Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rasa Mudik Raya Kita

23 Juni 2017   13:00 Diperbarui: 23 Juni 2017   19:44 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemudik antre menunggu masuk ke kapal Ro-Ro saat puncak arus mudik di Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten, Jumat (23/6/2017). Pelabuhan Merak menargetkan 1.438.550 orang akan menyeberangi lintasan Merak-Bakauheni selama Lebaran tahun ini. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Pemudik antre menunggu masuk ke kapal Ro-Ro saat puncak arus mudik di Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten, Jumat (23/6/2017). Pelabuhan Merak menargetkan 1.438.550 orang akan menyeberangi lintasan Merak-Bakauheni selama Lebaran tahun ini. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMOMakhluk hidup pada ghalibnya, memiliki kecenderungan kembali ke tempat ia bermula selaku ciptaan. Sebagaimana jamak kita temukan dalam kehidupan manusia--sejak awal kehadirannya di bumi, hingga hari ini. Sementara di sisi lain, ada juga golongan manusia yang gemar mengembara. Ke mana pun kakinya menuju, ke situlah pula tujuan dipatri. Bagi para pengembara, tujuan adalah titik tolak selanjutnya. Mengembara dan kembali ke rumah, dapatlah kiranya disebut kodrat alami manusia. Kita lahir ke dunia sebagai perantau dari surga yang tak tepermanai. Tak aneh bila dalam setiap peradaban, bermunculan adagium: Kembali ke akar. Kembali ke asal muasal kejadian. Para pengembara, menjadikan dunia sebagai tempat perantauan, sebelum kembali ke haribaan Hyang Maha Esa. Masyarakat Nusantara kuno menyebutnya "Hompimpah alaium gambreng." Dalam khazanah Sunda dikenal istilah, "Mulih ka jati mulang ka asal." Muslim sedunia mengenalnya dengan kaidah, "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un." (QS. al-Baqarah [2]: 156). Semua bermakna sama: Dari tuhan kembali ke tuhan." Bangsa Nusantara, dengan segala keunikan dan kelebihannya tinimbang bangsa lain, memang terkenal sebagai pecinta tanah kelahiran sekaligus pengembara sejati. Sebuah kondisi yang paradoks sekali. Anak-anak negeri Khatulistiwa sulit dipisahkan dari kampung halamannya. Maka wajar bila orang Minang punya pedoman, "Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung." Kita terbiasa melatih diri hidup di mana pun, dalam kondisi apa saja. Khusus saudara kita yang berasal dari Tatar Sunda, lain lagi ceritanya. Mereka ini terkenal sulit memisahkan diri dari puak. Tanah bagi mereka, cinta. Air mereka mewujud rindu. Tanahnya memikat hati. Airnya terjun (curug) bebas dari puncak-puncak gunung tinggi. Tuhan memanjakan mereka dengan kesejukan, kesuburan tanah, udara yang dingin, dan sumber air panas. Bahkan mereka terampil memilih dedaunan tuk dilahap mentah-mentah. Perpaduan ajaib itulah yang membuat urang Sunda sukar mendustakan nikmat tuhan. Kembali ke DiriKetika kita kembali menyambangi kampung halaman, sejatinya kita bukan sedang menengok masa lalu. Apalagi terdampar di kenangan yang berujung nostalgia semu. Lebih dari itu, kita sedang berhadapan dengan kenyataan hidup yang tak bisa dibebat ragu. Pemudik antre menunggu masuk ke kapal Ro-Ro saat puncak arus mudik di Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten, Jumat (23/6/2017). Pelabuhan Merak menargetkan 1.438.550 orang akan menyeberangi lintasan Merak-Bakauheni selama Lebaran tahun ini. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMODulu ketika masih di kampung, barangkali kita bukan siapa-siapa. Belum jadi apa-apa di masyarakat. Bagaimana dengan saat ini? Semoga sudah sebaikbaik manusia yang manfaat. Perenungan tersebut bisa saja terjadi pada siapa pun di antara kita. Setidaknya, nilai misteri hidup telah terkuak pada usia kita yang kiwari. Padahal posisi yang sekarang kita singgahi, kala itu masih samar adanya. Setelah apa yang kita capai kini, mencuatlah sebentuk kesadaran yang tersusun berdasar rangkaian perjalanan panjang di belakang sana. Pelahan namun pasti, hidup mulai membuka tabirnya yang hakiki. Mudik ke kampung, seyogyanya bukan melulu soal ajang unjuk keberhasilan-kesohoran. Melainkan sebagai wahana napak tilas riwayat hidup sendiri--bahwa kita pernah jadi bagian dari keramah-tamahan desa, keharmonisan alam dan manusia, keindahan berbagi kebahagiaan panen, bergotong-royong, jujur bertutur, serta menenggang rasa. Sementara di Jakarta, dan kota besar mana pun di dunia, semua itu tinggal jadi dongeng dalam buku pelajaran, dan artefak kaum urban. Jadi jangan biarkan generasi pelanjut kita terlena dalam hidup yang serba artifisial. Palsu. Ambigu. Kelentingan ritus mudik dalam Islam, sebenarnya membawa berkah bagi penganut agama lain. Mereka juga tergerak mudik ke kampung masing-masing. Menuai untung dari libur panjang lebaran. Menjumpai handai taulan nun di ufuk harapan. Mudik juga mengajari kita arti penting perpisahan dan perjumpaan yang berkelindan. Rindu yang menggunung, jadi penawar pilu berdaun-daun--hidup di kota yang getun. Kita perlu menggali lebih dalam harta karun peradaban manusia yang terpendam. Keadaban luhur yang pernah ada, bukan hilang sama sekali. Justru kita membiarkannya teronggok dalam diri sendiri--yang kian terombang-ambing bersama ayunan sejarah dunia modern. Selamat bermudik raya. Jumpa lah lagi kita pada Ramadhan tahun depan. Semoga lebaran tiba di kampung halaman.  Ren Muhammad, 27 Ramadhan 1438 H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun