Mohon tunggu...
L Ambar S
L Ambar S Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalau Ngga Bisa Bahasa Inggris Salah Siapa?

26 November 2017   14:27 Diperbarui: 26 November 2017   14:29 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Duh kalau ngomongin anak sekarang kayaknya kudu marah deh. Yang katanya anak zaman digital eh ngomong Inggris aja antipati. Coba deh kalau kita tanya anak satu per satu pasti dijamin senyum-senyum, kayaknya udah biasa. Biasa ga bisa maksudnya. Padahal ketika ditanya sudah berapa lama kalian belajar Bahasa Inggris. Jawabannya beragam. Ada yang dari TK. Sejak SD. Berarti kan sudah lebih dari sepuluh tahun! Etung-etungan orang belajar selama itu pasti sudah mahir.

Coba kita bandingin pada zaman penjajahan dulu. Zamannya nenek kakek buyut kita dulu. Zaman susah. Hanya orang-orang berduit yang bisa mengenyam bangku sekolah. Bahasa Belanda termasuk salah satu mata pelajaran yang diajarkan. Konon orang-orang pada berlomba pinter berbahasa Belanda hehe bukan Inggris. Kan yang menjajah kita bangsa Belanda ya ngikut aja bahasanya sang penguasa kan. 

Kenapa pada berlomba-lomba yak karena semakin pinter berbahasa Belanda semakin gampang cari kerja semakin banyak gajinya semakin tinggi gengsinya. Tak pelak lagi tiap-tiap keluarga juga menerapkan penggunaan Bahasa Belanda ini dalam kehidupan sehari-hari. Sama persis dengan negara tetangga kita nih. Singapura. Ga tau kan gimana riwayatnya Singapura jadi sedahsyat ini.

Setelah berlepas diri dari Malaysia di tahun 1967, Singapura yang terdiri dari tiga etnis mayoritas; Urdu, Melayu, dan China ini mulai deh nentuin identitas diri bagi negara barunya. Termasuk bahasa resmi yang mau dipakai berkomunikasi sehari-hari. Lalu disayembarain tuh bahasa mana yang mau dipakai buat pemersatu warga. Nah yang menang tu bahasa Inggris, ngalahin bahasa Urdu, Melayu sama Mandarin. Nah terus pemerintahnya nih keukeuh sama pendiriannya.

Semua warga kudu pinter berbahasa Inggris. Semua sekolah wajib menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Sekolah Melayu boleh mengajarkan bahasa Melayu, sekolah Cina boleh mengajarkan Bahasa Mandarin, sekolahnya India boleh mengajarkan bahasa Urdu tapi hanya sebagai pelengkap. Bahasa Inggris tetap menjadi bahasa utama.

Dalam perekrutan tenaga kerja juga begitu. Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh para pencari kerja adalah kemampuan berbahasa Inggris. Siapa yang pandai berkomunikasi dalam bahasa Inggris dia pula yang akan menempati posisi strategis. Konsekwensinya ya gaji dan penghasilan jadi gede lah. Itu kenapa semua berjuang untuk mahir berbahasa Inggris.    

Nah anak kita kenapa ga bisa ngomong Inggris alasannya karena ga mau berlatih. Berlatih kan ga harus di sekolah. Bisa di kamar mandi. Iya ngomong sendiri gitu. Lihat sabun langsung yang muncul di otak kita kata "soap". Gimana mau berlatih. Dengar penjelasan guru saja enggan. Masuk telinga kiri keluar lagi deh lewat telinga kiri. Mental dong jadinya. Ditolak. Kalau sudah ditolak sudah sungkan dong si materi mau nyamper di otak kita.

Masih mending kalau masuk telinga kiri keluar di telinga kanan. Masih ada endapan dikit. Tetapi endapan ini bila tidak diberdayakan dengan berlatih ya pasti ogahlah berlama-lama di situ. Jadi frozen alias beku. Ga bisa dipakai dong. Harus dipanasin dulu. Diurai dulu materi demi materi. Dicoba sedikit demi sedikit. Berlatih juga begitu dimulai dari yang sederhana dulu.

Padahal yang dikasih oleh guru kan materi. Materi itu adalah teori agar kita mahir berbahasa. Teori itu salah satunya menyangkut persoalan tata bahasa. Masing-masing bahasa punya tata bahasa sendiri-sendiri kan. Contohnya ni mau bercerita tentang kegiatan kita kemarin. Kita harus menggunakan pola kalimat Simple Past Tense. Yang harus pakai kata kerja bentuk kedua lah, yang berakhiran --ed lah. Nah kalau teorinya saja sudah lenyap gimana mau bener prakteknya.

E udah gitu gurunya juga ga mau melatih. Kenapa coba. Guru zaman sekarang harus mengajar minimal 24 jam seminggunya. Belum lagi masih dikejar-kejar masalah administrasi. Tau kan administrasi itu momoknya guru. Yang bikin silabus lah, program tahunan, program semester, bikin rencana pelaksanaan pembelajaran. Untuk penilaian juga harus bikin soalnya, kisi-kisinya terus dianalisis. Yang nilainya baik dikasih pengayaan yang nilainya di bawah KKM dilakukan remidi.

Padahal ada empat ketrampilan berbahasa yang musti dikembangkan guru di kelas.  Eh nyatanya cuma satu ketrampilan saja yang diseriusin. Membaca. Ketrampilan menyimak ujungnya juga membaca. Ketrampilan berbicara eh ga melatih ketrampilan berbicara, tetapi membaca. Karena siswa hanya disodori soal-soal untuk dikerjakan. Guru menyelesaikan tugas administrasi. Nah lo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun