[caption id="attachment_378473" align="aligncenter" width="464" caption="energispiritualnusantara.com"][/caption]
Malam ini hujan dengan kejam menerpa atap-atap penduduk. Tidak ada yang menduga hujan akan turun sederas ini. Mengingat tadi siang, awanpun seakan enggan menghalangi matahari untuk membakar makhluk hidup di bawahnya. Bahkan tidak juga angin, yang biasanya bersahabat, memberikan sekecup kesejukan. Meski saat itu sedang ada pertunjukan menarik di alun-alun kota. Hawa panas membuat orang-orang malas untuk keluar rumah. Sehingga, panitia yang menargetkan pengunjung akan mencapai belasan ribu orang mencak-mencak karenanya.
Tapi, itu tadi siang. Menjelang sore, awan-awan seakan tidak tega untuk menjauh begitu lama. Perlahan-lahan mereka menutupi kota yang busuk ini sembari membawa guntur dan petir bersama mereka. Hawa panas segera di gantikan oleh dingin yang semakin-lama semakin menusuk tulang. Tidak lama kemudian, hujanpun turun ke bumi di selingi teriakan bahagia dan sumpah serapah manusia yang tidak pernah puas. Air hujan benar-benar menghapus jejak yang di buat matahari siang tadi.
“sempurna” bisikku pelan sambil menatap langit yang kelabu untuk sekejap kemudian meneruskan langkah kakiku. Rokokku yang dari tadi mati karena hujan tetap ku selipkan di mulutku yang basah. Untuk suatu alasan, aku enggan melepas rokok terakhir yang ku punya sebelum hidupku berakhir.
Dalam langkah-langkahku yang tanpa semangat, orang-orang menatapku aneh di tengah ketergesa-gesaan mereka. Seorang anak kecil bahkan menahan ibunya hanya untuk sekedar bertanya kepadaku dengan mata kecilnya yang menyiratkan keheranan.
“kenapa kakak tidak memakai payung?” ujarnya pelan menatapku sembari menyentuh celana panajng pembelian ibuku yang basah.
Aku tidak membalas pertanyaan anak tersebut, dan memang aku tidak ingin, tidak juga aku memperdulikan permintaan maaf ibu si anak ibu tersebut kepadaku. Aku terus berjalan dengan pakaian berselimutkan dingin, sesekali di temani petir yang terkadang menerangi jalanku yang remang-remang. Tujuanku sudah jelas meski langkahku tanpa semangat, jembatan kenangan. Orang-orang menyebutnya demikian karena di sanalah banyak orang yang menjadikan tempat itu sebagai kenangan terakhir mereka. Dan aku berniat menjadi salah satu di antara mereka.
Sesampainya di sana, aku berhenti. Selain karena memang ke jembatan inilah aku menuju. Aku agak sedikit terkejut sudah ada seseorang yang terlebih dahulu berada di jembatan kenangan ini. Seorang perempuan berpakaian serba hitam sedang menatap langit malam di pinggir tengah jembatan. Bingung sejenak, aku kemudian memutuskan untuk berjalan menuju ke tengah jembatan. Kemudian berhenti seketar dua meter darinya. Namun, aneh, dia sama sekali tidak memperhatikan kedatanganku. Perempuan yang aku taksir seumuran denganku ini masih menatap langit dengan tatapan mata yang tidak bisa ku jelaskan.
Sebenarnya, aku tidak suka ikut campur dan memikirkan urusan orang lain. Tapi, pikiranku telah di penuhi berbagai pertanyaan. Apa yang perempuan cantik seumuran denganku ini lakukan di tempat yang cocok untuk mengakhiri hidup ini. Aku memperhatikan mulutnya, terkadang komat-kamit. Tidak jelas apa yang sedang di ucapkannya. Apa mungkin?, pesan terakhir sebelum mengakhiri hidupnya yang berharga. Memang apa masalahnya?, cinta?. Tidak mungkin, wajahnya yang mampu membuat hatiku berdesir saat pertama memandangnya tadi pasti akan membuat laki-laki manapun akan melupakan cinta terakhir mereka. Uang?, apalagi itu, terakhir kali aku tanya jam tangan bermerk yang ada di tangan kanannya yang putih itu berharga puluhan juta rupiah. Kasih sayang orangtua?, bisa jadi inilah kemungkinan yang paling tepat terkaku. Dengan kekayaan yang menempel di badannya, pasti orangtuanya adalah orangtua yang sibuk menjaga karir yang telah mereka bangun sedari dulu. Setidaknya, itulah orangtua yang anaknya bunuh diri di sini beberapa bulan yang lalu. Tidak ingin berlama-lama dalam dugaan, aku berinisiatif memulai sebuah percakapan. Meski mungkin perempuan berpakaian serba hitam ini tidak akan mengacuhkanku.
“Hei...!” aku menaikkan sedikit suaraku.
Dia menoleh, dan mendekat ke arahku, aku mendadak di serang kegugupan.