Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banjir Nabi Nuh Abad 21

7 Desember 2017   10:59 Diperbarui: 9 Desember 2017   15:38 1834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkinkah peristiwa banjir yang terjadi seperti pada era Nabi Nuh yang menenggelamkan sebagian besar umat manusia dan mahluk lainnya saat itu, terulang kembali pada zaman kontemporer ini? Jawabannya, bukan "mungkin", tetapi bahkan "sudah terjadi", walaupun dalam konteks yang berbeda. 

Pada masa Nabi Nuh, banjir yang terjadi berupa luapan air yang menenggelamkan segalanya. Hanya mereka yang mengikuti anjuran Nabi Nuh untuk membuat perahu saja yang selamat, bersama  beberapa hewan ternak dan bibit pohon yang akan mereka kembangbiakan setelah banjir menyusut. Sementara mereka yang mengabaikan nasihat tersebut pada akhirnya binasa, tenggelam oleh luapan air dan luapan kesombongan dirinya, karena merasa lebih pintar dari Nabi Nuh.

Banjir paling dahsyat yang terjadi pada zaman kita ini justru bukan banjir air yang seringkali melanda wilayah DKI Jakarta dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia akibat buruknya tata ruang dan curah hujan yang tinggi, tetapi justru banjir informasi akibat perkembangan teknologi informasi melalui media. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap berbagai dimensi kehidupan umat manusia, terutama bagi dunia pendidikan.

Jika banjir air pada masa Nabi Nuh alat penyelamat yang harus dibuat adalah perahu, maka dalam menghadapi luapan dan ledakan informasi pada era ini yang harus kita lakukan adalah penguasaan teknologi informasi dan sikap serta cara berpikir kritis. Tanpa kedua kemampuan tersebut, kita akan "tengelam dan binasa" oleh luapan informasi yang sangat dahsyat ini, menjadi individu serta bangsa yang terpinggirkan dari arus utama peradaban umat  manusia.

Akhir abad 20 dan awal abad 21 disebut sebagai "Abad Informasi" karena siapa yang menguasai informasi (pengetahuan) sebanyak-banyaknya dan mampu menggunakannya secara optimal maka ia yang akan memenangkan persaingan global. Bahkan pada abad ke-17, filsuf Inggris, Francis Bacon, dengan lantang mengumandangkan kalimat yang sangat termashur: "Knowledge is Power". Selain itu, ada pihak lain yang menyebut era ini dengan istilah "Abad Layar" (The Screen Age) , karena semua data cenderung ditampilkan pada layar: televisi, komputer, handphone, LCD, dan sebagainya.

Salah satu ciri dari periode ini adalah dengan boomingnya televisi dan  jaringan internet yang menyebarkan informasi ke seluruh pelosok dunia tanpa mampu dihambat oleh batas-batas administratif negara, sehingga informasi dapat diakses dalam sekejap, dan bahkan dunia dapat dilipat ke dalam bidang yang sangat ringkas dalam bentuk laptop. Karena begitu kayanya informasi yang dapat diakses dari televisi dan jaringan internet ini, maka dunia pendidikan pun  harus memanfaatkannya secara optimal, sehingga salah satu proyek seluruh mata pelajaran seharusnya adalah menyusun seluruh materi pembelajaran  dalam bentuk digital yang berbasis pada teknologi informasi yang setiap saat datanya mudah diperbarui dengan biaya yang sangat efisien.

Mengangumkan Sekaligus Mencemaskan

Televisi dan internet saat ini merupakan fenomena yang sangat menakjubkan tetapi sekaligus juga mencemaskan, karena kedua teknologi ini yang pada awalnya dirancang untuk membantu dalam meningkatkan kualitas hidup manusia, sekarang justru telah menjelma menjadi tuan yang memperbudak manusia sebagai penciptanya sehingga dapat mengatur ritme kehidupan manusia itu sendiri.

Dalam wacana kebudayan abad 21, layar kaca (televisi dan internet) telah menjadi "kotak jiwa", yang melaluinya manusia saat ini mengisi kehampaan spiritualnya dengan jutaan citra semu, rayuan-rayuan palsu iklan, kebohongan-kebohongan realita, nabi-nabi virtual, tuhan-tuhan digital dan surga-surga cyber. 

Televisi dan internet diibaratkan oleh Paul Virilio (The Information Bomb, 2006) laksana sebuah bola mata raksasa, yang melaluinya kita dapat melihat sudut-sudut terpencil, ruang-ruang terjauh, serta rahasia-rahasia terdalam dari setiap manusi yang masuk ke dalam jaringannya. Hanya dengan melihat televisi atau internet maka kita dapat menyaksikan keseluruhan fenomena dunia. Akan tetapi, televisi dan internet juga seperti sebuah vacum cleaner raksasa yang menghisap apapun ke dalam dirinya, yang merenggut segala aktivitas (sosial, politik, ekonomi, budaya, spiritual, bahkan seksual) ke dalam ruang-ruang artifisialnya. Apapun yang ada di dunia nyata kini dihisap ke dalam televisi dan internet dalam bentuk simulasinya.

Televisi dan internet adalah sebuah ruang, yang di dalamnya apa-apa yang dirahasiakan secara sosial di dunia nyata, disajikan dan ditelanjangi untuk masyarakat. Rahasia-rahasia itu misalnya tingkah laku, gaya hidup, aktivitas sex dan tubuh selebritis, kini tampil di ruang publik media menjadi milik massa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun