Mohon tunggu...
Imanina Larasati S
Imanina Larasati S Mohon Tunggu... -

Imanina (Lala) / Mahasiswi Ilmu Komunikasi UNTIRTA / IG : lalaniins :)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Janji Manis ataukah Janji Pahit?"

2 Oktober 2018   17:35 Diperbarui: 2 Oktober 2018   18:32 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Oleh : Imanina Larasati Santoso*

Masa kampanye pilpres 2019 sudah dimulai sejak 23 September 2019 lalu. Para capres dan cawapres sudah boleh melakukan kampanye hingga 13 April 2019 mendatang. Setiap capres dan cawapres pasti sudah mempunyai strateginya masing-masing untuk mengalahkan kubu lawannya. Seperti pasangan Prabowo -- Sandiaga yang sudah mempunyai beberapa strategi untuk mengalahkan kubu jokowi -- Ma'ruf Amin. Kedua kandidat bakal capres dan cawapres pun sudah berkampanye berkeliling di penjuru Indonesia untuk menarik perhatian masyarakat agar yakin untuk memilih mereka di hari H pilpres 2019. Walapun kedua kubu bersaing untuk mendapatkan hati masyarakat tetapi Jokowi tak ingin kedua kubu saling memfitnah, menghina atau menjelekkan lawan.

Nah, bagaimana kampanye di Indonesia itu sendiri? Seakan -  akan menjadi tradisi para kandidat pun rela berkunjung ke plosok desa. Dengan melakukan sosialisasi atau mengumbar janji manis. Dalam banyak pemilihan, para kandidat partai politik akan selalu mencoba untuk membuat para kandidat atau calon lain menjadi "tanpa pesan" berkaitan dengan kebijakannya atau berusaha untuk pengalihan pada pembicaraan yang tidak berkaitan dengan poin kebijakan atau program. Sebagian besar strategis kampanye menjatuhkan kandidat atau calon lain yang lebih memilih untuk menyimpan pesan secara luas dalam rangka untuk menarik pemilih yang paling potensial. Sebuah pesan yang terlalu sempit akan dapat mengasingkan para kandidat atau calon dengan para pemilihnya atau dengan memperlambat dengan penjelasan rinci programnya. Terlepas dari ada atau tidak adanya money politics, lazim diketahui kalau pemenang pilkada kemudian justru kesulitan merealisasikan banyak janji dan program mereka saat kampanye.

Seperti yang kita tahu setiap pemilihan pilpres pasti ada program kerja yang mereka janjikan. Seperti dari kubu nomor urut 01 yaitu Jokowi -- Ma'ruf Amin yang sudah mempunyai program kerja seperti pembangunan manusia dalam mengurangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan antar-wilayah, dan meningkatkan nilai ekonomi.Dan juga ada program kerja dari kubu nomor 02 yaitu Prabowo -- Sandiaga yaitu memperbaiki infrasturktur sosial (kesehatan dan pendidikan), sekolah dan susu gratis serta mempermudah akses pasar dan modal untuk pelaku usaha mikro. Dengan terpilihnya mereka di pilpres 2019 diharapkan bisa memenuhi apa yang sudah diucapkan dan dijanjikan saat berkampanye.

Nah, berbicara mengenai janji -- janji para politikus Indonesia apakah sudah terpenuhi semua? Misalnya seperti cawapres nomor urut 02 yaitu Sandiaga Uno yang beberapa bulan lalu berkampanye untuk memilih ia sebagai wakil gubernur DKI Jakarta.Sandiaga resmi mundur sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta usai membacakan surat pengunduran diri yang sudah menjabat hampir 10 bulan di Gedung DPRD DKI Jakarta dalam sidang paripurna.Sebenarnya, jika Sandiaga Uno mengundurkan diri dari jabatan sebagai wakil gubernur itu sama saja menghianati sumpah jabatan. Sebab dalam sumpahnya, Sandiaga akan memimpin DKI selama 5 tahun kedepan bersama Anies Baswedan. Lalu, bagaimana jika Sandiaga tidak lolos dalam pilpres 2019? Ataukah ia akan kembali menjadi pengusaha sukses seperti sebelum menjabat sebagai gubernur? Kita tidak tau pasti sampai hari pengumuman pilpres datang.

Sekarang, apa tanggapan kalian tentang janji -- janji manis politikus? Saya sudah menanyakan beberapa teman bahwa tidak ada satupun pemain politik yang mampu meninggalkan budaya berjanji. Keran tekanan keadaan yang terjadi di negara kita membuat masyarakat terpengaruh dengan janji mereka. Kenapa janji tak di tepati?Sebuah jawaban sederhana sebenarnya, ketika mereka telah menjabat, bukan berarti mereka terlena akan kekuasaan sehingga lupa janji. Tetapi janji yang mereka buat sebelumnya tidak di kaji sehingga ketika akan dilaksanakan akan menemui kesulitan.

Satu lagi hal yang unik yang terjadi di dunia politik Indonesia. Coba kalian perhatikan, pada masa kampanye para calon wakil rakyat selalu aktif dalam kegiatan kemasyarakat, berkunjung ke beberapa daerah, melakukan beberapa acara kemanusiaan. Hal tersebut semua bahkan sampai diliput oleh beberapa media. Bandingkan disaat bukan masa kampanye atau pemilu. Apakah ada berita tentang orang dari partai ini melakukan kunjungan ke tempat ini, partai ini melakukan aksi sosial di tempat itu, bisa terbilang hampir tidak ada berita tentang itu. Sangat berbeda disaat masa kampanye atau pemilu tiba. Kemanakah orang-orang tersebut?

Media sosial pernah diramaikan video pernyataan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yaitu Haji Lulung yang sesumbar akan potong kuping dan hidung jika Ahok menang di Pilkada DKI Jakarta 2017. Ia sangat yakin Ahok pasti kalah dalam Pilkada DKI 2017 dan sampai saat ini janji manis itu belum juga dilaksanakan. Pada waktu itu Ahok ini hanya tersenyum saat awak media mengonfirmasi mengenai janji tersebut. Bahkan, dia sempat mengangkat kedua tangannya lalu menutup mulutnya sebelum berlalu menuju ruang rapat.

Jika kita melihat waktu zaman Kerajaan Majapahit, seorang Mahapatih Gajah Mada pernah mengucapkan sumpah palapa yang ia akan berjanji menyatukan nusantara dan Gajah Mada terbukti bisa membuktikannya bahkan dalam mempersatukan nusantara harus melalui jalur peperangan. Isi dari sumpah palapa itu sendiri tidak mudah bagi "orang biasa " yang ingin melaksanakan janji itu. Tapi, kenapa politikus tidak bisa menepati janjinya? Mungkin para politikus hanya asal membuat janji demi membuat rakyat jatuh hati dengan janji -- janji manisnya itu. Janji memang mudah, saking mudahnya janji-janji yang gak masuk akal atau sulit terealisasikan keluar begitu saja dari politisi-politisi kita. 

Ketika menjabat baru bingung gimana cara merealisasikannya dan akhirnya cenderung gagal, rakyat pun kecewa. Atau mungkin memang ada janji yang bisa terealisasikan tapi benar-benar sulit.Kekecewaan terhadap kinerja pemimpin daerah muncul dengan berbagai bentuk ekspresi. Masyarakat kecewa karena janji kampanye yang telanjur dipercaya ternyata tidak ditunaikan pemimpin pilihannya. Ketiadaan jaminan hukum membuat masyarakat selalu dalam posisi merugi. Padahal, dalam kampanye, calon pemimpin selalu berbicara dengan meyakinkan. Seolah-olah ia menjamin bahwa setiap janjinya akan ditunaikan. Kelihaian retorika membuatnya tampak layak dipercaya sehingga calon pemilih kerap terperdaya.Kampanye yang baik idealnya didasari niat baik dan kejujuran.

Jadi, ayolah jangan hanya manis diucap tapi tidak benar -- benar dilaksanakan janji itu. Jangan jadikan sebuah janji menjadi senjata utama dalam memperebutkan hati rakyat. Mungkin saja jika janji -- janji itu ditepati Indonesia menjadi negara yang makmur dan damai. Bahkan fatma MUI mengatakan berdosalah jika ada pemimpin yang ingkar janji baik dari anggota legislatife, yudikatif, dan eksekutif. berharap nantinya ada dasar hukum yang akan mendorong para pemimpin untuk menunaikan janji-janji manisnya saat kampanye, sehingga program-program yang ditawaran kepada publik saat kampanye tidak menjadi sekedar janji palsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun