Mohon tunggu...
Khairil Miswar
Khairil Miswar Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Pemulung Buku Tua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Negeri “Durhaka”

2 September 2016   15:26 Diperbarui: 2 September 2016   17:47 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 02 September 2016

Ada perasaan miris bercampur marah ketika membaca sebuah artikel di JPNN yang bertajuk “Rumah Pengibar Merah Putih Saat Proklamasi Juga Digusur”. Beliau adalah H. Ilyas Karim warga kelurahan Rajawati yang menurut riwayat adalah salah seorang pengibar bendera Merah Putih pada saat Indonesia Raya yang kita huni ini diproklamirkan oleh Soekarno Hatta.

JPNN merilis kabar bahwa rumah H. Ilyas Karim juga ikut digusur oleh aparat negara. Padahal, sebagaimana pengakuannya kepada JPNN, beliau bukanlah warga liar, beliau membayar pajak, memiliki KTP sebagai bukti beliau adalah penduduk yang sah – bukan migran dari negara asing. Bahkan beliau juga mengaku memiliki surat tanah dan bangunan yang lengkap – pertanda bahwa beliau bukan pengungsi dari negara luar.

Pasca penggusuran itu, juga dikabarkan bahwa beliau terpaksa tinggal di Mushalla. Menyedihkan! Sebagaimana dirilis detik.com, wilayah Rajawati yang selama ini ditempati oleh H. Ilyas Karim, oleh Pemprov DKI Jakarta dinyatakan akan dikembalikan ke wilayah hijau. Ini adalah sebuah bentuk “kedurhakaan” Pemprov DKI terhadap salah seorang pejuang kemerdekaan RI. Seorang pensiunan TNI AD yang pernah menyandang pangkat Letnan Kolonel saja, seperti H. Ilyas Karim tidak bisa dihargai, bagaimana pula dengan pejuang-pejuang dari Lasykar Mujahididin bersenjata bambu runcing yang belum tentu memiliki pangkat ketika mereka bertaruh nyawa memperjuangkan negeri ini?

Detik.com menyebut bahwa Ilyas Karim adalah salah satu pengibar bendera Merah Putih. Di zaman perjuangan kemerdekaan, Ilyas Karim adalah seorang murid di Asrama Pemuda Islam (API). Pada malam hari sebelum dibacakannya teks proklamasi, Ilyas Karim dan sejumlah teman-temannya diundang ke rumah Soekarno.

Ilyas Karim ditunjuk oleh Latief sebagai salah seorang pengibar bendera karena usianya adalah yang paling muda kala itu – 18 tahun. Masih menurut detik.com, setelah pengibaran bendera Merah Putih, Ilyas Karim kemudian menjadi tentara. Ia pensiun pada tahun 1979 dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel.

Namun sayangnya, dua tahun kemudian Ilyas Karim juga diperlakukan “tidak layak”, ia diusir dari tempat tinggalnya di asrama tentara Siliwangi – sebuah kesatuan tentara yang namanya (Siliwangi) adalah usulan dari Ilyas Karim ketika diundang ke Bandung pada 1948 oleh Mr. Kasman Singodimejo. Sejak pengusiran itulah Ilyas Karim menetap di pinggir rel kereta api.  Bahkan, sedihnya lagi, Ilyas Karim selama ini menderita stroke mata sehingga matanya harus diplaster agar tidak terpejam.

Ilyas Karim seperti dirilis suara.com bahkan berani adu data jika ada pihak yang meragukan bahwa dirinyalah pria bercelana pendek yang mengibarkan bendera Merah Putih pada 17 Agustus 1945. Pada 2011, okezone.com pernah merilis sebuah artikel yang menyatakan bahwa pengibar bendera Merah Putih bercelana pendek tersebut bukanlah Ilyas Karim, tetapi Suhud.

Fadli Zon juga secara tegas menyanggah pengakuan Ilyas Karim (kompas.com/2011), bahwa menurut dokumen yang ia miliki, pria bercelana pendek itu adalah Suhud, anak buah Sudiro yang merupakan salah seorang asisten Soekarno. Namun, Fadli Zon tidak menolak kemungkinan bahwa Ilyas Karim bisa saja ada dalam barisan saat itu, meskipun bukan sebagai pengibar bendera.

Di usia senjanya, dengan kondisi yang sakit – setelah mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara, dia justru diperlakukan “tidak layak” oleh penguasa negeri. Padahal, tanpa perjuangan orang-orang seperti Ilyas Karim dan juga segenap pejuang lainnya, tentunya Indonesia yang kita banggakan saat ini tidak akan nampak wujudnya. Kita ini apalah? Hanya mengisi kemerdekaan yang dengan susah payah direbut dari penjajah oleh para pejuang. Tanpa perjuangan mereka, kita tentu masih menjadi “budak penjajah”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun