Mohon tunggu...
Nur Allan Lasido
Nur Allan Lasido Mohon Tunggu... -

Seorang jurnalis, menekuni kajian media dan budaya. Berasal dari Bitung, kota kecil di ujung Utara Sulawesi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meneropong Makassar Tempo Dulu

21 April 2011   11:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:33 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lewat Etalase Museum Kota

Tantangan Pemerintah Kota Makassar –dan banyak kota di Indonesia lainnya- adalah bagaimana menjadikan museum sebagai salah satu tempat kunjungan wisata, minimal bagi warganya sendiri. Tak sedikit yang beranggapan, museum adalah tempat yang membosankan karena dipenuhi oleh benda-benda mati yang ditinggalkan.

Pemikiran macam ini tidak salah, meski tidak sepenuhnya benar. Museum hakikatnya adalah tempat dimana sejarah dihidupkan. Benda-benda yang dikira mati itu sebenarnya hidup; mereka mengajak bercakap pada siapa saja yang datang. Mereka bahkan melucu dan menghibur kita. Kita yang sebenarnya ‘mati’; enggan menyahuti ucapan dan percakapan yang mereka bangun.

“Museum dari jenis apa pun  memiliki tugas yang sama –untuk mempelajari, melestarikan, benda-benda pameran nilai budaya untuk kebaikan masyarakat secara keseluruhan,” tulis Unesco, yang sejatinya memberikan penekanan pada pentingnya arti museum sebagai sentrum pelestarian nilai budaya dan sejarah. Lalu, sudahkah Anda berkunjung ke museum hari ini? Pertanyaan sederhana yang (ternyata) tidak sesederhana menjawabnya. Jalur khusus yang dimaksud, konon merupakan jalur tembus yang menghubungkan ke Benteng Rotterdam yang jaraknya sekitar 500 meter

Saat ini masyarakat nampaknya butuh sedikit rekonstruksi pemahaman terhadap fungsi museum. Mengingat tidak banyak di antara kita belum sepenuhnya tahu manfaat museum.  Museum bukan hanya sebatas tempat koleksi benda budaya yang  bernilai sejarah, museum bukan pula dipahami sebagai tempat “penampungan” benda atau situs masa lampau, tetapi museum kini dipahami sebagai transformasi gagasan budaya bangsa (nations cultur knowlage) dalam menjaga  memori gerak zaman.

Menjawab pertanyaan sederhana di atas, saya  mengajak pembaca mengelilingi Museum Kota Makasar yang tertetak di Jalan Balaikota nomor 11. Didirikan pada tahun 1918, bangunan bergaya arsitektur  zaman kolonial ini dulunya bekas kantor perwakilan Pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Makassar. Pertama kali digunakan sebagai kantor wali kota oleh Mr. D.J Hambrink, wali kota pertama Makassar tahun 1918-1927. Museum Kota Makassar dibuka secara resmi oleh Wali Kota Makassar H.B Amiruddin Maula pada Juni 2000. Letaknya yang berada di jantung Makassar, memudahkan siapa saja untuk ke museum yang baru saja direnovasi ini. Bagi Anda yang dari arah Bandara Sultan Hasanuddin  dapat menempuh jarak 11 km, sebaliknya dari Pelabuhan Laut Soekarno Hatta Anda hanya memerlukan jarak tempuh 1 km. Museum Kota Makassar dari arah utara bersebelahan dengan kantor Wali Kota Makassar. Sebuah taman yang cukup luas, yang ramai ditumbuhi pepohonan akan Anda jumpai; sebagai pelengkap tersendiri bagi lingkungan hijau di sekitar museum ini.

Saat mengunjungi museum ini, melewati gerbang utama aura abad ke-17 zaman kolonial Hindia Belanda sudah mulai terasa. Sebuah prasasti berdiri begitu saja, siap menghadang setiap pengunjung. Prasasti berwarna emas, bertuliskan “MOMEN SEJARAH. Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa. Museum Kota Makassar dibangun untuk generasi yang akan datang, agar mereka mengenal sejarah perkembangan kotanya yang menjadi kebanggaan berkesinambungan.” Tidak lupa ‘terukir’ tanggal peresmian Museum, 7 Juni 2000 – 14 Rabiul awal 1421 H, oleh Gubernur Sulsel Sulsel H.Z.B. Palaguna, lengkap dengan ide dan pemrakarsanya, yakni Wali Kota Makassar Drs. H.B. Amiruddin maula, SH, MSi.

Di lantai dasar, saat melewati pintu masuk yang terbuat dari kayu jati ukuran jumbo, mata saya langsung tertuju pada beberapa koleksi hasil dokumentasi berupa lukisan pahlawan Makassar dan potret beberapa bangunan bersejarah.

Sementara itu, bagian tengah ruang pamer utama, di sudut kiri atas terpajang lukisan Syech Yusuf; seorang pejuang dari kalangan bangsawan Makassar berkelas internasional yang pada Juli 1693 bersama 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika Selatan hingga Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet, dimana saat ini daerah  tersebut bernama Madagaskar. Konon nama ini adalah hasil asimilasi bahasa yang ‘keliru’ mengucapkan Makassar. Setelah menatap lukisan ukuran besar tersebut, saya makin penasaran dengan sejumlah koleksi museum ini. Bagian barat ruang pamer lantai dasar, saya telusuri hampir setiap detail benda peninggalan sejarah. Kali ini saya benar-benar terbawa khayal, instingku persis berada pada sebuah kondisi dimana Belanda masih menjadi penguasa atas pribumi. Susunan perabot, hingga dekorasi meja kerja zaman belanda jadi pelengkap museum ini “menghipnotis” pengunjung, menggiring kenangan ke masa kolonial.

Salah satu yang membuat saya betah di ruang pamer utama ini adalah, mengamati  sebuah piano klasik, bersemanyam membisu dan kaku. Saya lalu membatin, seandainya piono itu berbicara, pasti akan meminta sentuhan lembut jemari pianis melantunkan bait nostalgia era kolonial. Benda peninggalan belanda itu masih  terawat utuh.  Rasa penasaranku kian menyeruak  mengetahui seluk beluk alat musik ini,  saya lalu menanyai Firman, sekretaris Museum Kota Makassar itu mengatakan beberapa tahun silam sempat ada warga belanda menawari benda koleksi berharga itu pada Pemerintah Kota Makassar dengan nominal penawaran mencapai satu milyar. Sebuah angka yang cukup tinggi. Tetapi mengingat benda ini memiliki kandungan sejarah, pemerintah tidak membiarkan piano itu beralih kepemilikannya.

Warga Belanda itu berani menawar tinggi piano tersebut, karena selain asli dibuat tangan oleh Grand Piano Steinway, piano berwarna hitam mengkilap itu juga ada kaitannya dengan sejarah bangsanya saat berada di Makassar. Konon, ketika Belanda masih berkedudukan di Makassar, piano yang diproduksi tahun 1926 dengan seri 248277 itu sering mengisi malam-malam dansa para pejabat kolonial Belanda di balai kesenian rakyat ‘De Harmonie’. Dari situ, piano itu lalu hijrah ke gedung RRI Makassar, persis di depannya. Kemudian, oleh Wali Kota Amiruddin Maula, piano itu diangkut ke gedung ini, menjadi penghuni Museum Makassar hingga sekarang.

Sesuai informasi dari Nilam Indah Sari, yang menurunkan tulisannya di salah satu media online menyebutkan, piano antic yang terletak di museum kota itu adalah Grand Piano Steinway Model C-211 yang dibuat di Kota Hamburg. Pada 27 September 1927, piano ini dikapalkan dari Hamburg ke sebuah perusahaan di Surabaya bernama H. Naessens & Co. Informasi ini diperolehnya melalui korespondesi yang berani dan cerdas dengan pihak perusahaan dimana piano itu diproduksi.

Takjub dengan suasana abad 17, Tanpa sadar  saya tengah berada di sebuah ruangan yang hanya diisi koleksi patung dan relief potret Ratu Wilhelmina dan Yuliana yang dihadiahkan pemerintah Belanda untuk Kota Makassar. Sebagai balasnya, pihak pengelola museum sengaja memberikan “keistimewaan” bagi ratu bule tersebut dengan memberikan space khusus untuk relief Ratu Wilhelmina dalam lindungan lemari kaca. Kebijakan ini tentu terkait dengan hubungan dagang antara kedua pihak.

Menurut Firman, kala itu pemerintah Belanda telah menjalin hubungan dagang dengan Makassar dengan baik, sehingga penguasa Belanda Ratu Wilhelmina menghadiahkan kepingan relief potret dirinya.

Bersebelahan dengan ruang pamer relief Ratu Wilhelmina, saya menemukan sejumlah foto yang sudah dimakan zaman. Salah satunya Masjid Melayu yang dibangun oleh Ince Ali Asaadullah keturunan Melayu di Makasar pada tahun 1760. Melihat potret Masjid tersebut mengingatkan saya pada pengaruh budaya melayu yang berakar kuat pada kebudayan Islamisme khususnya di Makassar. Setelah cukup lama memanjakan mata di ruang pamer utama, saya beranjak ke ruang khusus penyimpanan sejumlah naskah kuno. Di tempat ini tersimpan naskah repro Perjanjian Bongaya yang ditulis pada dua aksara: Lontara’ dan Arab berangka 1667 Masehi. Selain naskah Bongaya terdapat satu keunggulan dari museum ini, yaitu  peta bumi yang masih tersimpan utuh.  Peta ini meilustrasikan arus dagang dan lokasi strategi pelayaran antar benua, negara dan kawasan. Menurut firman, pemandu setia saya, mengatakan peta bumi tersebut sempat dirahasiakan pihak kolonial untuk kelancaran misi perdangangan dan politiknya di Indonesia. “Bangsa Eropa membuat peta untuk daerah jajahannya yang dinilai signifikan dan strategis terutama yang berkaitan dengan jalur dagang. Peta ini telah memberikan informasi berharga dari suatu kawasan,” ungkap firman.

Setelah melewati ruang naskah, saya diajak Firman menuju  ruang kosmos. Sebuah ruangan yang terlihat berbeda dengan yang lainnya. Di dalamnya terdapat miniatur busana perkawinan adat Makassar beserta kelengkapan pesta perkawinan.

Busana adat Makassar sejak dulu memiliki makna tersendiri bagi yang mengenakannya, berdasarkan  garis keturunan dan strata sosial. Sementara untuk jenis kelamin pemakainya, busana adat Makassar tentu saja dapat dibedakan atas busana pria dan busana wanita, seperti terlihat pada miniatur di ruang kosmos. Masing-masing busana tersebut memiliki karakteristik tersendiri, busana adat pria dengan baju belah dada dan jas tutupnya sedangkan busana adat wanita dengan baju bodo dan baju la’bu-nya. Di tahun 2009 Museum Kota Makassar mengalami renovasi besar-besaran. Proyek pemugaran ini menurut lelaki santun itu,  untuk kembali menjaga unsur keawetan bangunan asli dari ancaman kerusakan. Namun, lanjut Firman, pengembalian ke bentuk asli bangunan tersebut tidak total. Sebab, masih ada satu pintu tidak terbuka dan sangat sulit membukanya. Pintu yang terbuat dari baja kualitas terbaik itu berada  lantai satu, ruangan utama. Pintu itu tertutup  rapat dengan model anak kunci yang tidak dimiliki tiruannya di Indonesia. Konon, pintu itu merupakan jalur khusus yang digunakan para sedadu kolonial Belanda lalulalang sambil sesekali mengatur strategi perang melawan armada laut Kerajaan Gowa dalam menjajah bangsa Indonesia yang berada di Makassar dan sekitarnya. Jalur khusus yang dimaksud, konon merupakan jalur tembus yang menghubungkan ke Benteng Rotterdam yang jaraknya sekitar 500 meter. Sayang, cerita tersebut belum dapat dibuktikan secara ilmiah para sejarawan di Makassar lantaran pintu tersebut masih tertutup rapat.  ”Hanya pintu itu yang sulit dibuka, sementara yang lainnya sudah diperbaharui,“ papar Firman.

Tapi, versi lain menyebutkan, masih menurut Firman, isi di dalam pintu itu hanya berupa kertas-kertas biasa menyangkut urusan kantor ketika itu. Perkiraan ini beralasan, jika melihat peruntukan ruangan dimana pintu itu berada dulunya memang adalah kantor dengan loket di salah satu sisi dindingnya. Tapi mengapa ditinggalkan dalam keadaan terkunci, itu yang menjadi misteri hingga sekarang. Tak satu pun otorita di Makassar yang bersedia bertanggung jawab dan memerintahkan membuka pintu itu. Alasannya cukup jelas: tidak ingin merusak. Sebab satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah dengan merusak pintu itu, yang cukup beresiko bagi rusaknya dinding lain. Ini berbahaya, selain itu tentunya melanggar undang-undang.

Inilah salah satu usaha yang dilakukan Pemerintah Kota Makassar khususnya Dinas Pariwisata dan kebudayaan melestarikan peninggalan masa lalu kota ini. Menghidupkan sebuah museum sebagai salah satu tempat kunjungan wisata adalah upaya cerdas yang menuntut kreatifitas dan kerja keras. Pemkot dan dinas terkait idealnya menghidupkan kembali wisata pelajar dengan tema ‘Ayo ke Museum’. Memasukkan kunjungan ke museum sebagai agenda ekstrakulikuler atau bahkan kurikulum pengetahuan sejarah. Hal ini dilakukan tentu agar sejarah Kota Makassar dapat tetap hidup di isi kepala generasi anak bangsa kita.

Namun patut dicatat, dalam  studi postkolonial yang merupakan perkembangan kritis sejarah, telah menorehkan dekonstruksi pemikiran, bahwa sejarah hanyalah milik penguasa. Sejarah tercatat hanya bagi mereka yang berkuasa untuk dikenang sebagai potret beradaban. Pemikiran ini tentu harus dijinakkan dengan cara yang paling sederhana: memperkenalkan anak didik kita kepada sejarah dengan cara mendekatkannya dengan museum. Selanjutnya, ceritakan kepada mereka heroisme dan kumpulan-kumpulan keutamaan yang kita miliki, yang dicoba direnggut dan dibelokkan oleh para penjajah.

Sudahkah Anda berkunjung ke Museum Kota Makassar? Isi Museum Kota Makassar, antara lain: KOLEKSI BOLA MERIAM Bola meriam ini menyimpan sejarah pertempuran sengit antara kerajaan Gowa dengan Belanda, pasukan Belanda membombardir Pantai Makassar dengan meriam. KOLEKSI PATOMPO MEMORIAL Anda pun dapat menyaksikan koleksi Patompo, mantan Wali Kota Makassar yang pada masa jabatannya banyak memberikan perubahan pada kemajuan Kota Makassar. KOLEKSI MAULA ART GALERI Pada lantai II museum Kota Makassar terdapat Maulana Art Galery yang menyimpan berbagai pernak-pernik tradisional yang umumnya merupakan hasil kerajinan rakyat. KOLEKSI CINA Koleksi lainnya adalah keramik China dari masa Dinasti Ming abad ke 14–17 dan keramik Jepang. Untuk koleksi foto seperti para mantan wali kota, foto tentang bangunan bersejarah Kota Makassar, baik yang dapat dipertahankan keadaannya maupun yang telah musnah, seperti bank pertama yang ada di Makassar dan foto tentang pelayaran orang Makassar ke Australia mencari teripang pada 1881 hingga 1907. RUANG TVRI MEMORIAL Di ruangan ini  tersimpan beberapa peralatan kamera TVRI ‘tempo doeloe’, lumayan membantu menyegarkan kembali ingatan kita di jaman TVRI di era 80-an. Sementara itu, di dekat piano Steinway terdapat satu ruang yang bernama Ruang Tokoh-tokoh Pemerintahan. Di ruangan ini terpajang daftar nama-nama Wali Kota Makassar sejak jaman Belanda (1918-1942), Jepang (1942-1945), NICA (1945-1946), Negara Indonesia Timur (1947-1950), Republik Indonesia Serikat (1950-1951) hingga Negara Kesatuan Republik Indonesia (1951-sekarang). (Foto: Ariane Mays. Tanggal: 18 April 2010)Museum Kota Makassar. Dulunya Kantor Wali Kota Makassar (Gemeentehuis). Dibangun 1918.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun