Mohon tunggu...
Kita Setara
Kita Setara Mohon Tunggu... -

Fatherhood kitasetara.org

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan adalah Makhluk Mulia, Benarkah?

19 Januari 2017   11:04 Diperbarui: 19 Januari 2017   11:23 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana Sudut Pandang Laki-laki dalam Memandang Posisi Perempuan Mampu Menyelesaikan Persoalan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Saya dan dua orang laki-laki yang merupakan teman-teman saya, sebut saja A dan B sedang menonton acara berita nasional di salah satu stasiun televisi Indonesia. Berita yang sedang muncul di layar TV mereka adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa salah seorang aktris ibukota yang cukup terkenal. Tak pelak, A dan B pun mengomentari kasus kekerasan dalam rumah tangga ini.

A : “Sungguh biadab tingkah suami si aktris tersebut itu! Menghajar istrinya di depan anak-anak mereka! Bagaimana mungkin ia tega memukuli istrinya sendiri?

B : “Ya, benar sekali. Aku paling jijik melihat laki-laki yang memukul perempuan. Beraninya kok sama perempuan.

A: “ Aku setuju. Padahal perempuan itu adalah makhluk yang mulia. Wajib hukumnya menghormati, bahkan memuliakan perempuan. Ibu kita toh adalah perempuan juga, orang yang telah memberi kita kehidupan di dunia ini.

Teman-teman saya ini adalah bagian dari golongan laki-laki yang sejak dulu tidak pernah menyetujui penindasan perempuan berbentuk kekerasan, seperti KDRT, KDP, maupun kekerasan dalam ranah publik. Namun, alih-alih menentang tindak kekerasan terhadap perempuan atas dasar-dasar kemanusiaan, teman-teman saya ini menganggap perempuan tidak boleh mengalami kekerasan karena perempuan adalah ‘makhluk yang mulia’.

Kedua teman saya ini hanyalah salah satu contoh dari banyaknya laki-laki yang cenderung memasukkan padanan kata ‘mulia’ mengikuti kata ‘perempuan’ dalam merespon isu-isu perempuan, tak terkecuali kekerasan yang menimpa perempuan ranah domestik (KDRT). Seperti terlihat pada petikan percakapan di atas, banyak laki-laki yang tidak setuju dengan KDRT karena menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang rapuh dan mulia. Sehingga kekerasan yang dianggap sebagai ‘dunianya laki-laki’ menjadi terlalu vulgar dan tidak ‘pantas’ dikaitkan dengan perempuan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata memuliakan memiliki arti menganggap (memandang) mulia; (sangat) menghormat; serta menjunjung tinggi. Di Indonesia, peletakan posisi perempuan sebagai makhluk yang mulia berakar dari politik ibuisme negara. Dimana pengidentikan perempuan dengan sosok ibu – yang memang selalu dicitrakan sebagai sosok yang agung serta dimuliakan dalam setiap institut sosial, baik agama, budaya, hingga negara – merupakan hal yang hakiki, bahkan kudrati. Sehingga perempuan, seperti layaknya ibu, merupakan pihak yang harus dilindungi dan dijaga karena kemuliaan dan kerapuhan yang ia miliki.

Sudah sepatutnya setiap laki-laki yang menentang kekerasan terhadap perempuan diberi apresiasi. Namun jika konsep kemuliaan perempuan masih menjadi dasar utama atas respon penentangan, hal tersebut tidaklah cukup. Hal fundamental yang mesti dipahami semua orang yaitu tidak semua perempuan juga adalah seorang ibu (yang mendasari konsep kemuliaan perempuan tadi). Perempuan adalah manusia yang memiliki posisi setara dengan laki-laki; memiliki kebutuhan yang tentu berbeda-beda dan unik secara personal, seperti layaknya laki-laki. Konsep kemuliaan perempuan tadi cenderung melupakan sisi-sisi menusiawi dari perempuan, baik karakter, kebutuhan, dll.

Padahal hal-hal manusiawi inilah yang sepatutnya dipegang teguh oleh setiap manusia, termasuk laki-laki, ketika dihadapkan pada permasalahan-permasalahan sosial seperti KDRT. Jika konsep kemuliaan perempuan menjadi dasar atas penentangan KDRT, bagaimana kemudian laki-laki yang yang memakai konsep tersebut akan membela korban yang bukan seorang ibu, misalnya? Bagaimana jika korban adalah seorang istri dengan karakter-karakter yang tidak sesuai pakem masyarakat tentang bagaimana istri seharusnya? Dan bagaimana jika korban adalah laki-laki/suami?

Apakah laki-laki yang memakai konsep kemuliaan perempuan tadi masih akan tegas menentang model kasus-kasus kekerasan seperti itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun