Laras panjang ini dikira adalah senjata besar terbuat dari kuningan dan tembaga, disamping sana juga ada orang yang bilang, Senjata laras panjang ini terbuat dari emas yang di ukir rapi, dan pasti hanya orang besar berpengaruh yang dapat mempunyainya.
Namun rasio yang menggoyah itu, setiap orang mempunyai laras panjangnya sendiri atas nama pribadi dan kemampuannya. Tetapi sumua tergantung bagaimana ia akan mempergunakannya, tentu menjadi masalah pribadinya sendiri. Dalam hal ini, dia "senjata laras panjang" yaitu gerak otonom dan masuk zonasi ruang besar, eksplorasi terhadap pribadi yang unggul.
Ruang anggapan memang hanya ruang anggapan, dia tidak akan dapat masuk terlalu dalam realita sosial yang terjadi bahwa: mungkin esok akan di temukan  senjata laras panjang itu milik dari seorang pemulung tua, yang dapat mempergunakan senjata itu, untuk menjadikan anaknnya menjadi seorang "Raja" suatu saat nanti.
Pandangan klasik sendiri mengungkapkan, bawasannya "miskin" adalah mereka yang tidak mampu dalam pandangan sosial setara dengan kemampuan khusus lainnya, yang jarang di punyai oleh manusia umum setiap zamannya. Tetapi bukankah masyarakat teknologi tengah mengubah itu? Perihal diri dan setiap kesetaraannya?
Bawasannya, jika seseorang itu pandai mengukir bakatnya lewat fasilitas, dimana dia sudah tidak perlu lagi punya kekuasaan, punya akses, dan punya uang untuk setiap wacana unjuk kemampuannya, semua mempunyai kesempatan yang sama.
Kini tidak ada yang membedakan kita, meskipun terkadang memandang sebelah mata itu masih terjadi, namun bakat dan ekspresi tidak akan pernah direpresi oleh siapa pun. Dia bebas terbang berdiri asal ada kemauan dan harapan yang harus mereka kejar, untuk mengisi apa yang harus terisi sebagai jalan hidupnya sendiri.
Maka senjata dan upaya manusia menjadi baru itu di masyarakat teknologi masih sangat terbuka. Kita adalah generasi yang sama, setara dalam memandang apu pun, latar belakang kita sebagai manusia kini sepadan. Tetapi realitas rasanya tidak menunjukan itu, manusia harus melawan pikirannya sendiri.
Oleh karenanya dengan bakat dan preferensi hidup manusia itu sendiri, seakan saya ingin berjalan melawan arus, melawan semua rasa ingin yang ada, yang ingin tergapai, dan yang sedang dicoba dimiliki lewat apa yang kini sebagai media fasilitator itu.
Sebetulnya saya sadar betul, dalam hidup setiap orang mencari kriteria, mencari yang ideal menurut bayangan imajinasinya sendiri. Namun semua itu wajar, karena dunia abad ini menumbuhkan keinginan yang berlanjut setiap manusia. Ketika semua manusia ingin menjadi untung, selalu manusia itu ingin bermimpi menjadi yang terberuntung.
Manusia ada kalanya memang berjalan dengan kekosongan tanpa apa pun dibelakangnya, tanpa apa yang membuat hatinya tergugah bersama yang dia punyai saat ini, saat dia akan dapat menjadi seperti manusia lain.
Suratanya adalah manusia yang terlahir baru itu, dia tanpa bekal dunia sebelumnya, yang menjadi sarana penunjang kebutuhan akomodasi mimpinya. Kebanyakan memang manusia yang terlahir baru itu mencari sendiri, hanya siasat untuk bertahan hidup yang tersisa, mencoba-coba diterima orang-orang disekitarnya, disayangi, merasa dibutuhkan dan lain sebagainya.