"Manusia memang tidak dapat menentukan. Tetapi manusia masih dapat memilih sebagai diri untuk apa ia menjalani hidupnya. Maka, pilihlah satu titik dimana kamu  percaya akan "bahagia" menjalaninya, yakin dan percayalah pada dirimu sendiri!"
Seperti yang terundung di dalam gelap di ballik lebatnya hujan sore ini. ia "Budi" bukan saja terus meretapi dirinya sendiri di kala hujan itu datang. Merenungi diri seperti ritus bagi Budi, ia bukan tidak mau seperti mereka, yang melakukan ritual-ritual untuk ketenangan hidup lebih umum, dan dilakukan sebagai sarana ketenangan dalam batin masing-masing manusia.
Tetapi tau-kah, apakah memang manusia harus merendah sampai titik rendah itu supaya ia terobati sebagai mahkluk yang bernafsu, lalu terkadang buas seperti Singa, kemudian banal bagai Ular-ular itu yang tidak terlihat namun di kala banjir datang, ia seperti manusia yang kepanikan mencari tempat menyelamatkan diri?
Apakah kehidupan ini, "benar" Ia tidak teruntut geneologinya oleh nafsu-nafsunya sendiri sebagai manusia? Atau dengan bagaimana manusia harus berlaku dalam hidup, mungkinkah "benar" nafsu itu sesuatu yang harus dihindari manusia?
Inilah yang terkadang dalam diam itu diratapi oleh Budi. Tentang masa depan anakanya, juga masa depan dirinya yang terkadang dibuat rancu oleh realitas.Â
Tetapi apakah realitas itu tidak perlu dibuktikan dengan realitas pula pada akhirnya? Yang sama-sama berlaku dalam kerancuan abadi kehidupan di dunia ini?
Sesuatu itu, sudah terpahami dengan baik oleh budi, dibalik ia harus memenuhi kebutuhan badannya, ia juga harus memenuhi kebutuhan inginnya yang terkadang menjadi manusia, mereka juga melihat manusia lain untuk hidup.Â
Kemudahan akan bagaimana seseorang yang punya banyak uang, mereka tidak bingung untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, apa-apa menjadi mudah, bahkan didalam hujan sekalipun ia masih dapat berteduh di mobil melanjutkan perjalanan untuk sampai ke tujuan mereka.
Namun dengan gaji yang terbatas cenderung minim di dalam negeri sendiri, ini bukan saja merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan, tetapi menjadi pertanyaan, apakah masih "zaman" relevansinya mencari kaya di lorong-lorong goa dan gunung-gunung sakral disana, ketika untuk menjadi sejahtera didalam negeri sendiri masih banyak syaratnya?
Kehidupan modern bukan saja menuntut manusia untuk saling curiga, bukan kepada orang-orang yang masih percaya akan hal mistik tersebut, tetapi curiga pada pikirannya sendiri, apakah benar untuk kaya secara instan harus begitu caranya?Â