"Kepalat!"
Begitu, ujar seorang anak lelaki yang cedal saat ditanya orang tuanya, mengenai kejadian yang menimpa Novel Baswedan. Komentar lugu anak itu kiranya mewakili keluguan kita dalam menyikapi peristiwa penyiraman air keras ke wajahnya. Kini makin kentara reaksi orang-orang besar di pemerintahan dan parlemen kita, mereka lebih malu didakwa korupsi, tetapi tidak malu untuk melakukannya. Artinya, si koruptor akan berupaya dengan segala daya – tentu, dengan uangnya – untuk melenyapkan atau menghilangkan bukti-bukti yang memojokkan dirinya. Satu hal yang dilupakan mereka, pembalasan itu tidak selalu dalam wujud jeruji penjara, juga berasal dari semesta. Siapa tidak khawatir dengan pembalasan semesta, berarti dirinya kurang serius dalam berdoa!
Sebenarnya bukan khayalan untuk negara seaneka Indonesia untuk berharap pada suatu keadaan yang makmur, berkeadilan, disangga komunikasi berbelas kasih. Apalagi keberagaman itu telah menjadi modal semenjak awal pendiriannya. Berjuang bersama, bahu-membahu sebagai sesama yang mendiami pulau-pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Rasa kasih akan membingkai sekaligus melumasi peradaban kita yang berbhineka. Sumber-sumber kekayaan pun akan terjaga dari rongrongan asing yang menipu daya. Suatu peradaban yang diaduk dari kasih akan membentengi dari upaya-upaya ala devide et impera.
Memang benar ujar mBah Rono (Surono, mantan Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral): manusia sebagai tamu, harus menjaga alam. "Selayaknya kita sebagai tamu, tidak mengambil seenaknya. Kalau kita mengambil seenaknya, bukan hanya yang punya rumah sakit hati, nanti kita bisa saja menyerempet-menyerempet aturan hukum." Ia menegaskan bahwa apa yang dihadapi manusia di masa depan adalah rebutan sumber pangan dan air.
Ya, pergolakan ini (perebutan pangan dan air) akan berbahaya jika tidak disikapi dengan arif. Tantangan terbesar justru muncul dari dalam, semakin sering kita bertengkar, kita pun akan menjadi sampyuh di tanah gemah ripah loh jinawi ini.Â