Mohon tunggu...
Levia Asriana
Levia Asriana Mohon Tunggu... -

“Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri. Tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan. Berlainan daripada beberapa negeri lainnya di Asia, demokrasi di sini berurat berakar di dalam pergaulan hidup. Sebab itu, ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.” Mohammad Hatta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Iri terhadap Pahlawan

18 Juni 2017   01:35 Diperbarui: 18 Juni 2017   01:51 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apabila saya harus memilih kapan saya hidup, dengan sangat mudah saya akan memilih lahir awal tahun 1900an dimana Hatta, Sjahrir, Soekarno, Agus Salim, Tjokroaminoto, termasuk kakek saya dan para pahlawan favorit saya lahir. Saya sampai pernah bilang pada dosen saya, ia lahir tahun 1942, "ya maksimal seumurlah sama bapak." Kenapa? Karena saya melihat tujuan hidup mereka jauh lebih luhur dari generasi saya saat ini.

Saya selalu terkagum-kagum setiap kali membaca biografi para pahlawan bangsa ini. Pengorbanan mereka yang tiada terkira, mereka mengorbankan waktu, harta, nyawa, keluarga, bahkan apapun untuk kemerdekaan bangsa. Hatta, Sjahrir, Soekarno, Agus Salim, dr. Tjipto, Tan Malaka, dan kawan-kawan menghabiskan waktu mereka di penjara, di tempat perasingan, di saat mereka bebas mereka pergi ke penjuru kota untuk membangkitkan semangat bangsa Indonesia agar merebut kemerdekaan bahkan melawan pemerintahan saat itu dengan resiko nyawa mereka sendiri.

Entah perasaan apa yang saya rasakan kalau bukan rasa iri saat saya membaca kisah hidup mereka. Saya merenungkan diri, apa yang saya perjuangkan dalam hidup saya saat ini kecuali diri saya sendiri atau paling tinggi keluarga saya. Ditengah-tengah hidup yang mendewakan materi, rasanya tak kuasa untuk tidak mengikuti arus. Terkenang Natsir seorang menteri yang menggunakan pakaian dengan tambal disana-sini, Hatta seorang wakil presiden yang tidak mampu membayar tagihan listrik dan PAM rumahnya, atau Agus Salim yang tinggal di rumah kecil dengan atap bocor.

Suatu waktu kakek saya pernah berkata saat melihat adik lelaki saya yang berumur 14 tahun saat itu sedang bermain Playstation, "Seumur dia, Kakek sudah memegang senjata melawan Belanda". Ironis rasanya, Semaoen memulai pergerakan politiknya sejak usia 14 tahun, Hatta yang sejak dulu sudah aktif di oraganisasi kemudian secara serius dan aktif dalam dunia politik saat berkuliah di Belanda pada usia 19 tahun dengan masuk Perhimpunan Indonesia, Tan Malaka juga mulai melakukan pergerakan semasa ia kuliah dan kemudian menjadi seorang komunis, begitu juga dengan para bapak bangsa lainnya yang mengawali pergerakan politik sejak usia sangat belia. Bandingkan dengan kehidupan mayoritas anak Indonesia saat ini yang cenderung egois, apatis, hedonis, dan narsistik. Saya merupakan salah satu dari anak-anak tersebut. Tetapi, apa yang bisa saya lakukan? Saya lahir dimasa kemerdekaan yang semuanya serba ada, instan, mudah dan modern. 

Di SMP dulu, saya melakukan school trip ke Monas di Jakarta. Itu adalah pertama kalinya saya masuk kedalam monas. Saat sampai di tempat dimana dipajang naskah proklamasi yang diketik oleh Sayuti Melik suasana sangatlah ramai dipenuhi para wisatawan yang datang, tidak lama kemudian tiba-tiba terdengar suara dari speaker, seketika itu pula keadaan ruangan menjadi hening berganti dengan suara gagah Bung Karno membacakan proklamasi. Sudah berkali-kali saya mendengar suara Bung Karno membacakan naskah proklamasi baik di televisi maupun radio, tapi baru saat itu saya benar-benar merasa terenyuh, sedih, kagum dalam satu waktu bersamaan saat mendengar suara Bung Karno. Pengalaman itu terjadi kurang lebih delapan tahun yang lalu, tapi sampai saat ini saya masih ingat perasaan itu dan sampai saat ini saya belum pernah lagi pergi ke Monas. Alasan saya menceritakan ini dikarenakan, beberapa tahun setelah itu saya sedang mengobrol dengan kakek saya, kemudian saya bertanya pada beliau bagaimana rasanya mendengar pidato Bung Karno membacakan proklamasi saat itu. Kakek saya bercerita bahwa saat itu, ia dan kawan-kawannya menempati rumah yang dulunya dimiliki oleh orang Jepang, melalui radio mereka mendengarkan Bung karno membacakan proklamasi. Kemudian, kakek saya terdiam, wajahnya yang tadi menghadap saya kemudian menoleh kearah jendela, pandangannya menerawang jauh, sampai saat ini saya tidak pernah lupa kejadian itu, wajahnya seakan-akan dipenuhi kenangan-kenangan saat itu, kemudian ia kembali menoleh pada saya dan ia berkata, "Kakek beruntung hidup di zaman itu." Senyum menghiasi wajahnya. Tanpa harus berkata banyak, kakek saya menjelaskan dengan sangat jelas apa yang dirasakannya saat ia mendengar suara Bung Karno membacakan proklamasi yang merupakan suara asli Bung Karno bukan rekaman seperti yang saya dengar saat di Monas maupun yang sudah ratusan kali saya dengar terlebih saat hari kemerdekaan.

Kejadian dengan kakek saya itu pula yang membuat saya iri pada para pahlawan. Apa yang mereka lakukan dan alami jauh lebih mulia dan berharga dari setidaknya apa yang ada di kehidupan saya saat ini. Semoga saja suatu saat nanti saya bisa menjadi orang yang berguna bagi banyak orang dan bisa merasakan perasaan yang kakek saya rasakan dan berkata, "Saya beruntung hidup di zaman itu."

Mengenang Kakek Tercinta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun