Mohon tunggu...
Politik

Antara Persekusi dan Lemahnya Penegakkan Hukum

12 Juni 2017   04:13 Diperbarui: 12 Juni 2017   09:38 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.shutterstock.com

Akhir-akhir ini, media di Indonesia dihebohkan dengan isu persekusi yang dilakukan sejumlah oknum. Contoh kasusnya adalah peristiwa yang menimpa dokter asal Solok, Sumatera Barat berinisial FL dan remaja berusia 15 tahun warga Cipinang Muara, Jakarta Timur, berinisial PMA. Penyebabnya sama, yaitu mengenai unggahannya di media sosial yang dinilai melecehkan satu pihak tertentu. Beberapa massa pendukung pihak yang dilecehkan tersebut merasa tidak terima dan kemudian melakukan pencarian terhadap yang bersangkutan lalu yang bersangkutan dipaksa membuat surat pernyataan bahkan ada sumber yang menyatakan bahwa yang bersangkutan diintimidasi oleh massa pendukung.

Menurut KBBI, persekusi adalah "pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas". Sementara menurut Wikipedia, persekusi adalah perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Persekusi juga merupakan serapan dari kata persecution dalam Bahasa Inggris. Secara kasar, persekusi mirip dengan aksi main hakim sendiri. 

Untuk isu persekusi yang muncul di Indonesia akhir-akhir ini, penyebabnya tidak jauh dari media sosial, lebih tepatnya yaitu unggahan yang dinilai menjatuhkan satu pihak tertentu. Di lain sisi pihak yang dinilai dijatuhkan tersebut juga memiliki "pendukung" yang kadang tak terima rekanannya dijatuhkan. Hal ini memicu munculnya hasrat untuk mengerahkan massa pendukung pihak yang dijatuhkan kemudian "memburu" pemilik akun yang telah memposting unggahan yang dinilai menjatuhkan tersebut. 

Dilihat dari tindakan tersebut, sejatinya tidak salah jika kemudian pengunggah hanya diminta untuk mengklarifikasi unggahannya dan diselesaikan secara kekeluargaan. Akan tetapi menjadi salah ketika tindakan tersebut diikuti dengan tindakan mengintimidasi, mengancam, bahkan kekerasan. Dan sayangnya, beberapa kasus persekusi di Indonesia akhir-akhir ini, banyak terselip tindakan-tindakan berupa intimidasi, ancaman dan kekerasan.

Dikutip dari AntaraNews, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai munculnya isu persekusi saat ini tidak terlepas dari masih lemahnya upaya penegakan hukum di Indonesia yaitu hukum tidak berjalan atau hanya berjalan sesuai selera penguasa.

"Akibatnya, persepsi publik terhadap institusi penegak hukum semakin negatif bahkan mengalami krisis kepercayaan. Hal inilah yang kemudian mendorong masyarakat untuk menempuh cara dan modelnya sendiri demi mendapatkan keadilan," kata Fadli dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu.

Munculnya persekusi akibat adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakkan hukum yang berlaku di Indonesia. Meskipun persekusi adalah tindakan melawan hukum, pemerintah dalam hal ini penegak hukum yang berlaku diharapkan mampu menjadikan kasus ini sebagai bahan instropeksi terhadap kinerjanya dalam menegakkan hukum di Indonesia. 

Tindakan pengancaman, penganiayaan, dan pengeroyokan yang terkandung dalam persekusi, sejatinya melanggar pasal-pasal KUHP seperti pasal 368, 351, 170 dan masih banyak lagi. Dari sini jelas bahwa tindakan persekusi yang diikuti tindakan pengancamaan, penganiayaan dan pengeroyokan merupakan suatu tindakan melawan hukum. Dan memang benar, bahwa aparat penegak hukum boleh memroses kasus ini.

Jika memang penyebabnya adalah unggahan di media sosial yang dinilai melecehkan atau menjatuhkan pihak tertentu, pelakunya bisa dijerat Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik, atau pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang penyebar kebencian dan SARA. Namun kembali lagi, faktor utama munculnya persekusi ini diyakini adalah karena adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap upaya penegakkan hukum yang ada. Institusi penegak hukum dinilai tebang pilih dalam memroses laporan pelanggaran hukum yang ada. Karena hal ini, masyarakat yang tidak terima, memilih untuk bergerak dengan caranya sendiri untuk memroses pelaku. Akibatnya, masyarakat yang emosi bisa saja melakukan tindakan yang justru melanggar hukum.

Namun yang lebih disayangkan lagi, aparat penegak hukum justru lebih tanggap dan lebih cekatan dalam memproses tindakan persekusi. Aparat dinilai tebang pilih dalam penegakkan hukumnya. Aparat penegak hukum terkesan lebih memilih menunggu laporan, baru kemudian memroses tindakan pelecehan di media sosial. Kalaupun ada laporan yang masuk, kebanyakan menilai bahwa kinerjanya masih terbilang lambat dalam menangani kasus semacam itu. Hal ini didasarkan pada kasus yang hampir serupa dengan yang bersangkutan adalah Iwan Bopeng, yang jelas telah mengjatuhkan TNI. Hal tersebut justru memunculkan kesan bahwa aparat penegak hukum kurang berpihak kepada rakyat.

Benar bahwa sejatinya dengan adanya persekusi yang bisa dikatakan merupakan aksi main hakim sendiri oleh ormas maupun masyarakat mengindikasikan adanya ketidakpercayaan pada kinerja penegak hukum. Sudah seharusnya pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum instropeksi dan menjadikan kasus persekusi ini menjadi bahan evaluasi. Tentu dengan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum berkaitan dengan kinerja dalam penegakkan hukum yang masih lemah dan tebang pilih serta adanya masalah dalam institusionalisasi hukum Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun