Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Pertapa" yang Indah Itu

1 Agustus 2019   12:28 Diperbarui: 28 Agustus 2019   06:25 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepertinya manusia dihadapkan pada pertanyaan besar, apakah yang harus mereka tuju dalam hidup ini? Terkesan mengengkel, manusia jelas ingin kuasa, ingin kaya, dan ingin menjadi yang paling terhormat diantara mereka yang tidak untuk dihormati.

Teduh yang belum tentu hujan, pagi ini cuaca telah kembali menjadi dingin di pesisir selatan Pulau Jawa , mungkin juga antara manusia dan alam semseta akan berangsur menjadi sama, binasa untuk tumbuh kembali dan seterusnya, menjadi siklus dari hukum energi tersebut, antara hidup dan mati sebagai pemilik kehidupan.

Manusia dan kehidupan, sesuatu yang tidak akan pernah terpisahkan meskipun sudah tidak menjadi manusia lagi. Bagaimanapun sebutan itu, tetap "ketiadaan" lalu menjadi "ada" kembali, merupakan simbol enigma yang jelas-jelas sedang dilalui siapapun bagi yang hidup kini, termasuk tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang tidak pernah terpandang sekalipun.

Jiwa-jiwa bayi yang merias dirinya agar lebih terakui sebagai "manusia", atau sebaliknya dengan jiwa-jiwa muda yang ingin di akui dalam setiap peranannya yang sedang dilakoninya di dunia. Tentang yang rancu ini, jiwa tua yang bongkok dan sudah tidak memperdulikan dunia harus hadir, setidaknya mencontohkan sebagai jiwa yang berupaya lari dari penderitaan.

Ya, siapapun mengakui, hidup adalah penderitaan itu sendiri. Pemenuhan-pemenuhan kebutuhan penopang hidup, setiap dari apa yang manusia atau mahkluk-mahkluk hidup butuhkan sangat mengundang derita itu. Manusia harus bekerja, menjalani hidup penuh problematika dengan manusia lain, dan kehendak kuasa saling menguasai yang terkadang menjadi benturan hidup sesama manusia diruang kerja.

Sang Singa memangsa buruannya seperti Kijang, begitu pula dengan manusia sok "kuat" yang jumawa memangsa manusia lemah lainnya, sebagai keuntungan nama dan ekonomi bagi mereka yang kuat. Agar terlihat baik dan menguntungkan ditempat kerja, membidik peran dalam jabatan tertentu di ruang kerja, membenturkan setiap konflik menjadi keuntungannya sendiri.

Seyogianya hidup adalah penuh penderitaan itu, sadarilah bahwa hidup ini memang menderita, dikala penderitaan sebagai jalan hidup itu sendiri, karena kesadaran akan "penderitaan" sudah tiada lagi konsep penderitaan dalam pikirannya. Tentang ruang kerja, biarlah ia menjadi tempat berperan para orang-orang ganjil gila muka, sehingga menjilat patat Dewa-dewa baru dalam struktur bagian ruang kerja.

**

Namun kembali lagi, semua merupakan bagian dari persepsi bagaimana jalannya pikiran ini. Terlebih jika manusia berpikir bahwa hidup ini harus bahagia, senang, dan segala macamnya tanpa mau mengerti sedikit penderitaan sebagai manusia itu sendiri. Cobalah sedikit untuk dimengerti, belantara telah menjadi sebuh kota-kota itu. Memang ini bukan lagi pergumpulan komunitas primitif-primitif yang memagang sejata sebagai pembelaan dirinya.

Tetapi pesan sebagai verbal itu, telah mengikis, mengedapkan, jiwa-jiwa yang buas untuk takluk sebagai dirinya yang rasional dan penuh dengan cinta kasih. Tidak lebih untuk lepas dari penderitaan yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, karena semua sebagai konsep, tentu "konsep" moderitas yang mulai untuk ditutupi, dimana kebuasan manusia dan mahkluk hidup lainnya akan selalu menjadi sesuatu yang frontal.

Maka dari itu narasi gempitanya suatu kota, terlihat, terdengar, nyaris akan berlaku sama bagi manusia, dan makhluk yang terpinggirkan disana. Mungkin bukan lagi sebuah jejak, yang baik adalah mereka para manusia "pertapa" yang lari dari dunia. Tetapi bagimanapun, pertapa yang menantang dunia merupakan seindah-indah "pertapa" dalam menjadi manusia, untuk tenang dihadapkan semakin cepatnya laju kehidupan dunia, bersama rongrongan kegilaannya manusia atas dunia kerja dan bidikan jabatannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun