Mohon tunggu...
Hestin Klaas
Hestin Klaas Mohon Tunggu... -

Living imperfect with PERFECT GOD… all my life story just to tell HOW GREAT is our GOD! only God's love could change prodigal sons into precious saints.. b.d.light!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Corporal Punishment dan Dampaknya Terhadap Remaja Ditinjau dari Psikologi dan Christian World View

4 September 2010   05:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:27 2513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Topik mengenai remaja memang merupakan permasalahan yang sangat sering diangkat dan seakan-akan tak pernah habis-habisnya. Bahkan sejak zaman Yunani kuno, para filsuf terkenal seperti Plato dan Aristoteles pun telah banyak berpendapat mengenai remaja, sebuah fase usia dalam kehidupan manusia yang sering kali sangat sulit dipahami dan memiliki gejolak-gejolak tersendiri. Penulis secara pribadi pun mengalami banyak hal yang kompleks saat memasuki awal masa tersebut, banyak hal yang ketika coba direfleksikan kembali sungguh memunculkan banyak tanda tanya dan pertanyaan-pertanyaan, namun terlebih dari pada itu suatu ucapan syukur tiada habisnya pula ketika masih dalam fase tersebut penulis secara pribadi mengalami suatu proses paling berharga dalam hidup, yaitu perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus yang mengubah hampir seluruh aspek dalam kehidupan penulis. Syukur kepada Allah! Allah tentu melihat fase kehidupan ini jauh lebih serius dan mendalam dari siapapun di dunia ini, Ia yang adalah sang Kreator Agung tentu memiliki banyak rencana indah terhadap para remaja. Remaja adalah masa depan dari gereja dan bangsa, dan memang sudah semestinya perlu telaah serius dan perhatian khusus dalam penanganan remaja. Apalagi ketika dalam fase tersebut, pola asuh dan didik yang diterima secara umum dalam masyarakat, bahkan masyarakat Kristen secara khusus, adalah pola yang tidak tepat dan malah memunculkan banyak dampak negatif dan penyimpangan perilaku pada remaja. Seperti pola asuh dan didik yang bernuansa kekerasan. Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll) yang menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain; kekerasan juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan dapat terjadi psikis maupun fisik. Isu mengenai kekerasan pada anak dan remaja sangat meningkat dewasa ini. Kita dapat dengan mudah menemukan berita dan fakta yang termuat dalam berbagai media massa. Namun ada satu fakta mengenai suatu kekerasan spesifik yang dilakukan oleh guru, keluarga, atau orang terdekat bagi anak dan remaja dengan mengatasnamakan pendisipilinan atau pembaharuan tingkah laku yang juga disebut Corporal Punishement masih jarang diangkat dan dibicarakan. Mengapa? Karena masih terdapat banyak persepsi yang salah tentang bagaimana cara mendidik anak yang baik dan benar, serta acap kali otoritas yang dipegang oleh orangtua, guru maupun orang terdekat belum dapat dipahami dan dijalankan secara berhikmat dan benar. Makalah ini akan membahas lebih dalam mengenai latarbelakang dan pengertian dari corporate punishment, analisa secara psikologis yang ditimbulkan pada remaja, serta analisa dan solusi berdasar pada Christian World View. Corporal Punishment Pengertian Corporate punishment berdasarkan wikipedia (2009), adalah hukuman yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja dengan maksud untuk mendisiplinkan atau memperbaiki/mengubah perilaku dari sesorang yang melakukan kesalahan. Istilah ini biasanya digunakan dalam penghukuman baik yang berlatar belakang hokum, rumah tangga atau keluarga maupun pendidikan. Corporate punishment terbagi atas tiga buah tipe utama: - Parental Corporate punishment, merupakan kekerasan dalam lingkup keluarga - School Corporate punishment, misalnya perilaku kekerasan dari guru terhadap murid di sekolah - Judicial Corporate punishment, misalnya pemukulan atau pencambukan baik orang muda maupun dewasa dalam koridor hukum Sekretaris Jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Arist Merdeka Sirait memyatakan kekerasan di dunia pendidikan cukup banyak terjadi. Dari 1926 ksaus yang dilaporkan sepanjang 2008, 28 persennya terjadi di lingkungan sekolah, sisanya terjadi di lingkungan keluarga, sosial, dan pekerjaan. Kekerasan yang paling banyak terjadi yaitu kekerasan fisik disusul kekerasan seksual dan psikis. Belum lagi kekerasan yang terjadi antara sesama murid yang terkesan dibiarkan dan cenderung menjadi hal yang biasa-biasa saja. Misalnya aksi kekerasan yang terjadi di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Di sini, sejumlah praja senior memukul dan menganiaya para mahasiswa juniornya. Aksi kekerasan dengan dalih pembinaan kedisiplinan ini telah menyebabkan beberapa praja (junior) meninggal dunia dan lainnya cacat fisik dan mental. Kekerasan serupa juga telah terjadi di sejumlah perguruan tinggi di Makasar, Yogyakarta, Surabaya, dan daerah lain. Penyebabnya macam-macam. Dari ketidakpuasan terhadap proses pemilihan rektor, biaya kuliah yang dianggap mahal, hingga pengalihan status perguruan tinggi yang dinilai lebih berorientasi bisnis. Perkelahian antar siswa yang ada di sekolah-sekolah yang mengatasnamakan eksistensi kelompok masing-masing. penganiayaan geng Gazper yang di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Bulan Februari lalu tawuran pelajar terjadi di daerah Terogong, Cilandak Jakarta, kemudian tawuran dengan membawa benda-benda tajam yang melibatkan siswa SMA 37 Tebet dengan SMA Muhammadiyah 5, berlanjut perkelahian antar siswi-siswi di Kupang yang mengakibatkan pelakunya berurusan dengan kepolisian dan diancam dikeluarkan dari sekolah. Kondisi tersebut terjadi di dalam sebuah institusi pendidikan yang notabene merupakan sebuah tempat yang bukan saja untuk mengasah kemampuan kognitif dan bahasa, tetapi juga tempat untuk mengembangkan kualitas personal dan berbagai potensi diri. Sungguh tragis! Apalagi yang bisa diharapkan jika tempat yang idealnya menjadi tempat pembentukan para pemimpin Bangsa yang diharapkan dapat membawa perubahan justru menjadi tempat pembunuhan karakter besar-besaran di bangsa ini. Belum lagi kekerasan yang terjadi dalam keluarga, yang tak jarang dapat berujung pada cacat fisik bahkan kematian. Bahkan pula bukan secara fisik namun merusak secara mental dan psikis. Definisi Remaja Menurut Sarwono (1989) Definisi Remaja untuk Masyarakat Indonesia adalah mereka yang berusia 11-24 tahun dan belum menikah dengan pertimbangan sebagai berikut: - Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik, baik secara adat istiadat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak. (kriteria sosial) - Usia 11 tahun adalah usia di mana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik) Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda peyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral (kriteria psikologik) - Batas usia 24 tahun merupakan batas usia maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orangtua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum bisa memberikan pendapat sendiri dan sebagainya. Dengan perkataan lain, orang-orang yang sampai batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis, masih dapat digolongkan remaja. - Dalam definisi di atas, status perkawinan sangat menentukan, karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh. Seorang yang sudah menikah, pada usia berapapun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga Sarwono juga mengutip definisi tentang remaja yang bersifat konseptual dari WHO, remaja adalah suatu masa di mana: - Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder nya sampai saat ia mencapai kematangan seksual - Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa - Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri Melihat definisi konseptual dari WHO seperti yang telah di sebutkan di atas, salah satu ciri-ciri remaja di samping tanda perubahan seksual adalah: “perkembangan psikologis dan pada identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa”. Dalam hubungan ini Sarwono kembali mengutip Csikszentimihalyi & Larson (1984), yang menyatakan bahwa remaja adalah ”restrukturisasi kesadaran”. Masa remaja merupakan masa penyempurnaan dari perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya. Puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses perubahan dari kondisi ”entropy” ke kondisi ”negentropy”. Entropy adalah keadaan di mana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi. Walaupun isinya sudah banyak (pengetahuan, perasaan, dan sebagainya), namun isi-isi tersebut belum saling terkait dengan baik, sehingga belum bisa berfungsi secara maksimal. Entropy secara psikologik berarti isi kesadaran masih saling bertentangan, saling tidak berhubungan sehingga mengurangi kapasitas kerjanya. Dalam kondisi ini akan lebih banyak muncul friction disorder atau kondisi konflik-konflik dalam diri remaja yang seringkali menimbulkan masalah pada remaja, namun memang sangat bergantung pada keadaan masyarakat di mana remaja tersebut tinggal. Kondisi entropy ini selama masa remaja, secara bertahap disusun, di arahkan, di strukturkan kembali, sehingga lambat laun terjadi kondisi ”negative entropy” atau negentropy. Kondisi negentropy adalah kondisi dimana isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait dengan pengetahuan yang lain dan pengetahuan jelas hubungannya dengan perasaan atau sikap. Dalam kondisi negentropy ini, orang yang bersangkutan akan merasa dirinya sebagai kesatuan yang utuh dan bisa bertindak dengan tujuan yang jelas, tidak penuh kebimbangan, sehingga memiliki tanggungjawab dan semangat kerja yang tinggi. Juga terdapat tiga tahap perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, yaitu: - Remaja awal (early adolesence) Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ”ego” menyebabkan para remaja awal ini sulit dimengerti orang dewasa - Remaja madya (middle adolescence) Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan narcistic, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang punya sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu ia berada dalam kondisi kebingungan kaena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis dan sebagainya. - Remaja akhir (late adolescence) Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 hal, yaitu: * Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek * Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru * Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi * Egosentrisme diganti dengan keseimnbangan antara kepentingan diri dan orang lain Memahami remaja memang bukan hal yang mudah, melihat adanya kemungkinan kompleksitas gejolak pada remaja selama masa transisi itu. Sarwono juga mengutip dari Adams & Gullota, ada lima aturan kalau kita mau membantu remaja dalam menghadapi masalah mereka. Yaitu yang pertama, trustworthiness (kepercayaan) yaitu kita harus saling percaya dengan para remaja yang dihadapi. Yang kedua, genuiness, yaitu maksud yang murni dan tidak pura-pura. Ketiga, empathi, yaitu kemampuan untuk ikut merasakan perasaan-perasaan remaja. Keempat, honesty, kejujuran. Dan yang terakhir yaitu adanya pandangan dari pihak remaja bahwa kita memang memenuhi keempat aturan tersebut di atas. Melihat kelima poin tersebut, jelaslah bahwa menghadapi remaja memang bukanah hal yang mudah. Perkembangan Psikologi remaja Setelah melihat definisi remaja secara lebih mendetail, maka sekarang akan mengarah kepada tinjauan perkembangan psikologi remaja agar dapat lebih memahami jiwa remaja. Akan ditinjau dari berbagai segi yaitu konsep diri, intelegensi dan emosi, motif sosial dan moral serta religius. - Konsep diri. Masa remaja sebagai masa transisi menuju kedewasaan, dimana kedewasan ini akan ditandai dengan adanya extension of the self, yaitu kemampuan seorang untuk menurunkan ego pribadi dan munculnya ego ideal berupa cita-cita, idola, yang menggambarkan wujud ego masa depan. Juga kemampuan untuk melihat diri secara objektif (self objective) serta telah memiliki falsafah hidup tertentu. Mengerti kestabilan dalam peran, memiliki prinsip dan ketegasan hidup. - Perkembangan intelegensi dan emosi. Intelegensi mengandung unsur fikiran dan atau ratio. Masa remaja akan diperhadapkan dengan proses menuju pematangan aspek kognitif tersebut. Sementara itu masa remaja adalah masa yang penuh emosi dengan kecenderungan emosi yang meledak-ledak atau tak terkendali, yang antara lain disebabkan oleh konflik peran yang sedang dialami saat masa transisi. Ingin bebas, tapi masih bergantung dengan orangtua. Ingin dianggap dewasa namun masih diperlakukan seperti anak kecil. Dalam fase ini apabila remaja tidak berhasil mengatasi situasi-situasi kritis dalam rangka konflik peran tersebut, maka besar kemungkinan ia akan terjerumus ke hal yang salah dan negatif. - Moral dan religi Moral dan religi merupakan bagian yang cukup penting dalam jiw remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan religi bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa ini sehingga ia tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Di sisi lain tiadanya moral dan religi ini seringkali dituding sebagai faktor penyebabnya meningkatnya kenakalan remaja. Remaja dalam masyarakat yang bertransisi Indonesia sebagai bagian dari dunia tak luput dari transisi worldview dunia. Kita akan mengamati secara lebih dalam kecenderungan perilaku remaja dan kaitannya dengan transisi masyarakat . Dibalik perilaku seorang manusia akan terdapat beberapa faktor yang akhirnya menyebabkan perilaku tersebut dapat dilakukan oleh seseorang. Pertama, sebuah perilaku akan terlaksana berdasarkan apa nilai (values) yang dimiliki oleh seseorang. Nilai adalah segala sesuatu yang dijunjung serta segala sesuatu yang dianggap terbaik. Kedua, nilai itu sendiri lahir dari apa yang disebut kepercayaan (beliefs). Kepercayaan merupakan segala sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang. Ketiga, kepercayaan itu lahir dari sebuah wordlview atau wawasan dunia yang adalah segala sesuatu yang riil. Pengertian wawasan dunia menurut James Sire,“Wawasan dunia adalah suatu komitmen dan orientasi hati yang mendasar yang dapat diekspresikan sebagai suatu kisah atau dalam seperangkat presuposisi (asumsi-asumsi yang mungkin benar, separuh benar atau sama sekali salah.) yang kita anut (dengan sadar, atau tidak sadar, dengan konsisten atau tidak konsisten) mengenai susunan dasar realitas yang memberikan fondasi dimana kita hidup,bergerak dan memiliki keberadaan kita.” Maka dari itu untuk lebih dalam mencermati kondisi karakter bangsa ada baiknya kita mencermati lebih dalam perkembangan worldview yang terjadi sejak abad pertama dunia ini hingga sekarang. Berdasarkan Historical Development of Western World Views, perkembangan worldview dunia terbagi atas tiga bagian besar. Yaitu era Pre-Modern, Modern dan Postmodern. Pertama, era Pre-Modern yang merupakan era pada abad pertama sampai sekitar abad yang ke delapan belas belas. Wawasan dunia yang sangat berpengaruh pada era ini adalah Teisme yang merupakan suatu wawasan dunia dimana sebuah dunia ada dengan Tuhan yang tak terbatas. Satu Tuhan yang tak terbatas berada melebihi dan ada di dalam alam semesta. Tuhan yang menciptakan alam semesta, menopang dan memelihara, dan dapat melakukan banyak hal-hal ajaib dan supernatural terhadap alam semesta. Dalam era Pre-modern ini paham theisme mulai bergerak ke arah paham Deisme, yang merupakan paham yang mengakui adanya Tuhan yang melampaui alam semesta tetapi tidak berada di dalam alam semesta tersebut. Bersifat transenden tapi tidak secara supernatural aktif di dalam dunia. Deisme hampir sama dengan teisme, tapi tanpa adanya kemampuan melakukan mujizat dan hal-hal supernatural lainnya. Para pengikut paham ini antara lain Thomas Jefferson, Thomas Paine, dan Marti Gardner. Kedua, era Modern yang awal transisi nya terjadi sekitar abad ke delapan belas dan sembilan belas sampai pada abad ke dua puluh. Wawasan dunia yang sangat kuat adalah Ateisme. Ateisme adalah paham dimana tidak mengakui eksistensi dari Tuhan, baik Tuhan yang melampaui alam semesta maupun berada dalam alam semesta tersebut. Ateisme percaya bahwa hanya ada alam semesta saja dan hanya akan ada alam semesta saja. Beberapa tokoh atheis yang populer seperti Karl Marx, Friedrich Nietzchse, dan Jean-Paul Sartre. Dalam era ateisme ini wawasan dunia yang juga sejalan dengan ateisme seperti naturalisme (hanya alam yang tetap eksis), nihilisme (hidup adalah kesia-siaan diantara kematian) dan eksistensialisme (hidup harus mencari makna bagi keberadaan manusia dan eksistensinya) terus berkembang. Paham-paham yang tidak menganggap Tuhan ada dan Tuhan bukan yang menciptakan dan pusat dari segala sesuatu. Ketiga, era Post-Modernisme yang mulai berkembang di akhir abad duapuluh satu. Pluralisme merupakan wawasan dunia yang mencerminkan keberagaman dan kebeanran dalam keberagaman tersebut adalah terserah pada pilihan anda. Wawasan dunia apa yang mau dianut, itu adalah pilihan anda dan tidak masalah untuk itu. Maka tak heran jika wawasan dunia yang sangat berkembang adalah gerakan zaman baru, pantheisme, monisme, dan lainnya. Apa yang anda pilih dan anggap benar maka itulah kebenarannya. Tokoh-tokoh wawasan dunia ini antara lain adalah pengarang buku ”The Secret” Rhonda Byrne, Ratu talkshow Oprah Winfrey dan pengaran buku ”A New Earth” Eckhart Tolle. Pergeseran wawasan dunia begitu jelas terlihat, dan ini pula menuntun kita untuk menyadari kita hidup di era seperti apa sekarang ini. Kita hidup di era Post-Modernisme, hidup di tengah wawasan dunia yang mengaburkan kebenaran, banyak kompromi, hidup ”semau gue”, berfokus pada kepentingan dan kesenangan pribadi, materialisme, hedonisme, dan lainnya. Dengan pola wawasan dunia yang begitu represif dalam berbagai bidang kehidupan manusia seperti ini, pola pendekatan terhadap remaja pun harus mendapat porsi yang cukup serius. Apalagi setelah menelaah lebih dalam dari segi perkembangan psikologis remaja yang sangat rentan dan merupakan masa-masa transisi yang kritis. Teori Psikologis terhadap pola didik Secara psikoanalisis akan dipaparkan dua buah teori pendekatan pola didik terhadap remaja yang efektif. Yaitu teori dari seorang psikolog Carl Rogers dan teori dari seorang filsuf pendidikan Pauolo Freire. Teori Carl Rogers Dalam konseling dan psikoterapi, Carl Rogers mengembangkan teorinya yaitu clientcentered-therapy, dimana konselor dan klien menjadi sederajat dan proses konseling berpusat kepada klien. Teori Rogers tersebut kemudian berkembang ke berbagai bidang, khususnya bidang pendidikan. Dalam teorinya Rogers menitikberatkan relasi antarpribadi, antara konselor dan klien sebagai relasi yang mempermudahkan perkembangan kepribadian. Menurut Rogers suatu situasi pendidikan akan menjadi efektif ketika guru dapat menerima murid apa adanya dan guru juga menjadi pribadi yang utuh dan rill (genuine). Ini seperti hubungan antara konselor dan klien yang dimaksud Rogers dalam client-centered-therapy, sehingga pemikirannya tersebut berkembang di dalam dunia pendidikan yang lebih dikenal dengan student-centered-education (pendidikan yang berpusat pada murid). Paulo Freire Paulo Freire adalah seorang filosof pendidikan dari Brazil. Freire dengan pemikirannya mencoba “merekonstruksi” pendidikan, yang menurutnya sangat otoriter. Dia mengistilahkan pendidikan otoriter sebagai “banking education”. Didasarkan pada cara pandang mekanis dari kesadaran, pendidikan banking memisahkan pelajar dari isi dan proses pendidikan. Metafor banking berasumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah semacam barang, seperti uang yang biasa ditransfer dari satu orang kepada orang lain. Pendidikan banking menurut Freire berarti ilmu pengetahuan ditransfer dari pengajar kepada pelajar. Pengajar mendominasi muridnya. Menurut Freire ini mengasumsikan bahwa guru mengetahui semua hal, siswa tidak mengetahui sesuatu pun. Pengajar mendominasi muridnya. Ini mengasumsikan bahwa guru mengetahui semua hal, murid tidak mengetahui sesuatu pun. Dengan model pendidikan banking, maka tidak adanya dialog dan relasi serta penerimaan, yang terjadi adalah dehumanisasi. Berdasarkan teori psikologi sekuler di atas, sangat lah jelas terlihat bahwa dalam suatu pola asuh dan pendidikan sangatlah baik apabila tidak terjadi suatu pendekatan yang bernuansa kekerasan. Dalam pergerakan zaman kini, remaja, yang ada dalam rentang usia 11-24 tahun, merupakan usia yang ada dalam suatu proses pendidikan di lingkungan sekolah. Oleh karena itu pola didik di sekolah jelas memegan peranan penting dalam proses pendewasaan remaja. Rogers dan Freire sama membawa suaru prinsip yang senada bahwa pola didik yang efektif bukanlah dengan suatu pola yang hanya sekadar ”mengirimkan” ilmu dan tanpa relasi suatu relasi yang baik. Apalagi jika relasi yang terus dibangun adalah relasi yang penuh dengan kekerasan, baik melalui tindakan maupun kata-kata. Kemampuan menerima suatu pelajaran pun akan jauh lebih efektif apabila terjadi dalam kondisi yang kondusif dan tidak penuh tekanan apalagi kekerasan. Telaah pola asuh dan didik yang benar dan alkitabiah menurut Christian World View

Didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan (Efesus 6:4) Orangtua sebagai pemegang hak istimewa dalam mendidik anak Dalam analisa psikologis di atas, sempat disinggung bahwa dalam masa perkembangan remaja pula akan turut faktor moral dan religi. Poin tersebut menurut para psikolog sekuler tersebut sebenarnya bukanlah poin yang patut diremehkan dan disepelekan. Ketika dalam masa transisi tersebut, remaja berproses dalam mememukan konsep diri dan kemampuan intelegensia dan emosi yang pasti ketika memasuki kedewasaan maka konsep moral dan religi juga adalah hal yang sama. Moral dan religi ternyata tidak dapat mungkin dipisahkan dalam pematangan kepribadian seseorang. Namun pembahasan lebih dalam lagi akan ditinjau secara Alkitabiah, melihat bagaimana perspektif Allah atas itu semua. Hal yang pasti anak remaja haruslah dipandang sebagai berkat, dan bukan penderitaan. Mereka adalah berkat dari Tuhan dan seharusnya mendatangkan sukacita. Hal ini tetap berlaku bahkan di tengah dunia yang penuh dengan cemar. Di tengah hal yang jahat, kehadiran anak dalam sebuah keluarga adalah berkat dan bukti kemurahan dari Tuhan dan betapa besar kasih Tuhan terhadap ciptaan yang terhilang. Keberadaan remaja secara otomatis akan terkait dengan piha yang berotoritas atasnya. Orangtua adalah suatu peran yang merupakan hak istimewa yang diberikan Allah. Dan sesungguhnya keberhasilan dalam mendidik anak diukur dengan apa yang harus dilakukan orangua, bukan apa yang dilakukan anak. Amsal 29:7 berkata ”Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketentraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu.” Ukuran sejati bagi orang tua Kristen adalah karakter orang tua itu sendiri. Sampai tingkat mana telah mengikuti rancangan Tuhan dalam mendidik anak, dan menjadi berhasil sebagai orang tua di haapan Tuhan. Tuhan dengan serius telah menugaskan orang tua dengan kewajiban membesarkan anak mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Ini hak istimewa orangtua yang tidak dapat di delegasikan. Orang tua harus cukup banyak melibatkan diri dalam kehidupan anak untuk memastikan bahwa tidak ada pengaruh lain yang mendahului. Menurut MacArthur (2004) Karakter tidak diwariskan secara tidak diwariskan lewat genetika atau dipetik melaui proses penyerapan sel. Anak-anak diajar untuk menjadi diri mereka kelak. Jika mereka menjadi seseorang yang berbeda dari harapan orang tua, biasanya karena mereka hanya belajar dari orang-orang yang berada di samping mereka untuk mengajarkan sesuatu semasa ketidakhadiran orangtua. Tuhan telah menetapkan bahwa mendidik anak adalah tanggungjawab purnawaktu bagi orangtua. Prinsip ini bahkan masuk dalam Hukum yang diberikan di Gunung Sinai kepada bangsa Israel. Ulangan 6:6- berkata ”Apa yang Kuperintahka kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkanya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”. Dari sini telah tampak secara jelas peran orangtua dalam pembentukan karakter seorang anak begitu besar, termasuk juga dalam masa-masa transisi yang telah ditelaah secara cukup mendalam secara psikologis di atas. Natur dosa dalam setiap anak yang terlahir di dunia Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku -Mazmur 51:7 Setiap anak dilahirkan di dunia dengan membawa suatu kapasitas untuk tidak pernah puas terhadap hal-hal yang jahat. Kegemaran manusia untuk mengejar setiap jenis kerusakan moral seperti itu, yang dalam alam kebebasan membuat setiap bayi memilki kemampuan untuk menjadi seorang monster. Ini berarti anak-anak tidak lahir ke dunia dengan kecenderungan untuk mencari Tuhan dan kebenaran. Mereka terlahir dengan kodrat natur dosa. Jika mereka tetap dibiarkan, mereka akan cenderung menyukai dosa. Dan dengan menelantarkan meeka sepenuhnya, maka mereka tidak akan mampu menolak kejahatan. Mazmur 58:4 berkata ”Sejak lahir orang-orang fasik telah menyimpang, sejak dari kandungan pendusta-pendusta telah sesat”. Anak-nak tidak berlaku jahat karena sesuatu yang dilakukan orangtua mereka. Mereka terlahir dalam keadaan berdosa. Penjelasan di atas mengenai masyarakat transisi telah menjadi suatu penuntun kita untuk dapat mengerti betapa mengerikan arah pergerakan zaman yang sekarang kira hidupi ini. Zaman yang telah menghasilkan lebih banyak pembunuh massal, penyesat, pedophilia, pemerkosa, dan penjahat, daripada hampir semua masyarakat yang tercatat dalam sejarah. Da para pakar selalu menggali pertanyaan, apakah yang terjadi dengan orang-orang itu ketika mereka masih muda? Apakah yang dilakukan orang tua mereka kepada mereka? Apakah mereka hidup dalam lingkungan yang kasar? Apakah mereka berada di dalam situasi yang sama sekali menyimpang? Apakah orangtua mereka, atau masyarakat sekitarnya melakukan sesuatu terhadap mereka yang menyebabkan mereka menyukai kejahatan? Pengendalian yang keras bukanlah suatu jawaban Seperti yang telah saya singgung di bagian awal makalah ini, bahwa banyak paradigma yang salah mengenai pola asuh dan didik yang benar terhadap remaja. Banyak yang beranggapan bahwa solusi dalam mencegah atau mengendalikan kerusakan moral adalah melalui pengendalian yang keras terhadap tingkah laku anak. Corporal punishment menjadi suatu tindakan yang diterima secara luas, bahkan dalam lingkungan sekolah Kristen dan keluarga Kristen tanpa ada telaah kritis dari segi psikologis dan yang terpenting menurut prinsip Alkitab. Tentu saja takta krama dan disiplin merupakan aspek penting dalam mendidik anak secara tepat. Tetapi mengajarkan tata krama kepada anak bukanlah solusi bagi masalah kerusakan manusia. Menjatuhkan hukuman bagi perbuatan yang salah juga tidak menyelesaikan masalah. Sebenarnya orang tua atau pendidik yang memusatkan semua tenaga mereka untuk memperbaiki perilaku lahiriah , atau mencegah perilaku yang menyimpang melalui ancaman disiplin, mungkin tidak lebih dari sekadar melatih kemunafikan. Di balik punggung orangtua , anak-anak yang telah berperilaku baik karena kekerasan dapat menjadi anak-anak yang berperilaku buruk serta kasar terutama apabila tidak ada sosok otoritas yang hadir. Ajaran dan Nasihat Tuhan
Dan kamu bapak-bapak, janganlah bangkitkan kemarahan di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan -Efesus 6:4 Kewajiban seorang anak adalah taat, dan di sisi sebaliknya adalah kewajiban orang tua: mengajar mereka ketaatan tersebut di dalam suasana pengasuhan yang saleh, tanpa membuat hati anak-anak terluka. Ayat efesus 6:4 juga disinggung lagi pada Kolose 3:21 ”Hai bapak-bapak, jangalah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya”. Kata bapak disini tidak merujuk hanya kepada ayah saja, tapi kepada kedua orangtua. Kata yang diterjemahkan ”bapak-bapak” dalam Efesus 6:4 adalah patera, yang dapat mengacu kepada ayah secara khusus tapi sering kali digunakan untuk membicarakan kedua orang tua (bdk. Ibrani 11:23). Jadi jelas bahwa tanggungjawab pengasuhan, pendidikan dan peringatan berlaku untuk orangtua dan bukan semata-mata ayah saja. Efesus 6:4, menegaskan agar orang tua tidak membangkitkan amarah di hati anaknya, dan beberapa hal yang biasa terjadi adalah seperti terlalu melindungi anak sehingga menghambat kebebasan mereka dan tidak mempercayai mereka, terlalu memanjakan yang adalah wujud dari orang tua yang terlalu permisif, adanya anak kesayangan dibanding dengan yang lain (slih.Kejadian 27), sasaran yang tidak wajar misalnya dengan terus menerus mendesak mereka untuk berprestasi, menelantarkan atau sikap acuh tak acuh (lih. 2 Sam 18:3), dan beberapa hal terakhir yang sangat erat kaitannya dengan corporal punishment yaitu mengecilkan hati, sikap merendahkan, kasih yang berkurang dan disiplin yang berlebihan. Pertama, mengecilkan hati. Orang tuan membangkitkan kemarahan anak ketika mereka secara terus menerus mengecam mereka tetapi tidak pernah menghargai mereka, tidak pernah memuji prestasi mereka, dan tidak pernah mengizinkan mereka menikmati keberhasilan mereka sendiri. Seorang anak yang merasa tidak mendapat restu dari orang tua segera akan mudah menyerah. Oleh karena itu janganlah hanya berfokus pada kelemahan anak dan seakan-akan mengabaikan kelebihan yang dimilikinya. Setiap kali akan menunjukkan kesalahan mereka, berusaha untuk mengimbangi sesegera mungki dengan perbuatan mereka yang benar. Orang tua yang penuh kasih sayang akan selalu dapat menemukan sesuatu sebagai sumber untuk mendukung sang anak. Kedua, sikap merendahkan. Orang tua akan membangkitkan amarah anak jika melarang mereka untuk bertumbuh. Jika respon yang diberikan ketika remaja, yang dalam masa transisi menuju kedewasaan, mengatakan hal-hal yang naif atau tidak dewasa adalah merendahkan atau mengejek maka sesungguhnya mereka tidak sedang didorong untuk bertumbuh dan malah mempertegas ketidak dewasaan mereka. I Korintus 13:11 berkata ”Ketika aku kank-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang ssudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu”. Itulah bagian alami dari proses pendewasaan remaja. Orang tua justru harus mendorong mereka di dalam pencarian dan pertumbuhan itu, dan janganlah merendahkan mereka. Biarkanlah mereka dapat belajar tanpa harus menerima pukulan. Ketiga, Kasih yang berkurang. Jangan gunakan kasih sayang sebagai sarana untuk meberi hadiah sekaligus memberi hukuman. I Korintus 13;7-8 berkata bahwa kasih ”menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan”. Kasih tidak timbul tenggelam berdasarkan objek penerima kasih tersebut. Orangtua harus meneladan kasih yang Allah berikan ketika kita masih berdosa (lih. Roma 5:8). Keempat, disiplin yang berlebihan. Disiplin memang baik bagi seorang anak namun terlalu banyak hukuman adalah cara lain yang dapat membangkitkan kemarahan dalam anak. Banyak orang tua mengnaggap bahwa jika disiplin baik bagi seorang anak, maka banyak disiplin tentunya sungguh baik bagi mereka. Dengan cara senantiasa menyetir dan mengancam akan melakukan hukuman fisik. Kita akan mecoba melihat lebih dalam dibagian ini. Mendidik anak mencakup disiplin, dan jika diperlukan, hukuman dan peringatan. Amsal 13:24 berkata ”Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya,. Menghajar dia pada waktunya. Orang tua yang sungguh-sungguh mengasihi anak akan menegur mereka ketika mereka tidak taat. Hukuman yang pantas bukan semata-mata memberi ganjaran terhadap kesalahan; tetapi benar-benar demi kepentingan yang terbaik dari sang anak. Amsal 22:15 berkata ”Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya”. Ayat-ayat pada Amsal ini menghubungkan disiplin dengan kata rotan. Kata Ibrani untuk rotan berarti sebatang tongkat, atau sebuah benda netral. Tidak dapat dipungkiri Alkitab pun memyatakan agar anak perlu dididik secara disiplin, dan tanpa ada maksud memperhalus atau apapun, suatu ganjaran yang cukup keras juga menjadi bagian dari pendisiplinan. Tetapi jangan salah kaprah terhadap hal ini juga. Ancaman, tekanan serta hukuman badan yang terus menerus terjadi tak lain dari sebuah kesadisan. Orang tua yang jauh lebih ahli secara intelektual, jasmani, dan penguasaan kata-kata akan dengan mudah untuk meremukkan jiwa sang anak melalui tindakan yang menggunakan kekuatan yang besar (secara jasmani maupun kata-kata) apalagi saat kondisi amarah yang sedang meluap-luap. Orang tua yang memperlakukan anak seperti itu akan menuai badai angin puyuh apalagi ketika anak telah menajdi seorang remaja. Mereka yang mengalami cemoohan akan bertumbuh dengan sifat kejam dalam diri mereka, kemarahan mereka dibangkitkan oleh kekasaran orang tua sendiri. Firman Tuhan berkata bahwa Tuhan selalu mendisiplinkan anak-anakNya dalam kasih (Ibrani 12:5-7) penulis Ibrani tampaknya tahu bahwa semua orang tua cenderung terlalu mendisiplin anak mereka dengan keras atau dengan cara yang salah. Orang tua kadang kala cenderung mendisiplinkan anak dengan mementingkan diri sendiri atau menurut kehendak hati. Orang tua kristen harus berjuang untuk membuat kepentingan anak sebagai tujuan dari semua disiplin. Ini akan memperkecil resiko yang menggelisahkan dan menggusarkan mereka dengan cara yang tidak perlu. Mendidik anak dengan baik juga tampak pada Efesus 6:4, yaitu mendidik dalam ajaran dan nasihat. Memberikan pendidikan yang tepat
Kata dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan pendidikan adalah paideia yang berarti ”pembinaan, pendidikan, pengasuhan”. Banyak orang langsung berpikir tentang hukuman badan ketika istilah seperti ”disiplin” atau ”ganjaran” dimunculkan. Namun penjelasan lebih mendalam tentang hal ini akan dijelaskan pada bagian yang berikut. Kunci sejati untuk pekerjaan yang menantang dalam mendidik anak secara tepat adalaj menciptakan lingkungan pengasuhan dan pendidikan yang penuh kasih di mana hati mereka menjadi tanah yang subur bagi kebenaran Tuhan. Hati anak perlu dipelihara oleh orang tua. Orang tua dapat memelihara hati anak dengan menolong anak untuk memahami bahwa mereka memiliki hati yang berdosa. Hati anak adalah medan pertempuran paing kecil di dunia. Orang tua harus menetapkan sasaran yang tertuju kepada hati anak. Tujuan dari mendidik anak bukanlah pengendalian perilaku. Bukan semata-mata untuk menghasilkan anak-anak yang bertatakrama baik atau terpuji dalam perilaku sosial. Tujuan akhir dai fokus yang benar dalam mendidik anak secara alkitabiah adalah penebusan. Orang tua bertanggungjawab memimpin anak mereka kepada Kristus. Orang tua berperan untuk terus menerus menjadi penginjil, terus menerus mengarahkan dan mendorong anak kepada Kristus, yang merupakan pribadi satu-satu nya yang dapat membebaskan masalah hati yang menyebabkan mereka mencintai dosa. Jangan hanya mengajari anak untuk menguasai diri secara lahiriah tetapi latihlah mereka menghadapi pencobaan dan melawannya, mengapa kesombongan itu dosa dan mengapa keserakahan, nafsu daging, keegoisan, dan iri hati merupakan sikap yang tidak menghormati Tuhan. Anak harus di asuh di dalam lingkungan yang terus mengarahkan hati mereka dengan kebenaran firman Tuhan. Tegur mereka jika perlu Kata lain yang digunakan Paulus dalam ayat ini adalah nasihat atau nouthesia dalam teks Yunani. Ini adalah sebuah kata yang berbicara mengenai teguran atau peringatan. Tetapi juga mengandung pengertian nasihat dari orang tua yang lembut dan penuh kasih. Banyak perdebatan di luar sana yang menentang hukuman badan (pukulan di bokong) namun semata-mata hanya melihat fakta dan data statistik secara tidak rasional. Tetapi orang tua Kristen harus menanggapi secara bijak dalam melihat analisa dan perdebatan seperti itu. Firman Tuhan sendiri mengharuskan disiplin badani dan memperingatkan orang tua untuk tidak melalaikan penggunaan tongkat. Sebenarnya persoalan inti bukanlah pada memukul atau tidak tetapi bagaimana mereka memukul. Disiplin orang tua tidak boleh melukai sang anak. Tidak perlu sampai mememarkan anak kalau harus memukul mereka sang anak. Pukulan pun harus disertai dengan kasih dan TIDAK dilakukan saat orang tua marah. Inilah yang sebenarnya menjadi titik permasalahan dari corporal punishment. Jika sebagai pihak yang berotoritas dan berpengaruh tidak dapat mengendalikan amarah dan memberikan hukuman dan pukulan sebagai luapan emosi dn amarah, maka akan lebih baik untuk tidak melakukan hukuman badan. Itu akan memberikan luka yang tak tersembuhkan bagi anak. Refleksi Akhir Sesuai konteks remaja yang telah dibahas di atas, saat kita telah mengerti remaja yang ada dalam masa transisi menuju kedewasaan yang rentan serta juga berada dalam usia mengenyam pendidikan sekolah maka Sebagai orang tua, pendidik atau siapapun yang berotoritas terhadap anak haruslah melihat prinsip firman Tuhan dalam mendidik dan mengasuh anak. Fokus pada hati anak yang memang telah tercemar oleh dosa, dan mengenalkan penebusan di dalam Yesus Krsitus. Hanya itu lah yang sanggup menuntun hidup anak sampai seterusnya. Benar-benar harus berhati-hati dalam mengartikan apa itu disiplin atau pendisiplinan terhadap remaja. Sesungguhnya disiplin haruslah diartikan dengan memberikan imbalan yang setara dengan tingkah laku yang ditampilkan. Ketika tingkah laku mereka baik (termasuk sikap maupun tindakan), imbalan positif layak diberikan. Jangan mengidentikan pendisiplinan sebagai bentuk hukuman terhadap perbuatan yang buruk, tapi harus ada keseimbangan dalam menyikapi sikap anak. Jangan sampai tindakan para pihak yang berotoritas malah membangkitkan amarah di hati anak yang dipercayakan Tuhan untuk dididik dan dibina. Tapi haruslah seperti apa yang Efesus 6: 4 katakan ”. . . tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan”. Bagaimana mempunyai prinsip dalam penggunaan rotan yang benar serta mendidik dalam kasih yang berkorban, kasih yang peduli, kasih yang menyucikan dan kasih yang kekal. Ajarlah mereka segenap nasihat Tuhan, termasuk di dalamnya ”mengajar...menyatakan kesalahan...memperbaiki kelakuan...mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16). Daftar Pustaka Sarwono, W.S, Psikologi Remaja, (Jakarta: Rajawali, 1988) MacArthur, John, Kiat Sukses Mendidik Anak Dalam Tuhan, (Jakarta: Immanuel, 2004) Wright, Norman, Menjadi Orang tua Yang Bijaksana, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1996) http://www.probe.org/site/c/fdKEIMNsEoG/b.4224519/k.362A/Worldviews.htm (31 Mei 2009) http://www.infed.org/thinkers/et-rogers.htm. (30 Mei 2009) http://www.oaseonline.org/artikel/manggeng_freire.pdf (30 Mei 2009) written 12.06.09

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun