte Harmoni, lalu menunggu lagi di sana untuk berangkat menuju tempat pemberhentian terakhir di Halte Kota. Selama menunggu, Alif sempat bilang, "Yang bikin capek itu bukan berdiri di busnya, tapi nunggu di haltenya."

Aku mengangguk. Belum juga sampai ke tempat tujuan aku sudah mulai pegal-pegal. Panas, lapar, gelisah... sekujur punggung dan kulit kepalaku sudah lengket karena keringat. Diam-diam aku berharap semoga aku tidak bau ketek. Rasanya ingin kusalami satu per satu para komuter yang saat itu juga sedang melakukan penantian yang sama denganku. Ingin kubilang, "Kalian luar biasa!" tapi nanti aku dikira tidak waras, gimana dong?

Sesampainya di tempat tujuan, hal pertama yang kami cari tentu saja tempat makan. Alif berulang kali mengingatkanku agar berhati-hati karena banyak yang menjual babi. Aku terkekeh. Sejujurnya, saat itu aku berharap dapat mencium bau babi panggang, salah satu aroma kesukaanku yang kutemukan saat masih tinggal di Jayapura dulu. Tidak bisa makan tak apalah, yang penting kenyang dengan aromanya saja sudah cukup, hahaha... tetapi dibandingkan aroma masakan babi, bau dupa justru menguar lebih kuat di sepanjang lorong pasar.

Banyak klinik atau apotek yang menjual obat-obat tradisional di sana. Aku yang juga tertarik soal dunia perpijatan dan pengobatan tradisional rasanya ingin mlipir ke setiap tokonya, mengecek apa saja yang mereka jual di sana, dan bertanya-tanya apakah ada ramuan untuk wanita yang berusia 25 tahun agar tetap segar dan bugar.

Sebab meski belum mencapai kepala tiga, badanku rasanya sudah seperti orang tua. Sedikit-sedikit pegal. Apalagi kalau mau datang bulan, seisi perutku seakan-akan seperti sedang digiling di mesin cuci. Kalau sudah begitu, rasanya ingin tiba-tiba tobat dan berdoa agar Tuhan tidak mencabut nyawaku saat itu juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun