Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Drama Radio, Edukasi Kebencanaan dalam Sorot Pandang Paradigma Baru

17 September 2016   23:42 Diperbarui: 21 Oktober 2016   15:58 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Edukasi melalui radio (Foto: Pixabay)

Pagi itu, bukanlah pagi yang biasa. Dalam hitungan kerjap mata, ia menyergap awal hari yang seharusnya teduh dan syahdu, menjadi luar biasa. Ingatan padanya, kemudian melekat tajam bak jelantah mencengkeram langit-langit benak. Sejak pagi yang dramatis itu, setiap pagi, dalam rentang waktu yang cukup lama, bersalin rupa menjadi awal hari yang mendebarkan.

Itulah pagi 27 Mei 2006 di Yogyakarta. Kurang lebih pukul 05:55:03 WIB, selama 57 detik dalam geger pertama dan utama, bumi terasa menari tanpa belas kasihan dengan dentum musik berkekuatan 5,9 pada Skala Richter—United States Geological Survey, melalui data yang diperolehnya, bahkan mencatat angka 6,2 Skala Richter.

"Mamiii... Mamiiiii... goyang semua!" Itulah kalimat jeritan pertama putri saya dari kamar mandi, saat hendak membasuh tubuh untuk menjalani hari bersekolahnya. Di usia yang belum genap enam tahun, dalam hitungan waktu relatif singkat, perasaan nyaman masa kanak-kanaknya telah terenggut paksa menjadi trauma yang mendalam. Hatinya kian runtuh saat menyaksikan orang-orang berlarian dalam panik, kemudian histeris massa yang digempur isu tsunami yang konon menghempas dari arah Selatan kota Yogyakarta.

Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 juga merusak sejumlah situs budaya, termasuk Makam Raja-raja Imogiri, Bantul (Foto: Kompas.com/Danu Kusworo)
Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 juga merusak sejumlah situs budaya, termasuk Makam Raja-raja Imogiri, Bantul (Foto: Kompas.com/Danu Kusworo)
"Air sudah meluap!" jerit tetanggga irasional, itulah teriakan yang mengiris tajam ke dalam hatinya, membuatnya tak sudi melepas pelampung kecil yang biasa dipakainya saat bermain di kolam renang. Benda itu menjadi barang sakti bebrtuah, erat dipeluknya di lingkar dada selama lebih 24 jam kemudian. Pada akhirnya, hanya waktulah, melalui fase enam tahun kedua dalam rentang perjalanan hidup masa kecilnya, menjadi "tebusan" termahal untuk membeli kembali rasa aman.

Mengenang itu semua, masih lekat dalam benak saya, pada hari itu listrik padam. Jaringan telepon rumah maupun seluler, tak bekerja. Alhasil, satu-satunya sarana informasi yang tersedia saat itu hanyalah radio. Saya membawanya ke mana saja, terus-menerus membuatnya mengudara dan merapatkan telinga pada suara gemeresek itu, agar tak buta atas situasi berdasarkan informasi dari luar sana.

Indonesia: Negeri Berpupurkan Potensi Bencana

Saya menatap nanar pada materi presentasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang diunduh dari acara Nangkring Kompasiana beberapa saat yang lalu. Duh, betapa inilah wajah negeri tercinta, yang untuk pertama kalinya mengusik saya untuk “bangun” dan memelototinya. Dalam hela napas panjang, saya menyimpan rapat lirik lagu Koes Plus bertajuk "Kolam Susu" dalam laci ingatan terjauh. Simaklah image ini:

Wilayah Indonesia rawan terhadap gempabumi, baik dari jalur subduksi maupun sesar yang ada di daratan. Penataan ruang pada daerah rawan gempa, sangat berperan penting. Sebab bukan gempa yang menyebabkan korban, tapi kualitas bangunan yang menyebabkan korban jiwa (Sumber: BNPB/Nangkring Kompasiana)
Wilayah Indonesia rawan terhadap gempabumi, baik dari jalur subduksi maupun sesar yang ada di daratan. Penataan ruang pada daerah rawan gempa, sangat berperan penting. Sebab bukan gempa yang menyebabkan korban, tapi kualitas bangunan yang menyebabkan korban jiwa (Sumber: BNPB/Nangkring Kompasiana)
Bagaimana kita akan membangun negara dengan wilayah yang rawan gempa seperti ini? (Sumber: BNPB/Nangkring Kompasiana)
Bagaimana kita akan membangun negara dengan wilayah yang rawan gempa seperti ini? (Sumber: BNPB/Nangkring Kompasiana)
Lihatlah...

Wilayah Indonesia rawan tsunami (Sumber: BNPB/Nangkring Kompasiana)
Wilayah Indonesia rawan tsunami (Sumber: BNPB/Nangkring Kompasiana)
Karhutla = Kebakaran hutan dan lahan (Sumber: BNPB/Nangkring Kompasiana)
Karhutla = Kebakaran hutan dan lahan (Sumber: BNPB/Nangkring Kompasiana)
Ini profile tahun 2016

Statistik Bencana Indonesia 2016 (Sumber: http://www.bnpb.go.id)
Statistik Bencana Indonesia 2016 (Sumber: http://www.bnpb.go.id)
BNPB Gegas Siaga di Garda Depan

Mengulik website Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), saya dibuat takjub atas apa yang menjadi tanggung jawab, apa yang telah dilakukan, dan apa yang disiagakan di garda terdepan oleh lembaga pemerintah non-departemen ini. Rasa-rasanya, tak ada kanal yang tidak ditelusupinya untuk menyiapkan setiap warga negara agar memiliki wawasan dan pengetahuan serta pola laku antisipatif atas apa yang bisa terjadi di bawah gemerlap keindahan negeri "kolam susu" ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun