Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Mikro Pilihan

Menangkap Kegelisahaan Petani

17 Mei 2018   05:10 Diperbarui: 17 Mei 2018   05:27 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, penulis kebetulan berkesempatan untuk mengabadikan momen kegiatan para petani di sebuah desa yang berjarak sekitar 30 km dari Kota Sukabumi, tepatnya di desa Cikurutug Kecamatan Cireunghas. Hampir seharian penuh kami bergelut dengan aktivitas keseharian mereka.

Uniknya, ada satu hal yang menyentuh hati penulis dan bahkan tak terduga sebelumnya. Ada kegelisahan yang mendalam dan terungkap dari para pejuang hakiki ini. Kegelisahan karena fakta saat ini profesi petani semakin ditinggalkan. Bahkan di sebuah desa terpencil sekalipun, tak ada generasi muda yang memilih jalan hidup sebagai petani. Label profesi petani, sebagai profesi yang ndeso, ketinggalan zaman, tak punya masa depan, kotor dan lain sebagainya. Lebih baik jadi tukang ojek atau buruh pabrik, begitu mereka bilang.

Pak Haji bahkan setengah mati, muter-muter ke beberapa desa cari orang untuk mau diajak jadi buruh tani di lahan garapannya. Padahal dulu profesi petani merupakan profesi turun temurun yang tetap dijaga. Ironis memang.

Kegelisahan semakin dalam, tak kala Pak Haji memprediksi, jika kondisinya seperti ini, maka 40-50 tahun ke depan profesi petani mungkin akan hilang di bumi nusantara yang katanya agraris ini. Sungguh mengkhawatirkan.

Kegelisahan di atas, penulis rasa sangat masuk akal, dan fenomena itu bukan hanya terjadi di desa Cikurutug saja, tapi hampir di seluruh pelosok negeri ini. Ironis, julukan negara agraris masih tersemat dan justru agak kontraproduktif dengan fakta sesungguhnya.

Bahwa di negara yang katanya agraris, dimana sektor berbasis pangan harusnya mendapat tempat, justru semakin tereduksi. Maka penulis meyakini benar apa yang diungkapkan para petani di desa Cikurutug tadi, bahwa mungkin 40 tahun ke depan kata agraris benar-benar akan hilang dari label negeri ini.

Melihat perubahan perilaku dan preferensi generasi muda yang tak mau lagi kerja di atas lumpur dan lebih memilih cari kerjaan instan, maka dipastikan tak akan ada lagi regenerasi petani di negeri ini. Apalagi di era kemajuan informasi dan teknologi yang serba instan seperti sekarang yang kadang kita gak nyadar disatu sisi katanya kita harus bergerak cepat mengimbanginya, namun dilain pihak kita gagap dan justru (maaf) "melacurkan" budaya lokal. Padahal sejak dulu profesi petanipun hakikatnya merupakan sebuah budaya, maka dulu dikenal dengan sebutan "budaya agraris".

Imbasnya kita bisa lihat, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus mengalami penurunan dari 39,22 juta pada tahun 2013 menjadi 38,97 juta pada tahun 2014, dan kembali turun menjadi 37,75 juta pada tahun 2015 (dikutip dari kompas.com). Penurunan hampir 1 juta pertahun, fenomena yang mengkhawatirkan dan menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan nasional. Bisa dibayangkan jika tren ini terus berlanjut, lantas bagaimana dengan 50 tahun ke depan?

Merujuk pada pernyataan peneliti INDEF, Imanuddin Abdullah (dikutip dari kompas.com) yang menyatakan bahwa ketimpangan lahan pertanian di Indonesia sangat dalam. Rata-rata kepemilikan lahan garapan petani di Indonesia hanya 0,8 hektar, masih kalah jauh dibanding dengan negara-negara lain seperti Jepang dengan rata-rata 1,57 hektar; Korea selatan 1,46 hektar; Filipina 2 hektar dan Thailand 3,2 hektar.

Belum lagi kemudian jika kita telusuri lebih jauh, profesi petani tidak merujuk pada akses kepemilikan lahan, yang ada istilah petani sebenarnya adalah kuli tani/buruh tani. Artinya tidak mengherankan jika secara legal di KTP berprofesi petani, namun nyatanya tak punya lahan garapan. Fakta ini menjadi ironis mengingat Indonesia hingga saat ini masih berlabel sebagai negara agraris.

Pada saat Presiden Jokowi menyindir banyak lulusan IPB yang justru memilih kerja di luar sektor pertanian, pada satu sisi apa yang dikatakan Presiden benar, tapi jika kita kembalikan pada peran Pemerintah sebagai policy maker, maka pertanyaannya adalah kenapa sektor pertanian menjadi tidak menarik? Fakta menunjukkan bahwa menggeluti profesi petani saat ini tak mampu memenuhi harapan secara ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Mikro Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun