Mohon tunggu...
Leni Marlins
Leni Marlins Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

hobi menulis tentang banyak hal untuk menyampaikan ide

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengizinkan Anak Memiliki Akun di Medsos? Mengapa Tidak!

17 Agustus 2017   22:23 Diperbarui: 19 September 2017   13:25 1383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: /images.pexels.com

Beberapa teman saya sudah membuatkan akun Facebook untuk anak-anaknya yang baru saja lahir. Isinya foto-foto si bayi, mulai dari saat masih berusia beberapa jam hingga sudah bisa melet-melet. Menggemaskan sekali melihatnya. Suatu kali, saya bertanya, "Lalu, siapa yang mengunggah semua foto-foto ini? Kan Dek Bayi masih kecil. Mana mungkin bisa mengunggah fotonya sendiri..." Dengan kalem dan sedikit bangga, sang ibu menjawab, "Saya dong. Siapa lagi. Hehe." Selanjutnya, ia menjelaskan betapa banyak teman-temannya yang menyukai foto-foto tersebut. Komentar-komentar mereka cukuplah membuat hatinya bungah. Memangnya, siapa sih ibu yang tidak suka jika anaknya menjadi pujaan dan idola.

Lain lagi cerita dari teman yang satu. Anaknya--yang baru berusia sekitar 9 tahun--sudah beberapa kali merengek meminta dibuatkan akun YouTube. Bisa jadi karena terinspirasi oleh Azka, anak Deddy Corbuzier, yang sedang merintis cita-citanya menjadi vlogger sukses. Tapi, si ibu dengan cerdik menawarkan jalan tengah, si anak diperbolehkan "menumpang" pada akun si ibu jika ada video yang ingin ia unggah. Hm, solusi yang bisa dibilang kompromistis.

Ilustrasi: thecorbuzier.com
Ilustrasi: thecorbuzier.com
Yang unik, sekaligus membuat geleng-geleng kepala, adalah kisah salah seorang teman dari keponakan saya. Meskipun masih kelas 4 SD, ia sudah memiliki akun Instagram sendiri. Isinya sebenarnya standart saja. Mulai dari foto pura-pura tidur hingga foto selfie dengan berbagai ekspresi, termasuk duck face yang sempat fenomenal itu. Follower-nya? Lebih dari 700 orang. Wah, calon selebgram nih anak. Saya saja kalah telak dalam hal jumlah followers tersebut.

Saya pernah membaca salah satu notes di Facebook (ya, saya memang punya Facebook dan aktif menggunakannya karena merupakan bagian dari pekerjaan saya). Isi notes tersebut antara lain keluhan seorang laki-laki saat istrinya pulang dalam keadaan panik setelah menghadiri sebuah seminar atau ceramah yang diadakan di sekolah anaknya. Topiknya adalah tentang betapa berbahayanya kecanduan terhadap internet. Bahayanya bahkan disejajarkan dengan narkoba. Kelihatannya sangat mengerikan. Tak mengherankan jika para orangtua murid pun pulang dalam keadaan khawatir dan bingung harus bagaimana. Padahal, tujuan dari sekolah adalah mengajak orangtua untuk ikut berperan menjaga anak dari kecanduan gawai.

http://sygmainnovation.com/wp-content/uploads/2016/11/Tingkat-candu-terhadap-media-sosial.png
http://sygmainnovation.com/wp-content/uploads/2016/11/Tingkat-candu-terhadap-media-sosial.png
Faktanya, tidak ada seorang pun yang dapat menahan laju perkembangan zaman. Teknologi canggih terus bermunculan seiring dengan lahirnya anak-anak generasi masa kini. Momen kelahiran mereka bahkan biasanya ditandai dengan jepretan kamera ayahnya sesaat setelah lahir. Lalu, sang ayah akan mengunggah foto tersebut di medsos dan menyertakan caption, "Hello, world!" Jadi, bahkan sebelum anak-anak tersebut bisa memutuskan apakah akan menggunakan medsos atau tidak sepanjang hidupnya, mereka terlebih dahulu sudah muncul di linimasa dan membuat teman-teman (ayahnya dan ibunya) terkagum-kagum.

Lalu, kalau sudah begini, bagaimana mungkin kita bisa melarang anak-anak untuk mengeksplorasi dunia yang begitu luas ini? Jika alasannya adalah untuk melindungi mereka, mengapa para orangtua justru mengumbar foto-foto anak-anak mereka (tanpa izin)?

Semua Dimulai dari Keluarga

Dalam peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang ke-XXIV pada 15 Juli 2017 lalu di Lampung, Kepala BKKBN, Surya Chandra Surapaty, mengatakan ada 8 fungsi utama keluarga, yaitu keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi, pendidikan dan ekonomi, serta pembinaan lingkungan. "Dengan melaksanakan fungsi keluarga secara menyeluruh dan konsekuen maka  keluarga sejahtera dapat tercapai dan menentukan kualitas bangsa  Indonesia ke depan," kata Surya (dikutip dari bkkbn.go.id pada 17/08/2017).

Artinya, jika seluruh keluarga di Indonesia menjalankan ke-8 fungsi tersebut, maka kualitas bangsa Indonesia akan semakin hari semakin baik. Faktanya, belum semua orangtua peduli akan pentingnya merawat generasi muda melalui keluarga. Berikut, saya akan mencoba menguraikan peran tersebut dalam bahasa yang lebih sederhana, khususnya terkait dengan urgent-nya permasalahan medsos yang melanda anak-anak dan remaja saat ini.

1. Keagamaan: Di dalam keluarga, orangtua adalah teladan dalam hal beragama. Untuk mewujudkannya, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah tidak mementingkan gawai ketika waktu ibadah sudah tiba. Ajaklah anak untuk menunaikan kewajiban sesegera mungkin.

2. Sosial budaya: Di dalam keluarga, orangtua bisa menunjukkan hidup bersosial dan berbudaya. Caranya? Gampang saja. Mulailah dengan selalu melihat ke arah anak saat anak mengajak orangtua mengobrol (jangan justru memakukan wajah ke layar smartphone Anda). Selanjutnya, mulailah menghilangkan kebiasaan utak-atik smartphone ketika sedang bersama dengan keluarga, misalnya pada saat makan malam. Bagaimana jika ada hal yang penting? Tunda dulu jika bisa. Jika tidak, beritahukan kepada anak alasannya sehingga ia mengerti dan tidak menirunya lain kali.

3. Cinta kasih: Di dalam keluarga, anak-anak seharusnya mendapatkan cinta kasih yang cukup. Mengapa ada banyak remaja yang terjerat dengan perhatian palsu orang asing di medsos? Karena di keluarga mereka tidak mendapatkan hal tersebut. Orangtua mungkin sering merendahkan mereka, tidak memberi mereka kesempatan untuk berkembang, lupa mengapresiasi keberhasilan mereka, serta tidak benar-benar mengasihi mereka. Hasilnya, mereka lari "ke luar" rumah. Meskipun mereka masih tinggal di dalam tembok rumah (karena orangtua melarangnya), melalui medsos, mereka berhasil menemukan orang-orang yang membuat mereka lebih berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun