Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beda Prinsip, Bukan Halangan untuk Berelasi

22 September 2017   07:14 Diperbarui: 22 September 2017   07:24 1845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua hari lalu, saya bertemu seorang teman lama. Sebenarnya dia masih terhitung kakak tingkat, namun setahun terakhir ini dia cuti kuliah lantaran terlibat urusan keluarga. Saya berteman baik dengannya sejak mengikuti Korps Protokoler Mahasiswa semester 1 lalu.

Dia memeluk saya begitu erat. Berulang kali dia mengatakan kalau dia merindukan saya. Sudah lama sekali kami tak bertemu. Teman lama saya itu makin kelihatan cantik. Tapi justru dialah yang memuji saya cantik.

Beberapa menit kami berpelukan dan melepas rindu. Lalu kami memutuskan jalan bersama. Kebetulan saat itu saya tak sendirian. Ada teman lain yang kebetulan mengenal dia. Jadilah kami hang out bertiga.

Dalam perjalanan, kehadiran kami menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, pasalnya penampilan kami sangat berbeda. Teman lama saya bercadar, teman satunya berhijab, dan saya tidak bercadar maupun berhijab. Di antara kami bertiga, hanya saya yang tidak menggunakan kain penutup apa pun untuk menyembunyikan rambut panjang saya. Kedua teman di kanan-kiri saya resah, sedangkan saya rileks saja. Saya malah senang diperhatikan banyak orang. Lebih dari itu, saya senang tampil beda. Bukan karena ingin tebar pesona, melainkan karena ingin menunjukkan bahwa tampil beda itu bukan masalah.

Saat dua teman saya mengajak saya memasuki masjid pun, saya rileks saja memasukinya. Tak peduli pada tatapan aneh para akhwat dan ikhwan yang keheranan melihat seorang gadis tanpa hijab memasuki rumah Allah. Terserah saja apa penilaian mereka, saya tak peduli. Saya stay cool saja.

Kesempatan itu kami gunakan untuk mengobrol dan berbagi cerita. Sebenarnya mereka yang banyak bercerita, sedangkan saya hanya mendengarkan dan menanggapi. Mengapa saya tidak menceritakan diri serta masalah saya pada mereka? Pertama, demi menekan ego. Saya tidak ingin menjadi pribadi yang egois. Terlalu sibuk menceritakan diri sendiri membuat ego sulit dikesampingkan. Maunya mendominasi saja, hanya ingin didengarkan tanpa mendengarkan orang lain. Saya tidak ingin seperti itu. Biarkan saya saja yang mendengarkan orang lain. Kedua, saya tak mudah terbuka pada orang lain. Sulit bagi saya untuk terbuka dan mempercayai orang lain. Saya tergolong pemilih. Dalam bercerita atau berdiskusi, saya hanya bisa mempercayai orang-orang tertentu yang benar-benar terasa dekat dengan saya.

Mungkin Kompasianer bertanya-tanya. Bagaimana saya bisa akrab dengan dua gadis bercadar dan berhijab sekaligus mengakrabkan mereka? Berawal dari kisah cinta mereka. Dua teman saya yang religius ini menyukai pemuda yang sama. Saya mengetahui perasaan mereka. Saya pun mengenal pemuda alim dan cerdas yang mereka sukai. Tahun lalu, mereka meminta bantuan saya terkait urusan cinta. Saya membantu mereka sebisa saya, dan jadilah semuanya. Tak perlu saya ceritakan di sini. Intinya, saya menjadi penengah untuk kedua akhwat ini berikut kisah cinta mereka yang rumit.

Hebatnya, meski jatuh hati pada ikhwan yang sama, kedua teman saya ini tetap berteman akrab. Saya salut pada mereka. Tidak ada benih permusuhan dan rivalitas di antara mereka. Semula, saya pikir mereka akan bermusuhan setelah mengetahui bahwa mereka menyukai pemuda yang sama. Nyatanya tidak. Mereka tetap berteman baik.

So, di sini peran saya hanya sebagai penengah dan "konsultan cinta" saja di antara mereka. Saya tak ingin punya peran lebih. Saya sudah tahu siapa pilihan hati pemuda yang mereka sukai itu.

Okey, cukup tentang kisah cinta segitiga antara dua akhwat dan satu ikhwan religius. Back to focus. Selama bersama mereka, saya merasa nyaman. Beberapa kali teman lama saya yang bercadar itu memeluk dan membelai rambut saya. Jujur, saya suka itu. Sebuah pelukan sangatlah berarti bagi orang yang kesepian. Saya memang kesepian, takut dan benci seks. Tapi saya menyukai pelukan dengan orang-orang terdekat dan bisa dipercaya. Pelukan dapat mengalirkan hormon Oksitosin, meningkatkan kepercayaan diri, dan mengurangi stress. Dia memperlakukan saya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Saya seperti punya kakak perempuan. Sekarang saya baru saja punya kakak laki-laki, ditambah lagi kakak perempuan. Sempurnalah hidup saya. Terlebih dua-duanya baik dan mengerti saya, walau sekarang ini keduanya tidak berada di sisi saya.

Di pelataran masjid, kami bertemu seorang pedagang makanan kecil. Ternyata kedua teman saya itu sudah akrab dengannya. Saya belum pernah berbicara dengan pedagang-pedagang di sekitar masjid itu. Membeli barang yang mereka tawarkan pun tak pernah, karena saya tidak tertarik. Mereka bertukar sapa dengan wanita paruh baya itu. Saya tidak ikut menyapa, sebab tidak mengenalnya. Anehnya, si wanita pedagang makanan itu justru memperhatikan saya. Bertanya dari mana saya berasal dan semacamnya. Jelas saya tak menjawabnya. Buat apa menjawab pertanyaan orang yang tak dikenal? Pertanyaan-pertanyaan tidak penting, pikir saya. Ujung-ujungnya dia mengomentari penampilan saya dan teman-teman. Kebetulan saya ada di tengah, di antara mereka. Lalu dia berkata,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun