Mohon tunggu...
Langlang Randhawa
Langlang Randhawa Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas yang Kelak Kembali

Lahir di Kabupaten Tangerang. Selain menulis esai lepas, juga menulis novel dan naskah scenario sinetron dan FTV

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Begini Cara Kerja Sastra Melembutkan Hati Manusia

25 Agustus 2019   10:53 Diperbarui: 25 Agustus 2019   13:26 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak tahun 90-an, trend pria metroseksual muncul. Tapikian terdongkrak saat sebuah pusat kecantikan di Tokyo pada tahun 2003 memajangDavid Beckham sebagai model produk perawatan wajah. Orang-orang berebut melihatsang model. 

Pemilihan Becham ini oleh para pengamat dianggap cerdas karenasemua orang tentu tahu; Beckham adalah figur yang lurus, jantan, tidak kemayu.Sebagai laki-laki dia normal karena memiliki anak istri. 

Sebagai bintang dilapangan hijau, grup besar sekelas Real Madrid dan Manchester United pernahmenikmati manisnya menjadi klub besar karena umpan bola yang selalu akurat dantendangan bebas Beckham yang kerap menyentak gawang. Maka lihatlah, kaumlaki-laki tak lagi malu keluar masuk salon, bersolek ria. Beckham sang modeltelah sukses. 

BukanWiro Sableng

Dalam konteks dunia pendidikan, mencari kisah sepak terjang guru yang benar-benar dijadikan model oleh siswanya sebagaimana fans Beckham, memang tidak semudah membalikan ceplok telor di wajan batu granit merek teplon. 

Tanpa bermaksud mengabaikan Indonesia yang juga memiliki banyak guru hebat dan menginspirasi, izinkan saya mengajak pembaca terbang menuju tempat yang hingga hari ini terus bergejolak. "Ia adalah pemuda biasa," begitu Salim A. Fillah menceritakan sosok ini di buku JalanCinta Para Pejuang. Konon, sang pemuda lahir dari keluarga miskin danpengungsi. Tapi ia memiliki mimpi yang tak biasa, bahkan besar dan kokoh, yaknimelawan kedzaliman di tanah kelahirannya. 

Suatu hari, bersama teman-temannya, sang pemuda melakukan kemah ketangkasan di tepi pantai. Dari sinilah kisah heroiknya dimulai. Di akhir acara kemah, mereka beradu ketahanan head stand, berdiri dengan kepala di bawah dalam waktu cukup lama.


Siapa yang menang, dialah yang berhak digendong sepanjang jalan pulang kerumah. Detik berganti menit, satu persatu teman-teman si pemuda berguguran danmenyerah. 


Tinggal dia sendiri. Tapi pemuda ini masih saja bertahan, hinggaberjam-jam, bahkan tetap memasang wajah penuh senyum. Teman-temannya takjub,tapi sekaligus khawatir hingga menyeru agar berhenti. 

Hingga petaka itu datang. Akhirnya pada satu titik,dia tak kuat lagi, bersamaan dengan sesuatu yang terasa meledak di kepalanya.Ia jatuh. Sayangnya, saat hendak mencoba bangkit, ia ambruk. 


Berkali mencoba,usahanya gagal. Sejak saat itu, di usianya yang baru 16 tahun, ia menderitalumpuhan di kedua kakinya. Perkenalkan, nama pemuda ini.


Ahmad Yassin. Aktivitaskakinya memang berhenti di kursi roda hingga hari tuanya, tapi tekadnya sudahlama berkobar dan kadung menyebar kemana-mana di seantaro Gaza, Palestina. 

Kondisinya yang cacat, mengharuskan ia hanya bekerjadi dalam kelas, sebagai guru agama. Syekh Ahmad Yassin adalah guru dengankarakter kuat, maka murid-muridnya pun tersengat. Mereka seperti kesurupan saatmengikuti semua ajaran sang guru. 


Pernah para orangtua protes karena anak-anakmereka begadang semalam suntuk untuk menunggu sepertiga malam setelah sang gurumenyinggung perihal keutamaan shalat malam. Hari lain, anak-anak memboikotsarapan dan makan siang mereka setelah mendapat pengetahuan tentang keutamaan berpuasa,padahal saat itu musim panas yang mengancam haus dan dahaga. 


Begitulah guru dijadikan model menurut pemahaman saya. Bukan semata guru yang hanya menyampaikan pelajaran dengan memikat di kelas, tapi tidak berimbas manfaat di luar. Jadi, saya kira tidak berlebihan jika saya menyodorkan sosok Syekh Yassin sebagai contoh riil model bagi siswa. 


Apalagi sepanjang jangkauan pendengaran telinga dan jauhnya pandangan mata saya, belum pernah ada siswa-siswi di Indonesia mengalami "kerasukan massal" sedahsyat seperti dalam kasus murid-murid Syekh Yassin tadi. Televisi kita lebih sering memberitakan siswa-siswi sekolah kesurupan jin secara berjamaah.  

Apa kunci sukses Ahmad Yassin mendidik paramuridnya? Visi dan tekad yang kuat. Visi dan dibarengi tekad kuat untukmelakukan perubahan adalah harga mati yang harus dimiliki siapa pun mereka yangingin menempuh jalan terjalan dunia keguruan. 


Mudah mengatakan bahwa guru ituadalah sosok digugu dan ditiru, tapi implementasinya tidaklah mudah menciptakangenerasi yang berkarakter baik. 


Hal ini membuktikan bahwa guru tidak hanya sebataspekerjaan mentransfer ilmu kepada murid, lebih dari itu, guru harusnya sudahpaham bahwa dia memiliki wewenang "bawah tanah" yang mampu mengobok-obok diluar aspek otak siswa semata. Hati, akal, perasaan, pikiran sebagai perangkat"dalaman" siswa, sejatinya ada dalam genggaman dan kendali seorang guru. 


Tentusemuanya dimulai dari diri seorang guru. Jika model cetakannya bengkok, bisadipastikan hasilnya juga sama. Jangan sampai murid kita seperti Wiro yang ikut Sablengkarena memiliki guru Sinto yang Gendeng.

Generasi Sakit Jiwa

Membicarakan karakter berarti membicarakan duniakaum cenayang karena yang akan disentuh bukan fisik melainkan psikis. Jika seorangguru silat melihat gerakan atau kuda-kuda kaki muridnya salah, dia bisa langsungmelakukan kontak fisik dengan cara menyentuh lengan atau kaki sang murid agargerakannya sesuai. 


Berbeda dengan cara mendidik karakter seseorang yangbersemayam di dalam sikap dan perilaku. Butuh napas panjang bagi guru untukmengurai dasar sikap yang kadung bermasalah karena faktor pola asuh dalamkeluarga, pergaulan di tempatnya tinggal, dan pengalaman-pengalaman yanghinggap di jiwa sang anak, jauh sebelum dia datang dan masuk ke dalam kelas sekolahkita. 

Lantas apa sebenarnya karakter itu sendiri? Adabanyak definisi yang menjelaskan apa itu karakter, salah satunya menurut Aristotelesyang menyebut bahwa karakter itu acuannya adalah nilai-nilai kebijakan, baikyang mengarah kepada diri kita sendiri seperti pengendalian diri, atau punmengarah ke orang luar semisal kemurahan hati. Karakter terbangun dari kebiasaan-kebiasaan. 


Maka kita mengenal pribahasa ini: "Pikiranmu akan menjelma menjadi kata-katayang terucap, kata-katamu akan mewujud dalam tindakan, tindakanmu akanmembangun kebiasaanmu, dan kebiasaan-kebiasaanmu akan membentuk karaktermu;sedangkan karaktermu menentukan nasibmu." Karakter inilah yang akan menjadi titik tolak pertumbuhan dalam kehidupan kita, sebuah proses inside-out, dari dalam keluar.

Jika karakter disebut mampumenentukan nasib kita, maka karakter semua manusia sebagai anak bangsa,tentunya akan menentukan nasib Indonesia. Karakter baik itu tidak berbandinglurus dengan jabatan dan tingginya pendidikan yang sudah dilahap. 


Meskipentingnya pendidikan karakter sudah sejak lama digaungkan para pakarpendidikan, tetap saja kita masih melihat para orang dewasa di parlemen bakuhantam layaknya preman jalanan, korupsi dilakukan secara terang-terangan danberamai-ramai, sementara sidang-sidang soal rakyat mereka abaikan lantaranditinggal mendengkur. 


Jika mereka tertangkap, mereka tetap tersenyum ke arahkamera seolah bangga. Kasus terbaru, pelaku korup yang tertangkap dengan banggamengacungkan tiga jari salam metal. Gila. Karakter apa orang macam ini? 


Lebih miris jika turun satutingkat melihat kondisi remaja kita. Perilaku seks bebas yang kian akut karena kinibanyak menyasar keluarga juga korban beda usia, pembunuhan diperparah tindakansadis pada mayat; dimutilasi, dibenam dalam coran beton, dilesakan ke dalamdrum berisi aspal, dan masih banyak lagi mungkin kekejian manusia hari ini. 


Sementaraanak-anak pun tidak luput dari terpaan badai bengkok karakter. Tidak lagimembuat korban menangis, aksi bully anak-anak kita hari ini kian sadis karenatak segan menumpahkan darah hingga korban tewas. 


Anak kita juga sudah terang-teranganberpacaran, bahkan belum lama heboh berita perihal anak sekolah dasarmenghamili siswi sekolah menengah. Semua itu bukan lagi penyimpangan karakter,tapi sudah layak disebut sakit jiwa. Butuh kerja keras untuk membenahi semua ini.Setelah keluarga, yang berdiri di garda depan adalah para guru. 

Sastra Melembutkan Hati?

Dalam konteks bagi guru bahasa Indonesia, menjadikanmurid yang tidak semata cerdas secara bahasa saja tapi berkarakter santunbersikap dan berperilaku baik di sekolah dan lingkungannya, memang butuhsentuhan yang lebih dekat dan spesial. 


Salah satu jalan yang bisa ditempuhadalah mendekatkan siswa pada dunia sastra. Kenapa? Karena bahasa Indonesia itu tidak melulu belajar penggunaan ragam perangkat kebahasaan agar sesuai dengan panduan standar pusat, tapi bahasa Indonesia memiliki senjata bernama sastra. 


Karya sastra sejatinya mampu menempa rasa, karenadalam diri sastra ada konsep keindahan dan kebermanfaatan. Ada banyaknilai-nilai luhur yang terkandung di dalam karya sastra sebagai cerminan kehidupan karena tidak jarang sastrawan menyusupkan pesan-pesan tertentu dalamkaryanya. 


Hingga kemudian peranan sastra bagi perkembangan karakter manusia, diyakinimenjadi sesuatu yang penting, bahkan konon, sejak dulu kita dianjurkanmengajari sastra kepada anak-anak kita karena sastra menjanjikan kelembutan hati. Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara kerja sastra melembutkan hatimanusia? 


Jawabannya sederhana. Dalam sastra semuadiperlakukan seperti manusia yang bernyawa dan memiliki rasa. Bulan yang murung,tanah yang gelisah, semesta yang tertawa, hujan yang ceria, panas yang garang, adalahcontoh diksi-diksi yang kerap ditemui dalam karya sastra. Lihatlah bagaimanabenda diperlakukan secara manusiawi. 


Jika ini gigih ditanamkan terus menerus,jangankan memenggal kepala orang, melihat bunga yang jatuh karena layu pun hatikita akan menangis. Emosi kita akan tertata. Bukankah marahnya orang-orangberkarakter bukan marah yang membawa petaka? 


Tapi marah yang sesuai ungkapan Aristoteles;siapapun bisa marah, karena marah itu mudah. Tetapi marah pada orang yangtepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar,dan dengan cara yang baik. 


Selamat Datang Ubersexual!

Nah, bagaimana cara menanamkan pendidikan karakter tanpa anak tidak merasa diceramahi? Tak ada cara lain, buat cetakan yang baik pula. Jika orangtua serampangan membuang sampah, anak akan bangga dengan bencana kebanjiran. Siswa akan malas masuk, manakala guru jarang mengajar. Bisa jadi jika guru kencing berdiri, murid akan kencing berlari-lari tak tau malu. 

Didiklah karakter anak dengan memberi contoh teladan, bukan sekedar mendikte harus begini dan begono. Lihatlah David Beckham. Mulai dari gaya rambut hingga jenggot, style berpakaian, bahkan hingga hobinya berdandan. 

Meski trend ini dianggap sebuah kemajuan karena memecah anggapan; lelaki pesolek tak melulu homosex! Tapi trend metroseksual segera pupus, berganti trend ubersexual yang diisi pemuda-pemuda berkarakter mulia pecinta sastra di jagat dunia. Selamat datang generasi ubersexual! 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun