Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Hardikan Orang Tua Bisa Sebabkan Stres dan Trauma pada Anak

13 Januari 2017   07:24 Diperbarui: 13 Januari 2017   11:19 5311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: parentalstress.com.au

“Bagus ya! Tiap hari kamu bikin masalah terus! Harusnya kamu mengerti!”

“Bukannya membanggakan, kamu malah jadi anak yang menyusahkan!”

Di atas tadi adalah penggalan kisah seorang anak dihardik orang tuanya. Perlakuan itu ia terima hampir setiap hari. Sebagai anak, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Anak kecil itu hanya diam jika orang tuanya terus menghardik, mengomeli, memarahi, dan menegurnya dengan kasar. Jauh di dalam hati, ia merasa sedih dan terpukul. Ia membandingkan perlakuan orang tua pada saudara-saudaranya yang lain. Mereka tak pernah dimarahi, sementara ia sering mengalaminya. Timbul prasangka di pikiran sang anak bahwa orang tuanya sentimental. Sedangkan anak itu merasa jika dia telah menjadi anak baik yang selalu berusaha membanggakan dan membahagiakan orang tuanya.

Beberapa jam kemudian, anak kecil itu mengalami kecelakaan. Nyawanya tak tertolong. Kedua orang tuanya merasa sangat kehilangan. Mereka menyesal telah memperlakukan anaknya dengan kurang baik. Lebih menyakitkan lagi, kata-kata terakhir yang mereka ucapkan pada anak kecil itu sebelum ia meninggal adalah bentakan, hardikan, dan kata-kata kasar.

Ilustrasi di atas mencerminkan perlakuan keras orang tua terhadap anaknya. Orang tua menghardik anak tanpa memikirkan perasaannya. Orang tua meminta anak mengerti, namun orang tua tidak pernah mengerti si anak.

Lise Gliot dalam penelitiannya menyimpulkan, satu kali bentakan dapat membunuh sel-sel otak anak yang sedang berkembang. Pada masa pertumbuhan, anak memiliki banyak sekali sel otak. Dengan satu hardikan, makian, atau kata-kata kasar lainnya, sel otak anak yang seharusnya terbentuk justru akan mati. Sebaliknya, satu kali pujian, belaian hangat, dan kata-kata lembut dapat mempercepat perkembangan sel otak anak.

Bahaya fisiologis lain dari seringnya anak mendapat hardikan/bentakan adalah kerusakan jantung. Seperti diungkapkan dr. Godeliva Maria Silvia Merry, anak yang sering mendengar suara hardikan akan mengalami percepatan detak jantung. Detak jantung menjadi abnormal. Akibatnya, jantung menjadi lelah dan memicu kerusakan.

Dampak fisik ada, dampak psikologis sudah pasti. Anak yang sering dihardik orang tuanya menjadi stres dan depresi. Mereka mengalami tekanan jiwa yang berat. Sulit mengambil inisiatif dan berkomunikasi karena takut disalahkan. Mereka enggan mencoba sesuatu yang baru karena khawatir disalahkan lagi oleh orang tua.

Di samping itu, kepercayaan dan rasa nyaman pada orang tua berkurang. Orang tua bukan lagi idola atau role model yang patut dicontoh oleh anak. Mereka justru akan mencari panutan di luar keluarga. Mereka lebih nyaman berbicara dan berbagi rahasia pada orang-orang di luar keluarga. Dalam pandangan mereka, orang tua takkan mengerti dan memahami mereka. Mereka akan mencari orang-orang di luar keluarga yang betul-betul memahami mereka luar-dalam.

Anak yang sering dihardik akan tertutup pada orang tuanya. Mereka tidak lagi mempercayakan rahasia, permasalahan, beban hidup, dan kesedihan pada orang tua. Teman-teman, sahabat, guru, suster, baby sitter, konselor, ustadz/pastor/pendeta/pemuka agama lainnya, justru menjadi pihak-pihak yang dipercaya anak. Jika situasi sudah terlalu parah, orang tua tidak bisa memaksa anak untuk terbuka. Semakin dipaksa, anak semakin tidak nyaman dan menarik diri.

Mengenai masa depan anak yang sering dihardik orang tuanya, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, anak tumbuh menjadi pribadi yang temperamental, pemberontak, dan sulit diatur. Anak mencari pelampiasan atas penderitaan dan luka batin yang digoreskan orang tuanya. Kemungkinan kedua, anak akan menjadi pribadi yang bijak, penyabar, simpatik, dan lembut. Masa lalu yang kelam ia sikapi dengan positif. Kekerasan yang dilakukan orang tuanya justru melembutkan hati dan perasaannya. Kelak jika ia dewasa dan memutuskan berkeluarga, ia tidak akan membiarkan anakanya mengalami hal yang sama. Pola asuh yang diterapkan jauh lebih baik. Anak yang mengalami kemungkinan kedua bercermin dari pola asuh orang tuanya dan bertekad tidak menggunakannya. Tak hanya itu, ia pun menjauhi sikap sentimental. Misalnya dengan memberi perlakuan yang adil pada satu anak dengan anak lainnya. Solusi lainnya guna menghindari sikap sentimental adalah memiliki anak tunggal. Dengan begitu, ia bertekad cinta kasihnya tidak terbagi. Satu cinta hanya untuk satu anak. Kemungkinan kedua jauh lebih positif dibandingkan kemungkinan pertama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun