Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Obat Tertahan di Bea Cukai, Pasien Penyakit Langka Meninggal Dunia

28 Februari 2017   20:30 Diperbarui: 16 Maret 2017   20:00 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1045374ThinkstockPhotos-483185237780x390.jpgJAKARTA,  KOMPAS.com - Obat-obatan untuk pasien penyakit langka masih sulit didapatkan di Indonesia. Obat harus impor dari luar negeri. Meski demikian, untuk mendapatkan obat dari luar negeri sampai di tangan pasien pun prosesnya tidak mudah.

Dr.dr. Damayanti R Sjarif, SpA(K) dari bagian Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen IlmuKesehatan Anak FKUI/RSCM mengungkapkan, obat dari luar negeri untuk penyakit langka tak bisa cepat didapatkan karena tertahan regulasi di bea cukai.

Padahal, obat tersebut terkadang dibutuhkan mendadak untuk menyelamatkan nyawa anak dengan penyakit langka.

"Pasien sudah gawat, obatnya enggak ada di Indonesia. Pakai sistem normal bisa satu bulan atau pasien pesan sendiri melalui online, seperti Amazone. Tapi begitu masuk ke Indonesia ditahan di bea cukai, enggak bisa masuk. Banyak sekali persyaratannya, sementara saya harus nunggu dari jam ke jam," kata Damayanti dalam acara peringatan Hari Penyakit Langka Sedunia di RSCM Kiara, Selasa (28/2/2017).

Damayanti menceritakan, ada pasien yang nyawanya tidak tertolong karena menunggu obat dari luar negeri. Pasien itu adalah bayi Kenes yang tiba-tiba masuk UGD pada usia 5 hari.

Setelah sampel darah dikirim ke luar negeri, Kenes didiagnosis penyakit langka bernama Isovaleric Acidemia.

Ia tidak memiliki enzim yang dibutuhkan untuk membantu metabolisme suatu zat dari ASI. Saat itu kesadaran Kenes sudah menurun dan keringatnya mengeluarkan bau yang khas.

Satu-satunya cara untuk menyelamatkan Kenes adalah dengan pemberian susu khusus yang belum ada di Indonesia.

"Susu itu enggak bisa diberikan kepada anak normal. Khusus dibuat untuk penyakit tersebut. Jadi harus resep dokter. Susu itu sifatnya sebagai obat, tapi di Indonesia semua susu dianggap makanan," jelas Damayanti.

Damayanti pun segera mengirim surat ke sebuah perusahaan yang memproduksi susu tersebut. Sampai akhirnya susu tersebut cepat dikirim ke Indonesia.

"Tapi apa yang terjadi? Masalahnya di bea cukai lagi. Saya bilang, 'pasien saya perlu pak' . Tapi jadinya harus bikin surat dan nunggu lagi berminggu-minggu. Akhirnya kita kehilangan Kenes," tutur Damayanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun