Mohon tunggu...
Kristianus Ato
Kristianus Ato Mohon Tunggu... Administrasi - Pendiam

mencoba yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mendengar Poster Jenderal Ahmad Yani Berbicara

19 September 2017   20:19 Diperbarui: 19 September 2017   20:22 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa gerakan 30 September (G30S) merupakan bagian dari sejarah kelam bangsa Indonesia. Patut kita junjung setinggi - tingginya jasa kesepuluh pahlawan revolusi & anumerta ini. Pada malam 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan sebuah pergerakan untuk mengkudeta lalu membunuh secara keji para perwira tinggi Angkatan Darat. Jasad mereka kemudian di buang ke sumur tak terpakai  atau yang lebih di kenal dengan sebutan lubang buaya.

Tragedi kelam ini terjadi karena para perwira menolak keinginan Aidit (pimpinan partai PKI) dalam hal pengusulan pembentukan angkatan kelima yaitu angkatan bersenjata bagi buruh dan tani. Atau mungkin ada alasan lain di balik semua tragedi kemanusiaan ini. Entahlah biarlah sejarah yang berbicara.

***

Masih jelas dalam benak saya. Kala itu di tahun 1992 silam pertama kali nonton film G30S PKI. Waktu itu saya masih kelas 1 SD. Salah seorang perangkat desa dan satu - satunya di kampung yang mempunyai TV. Itupun TV hitam putih. Otomatis hanya khusus stasiun TVRI. Dan menggunakan Accu sebagai penghantar arus listrik. Karena memang cuma satu - satunya yang punya TV maka hampir setiap malam rumah kepala dusun ini di padati masyarakat kampung. Tak kenal tua, muda dan anak - anak semua duduk berkumpul berdesak - desakan di pekarangan rumah. Sebagai imbalan setiap penonton wajib membawa kayu bakar atau uang bagi yang punya untuk biaya pengisian daya accu.

Tibalah di suatu malam, 30 September 1992. Semua warga kampung berkumpul untuk menyaksikan film sejarah bangsa Indonesia yang menggelitik kuduk. Semua penonton diam dan hanyut dalam pikirannya masing - masing. Hanya sesekali sebagian berteriak, menahan napas panjang menyaksikan adegan demi adegan mulai dari para jendral di jemput paksa. Adu argumen antara istri Mayor Jend. Panjaitan, tatkala salah seorang tentara PKI menerobos masuk  membuntuti sang Jenderal hendak berpakaian dinas dulu. Dalam sekejap kabel telpon di putus. Sang Jenderal Sempat melantunkan doa sebelum menaiki mobil penjemputan. Namun tiba - tiba beliau di tembak mati di depan rumahnya, istrinya. Sungguh memilukan!!

Aksi dramatis juga sempat terjadi di kediaman Jend. A.H Nasution. Kala penggrebekan istri sang Jenderal mencoba menghalangi tentara penjemput dan memberi waktu untuk sang jenderal menyelamatkan diri dengan cara melompat pagar belakang rumahnya. Namun sayang, bocah kecil Ade Irma lah yang menjadi korbannya.
Para Jenderal yang di culik kemudian di kumpulkan di sebuah gubuk dekat lubang buaya. Lantas di perlakukan tak manusia. Tubuh mereka berlumuran darah segar akibat penyiksaan dan penyayatan sebelum akhirnya mayat para pahlawan revolusi ini di masukan dalam lubang buaya.

Jujur saja film ini terus saja membayangiku dan masyarakat kampung yang lainnya. Takut dan sangat tidak tega akan peristiwa penyiksaan tersebut. Beberapa hari kemudian bapakku membeli 3 poster yaitu, Jend. Ahmad Yani, Jend. Panjaitan dan Jend. Suprapto. Ketiga poster tersebut kemudian di pajang di ruang tamu. Kakak perempuan saya yang nomor 4 (kala itu dia duduk di bangku kelas 3 SD) yang menyelipkan poster - poster tersebut.

Kebetulan rumah berdinding bebak jadi tinggal iris sedikit sudah bisa di pajang. Setelah terpajang kakak tak langsung beranjak pergi. Ia terus saja menatap poster ketiga jenderal tersebut. Ia merasa heran karena lirikan mata para jenderal seolah - olah mengikuti pergerakannya.

Akibatnya malah harinya ketika kami semua terlelap tidur tiba - tiba ia berteriak histeris. Sontak membangunkan kami semua yang kebetulan malam itu kami membentang tikar dan tidur bersama - sama di ruang tamu. Tubuh mungilnya menggigil ketakutan. Ia menangis sesunggukan sambil tangan kirinya menututpi wajahnya sedangkan tangan kanan menunjuk ke poster Jend. Ahmad Yani. Di sela - sela isak tangisnya ia bilang "Aku takut. Aku dengar poster itu berbicara". Kami semua berpandangan lalu menertawakan kakak yang terbawa halusinasi.

Film bersejarah ini tak pernah absen untuk kami tonton di setiap tahunnya. Apalagi beberapa tetangga lain juga
sudah mempunyai TV sendiri sehingga bisa lebih leluasa. Namun ketika saya lulus SD di tahun 1998 film ini tidak di putar lagi. Belakangan baru saya sedikit paham. Apakah penghentian pemutaran film ini ada kaitannya dengan lengsernya Bapak Soeharto?

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun