Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Makin Dipuji, Ahok Makin Kedodoran, Mengapa ?

9 Januari 2017   22:58 Diperbarui: 9 Januari 2017   23:23 2717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lapangan kerja masih menjadi problem yang utama dan sebagian besar wilayah Indonesia masih mengandalkan APBN atau APBD untuk menggeliatkan ekonomi untuk terciptanya lapangan kerja terutama pada sektor informal.

Mereka-mereka yang bergerak dalam sektor informal mengais rejeki pada pusat-pusat kegiatan ekonomi seperti pada wilayah perniagaan. Dalam situasi ekonomi seperti saat ini, pemerintah menggenjot target pendapatan namun sebaliknya efeknya menurunkan pendapatan masayarakat khususnya pada mereka yang mengais nafkah pada sektor informal.

Ditambah lagi, tidak tertampungnya peluang kerja bagi para lulusan perguruan tinggi, akhirnya mereka terjun bidang apa saja yang penting dapat menyambung hidup. Kesenjangan ekonomi didalam masyarakat tak pelak lagi menimbulkan kerawanan sosial terlebih adanya kenaikan2 harga kebutuhan pokok.

Kondisi seperti ini sebagai indikasi tumbuhnya ormas-ormas yang tujuannya untuk menguasai wilayah-wilayah ekonomi yang tidak mungkin dihandle oleh aparat keamanan secara keseluruhan. Pembiaran penguasaan, sebut saja lapak2  dalam penguasaan ormas2 itu juga memunculkan pertikaian antar ormas yang sering terjadi yang dipicu oleh perebutan penguasaan lapak ekonomi yang menjadi sumber penghasilannya.

Sebagai pengalaman, ketika saya membuat perencanaan pembangunan dan peningkatan pendapatan daerah, kondisi sosial ekonomi masyarakat   menjadi pertimbangan yang utama untuk menghindari gejolak. Seiring dengan lajunya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor, saat ini retrubusi parkir menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang potensian disamping pajak pembangunan dan reklame.

Sudah berlangsung lama, parkir2 liar menjamur disegala sudut, dimana ada keramaian, disitu berkumpul orang2 yang meminta tarif parkir yang besarnya mengikuti ketentuan pemerintah daerah.  Paling tidak, untuk keperluan parkir dan saweran dijalan  Rp 15.000 sehari, masuk areal parkir resmi dihitung jam-jam an akan lebih besar lagi.  Uang yang bertebaran dijalan tersebut itulah yang menjadi pendapatan sektor informal.  Inilah yang ditertibkan namun tidak ada solusi untuk pengganti penghasilan mereka.

Begitu juga dengan dampak penggusuran dan penertiban jalur hijau serta reklamasi pantai utara Jakarta, ada masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat yang juga dimanfaatkan oleh para penggiat dan aktivois politik. Bahkan kebijakan tersebut masuk ranah hukum yang mengundang Jokowi  harus mengundang  Kapolda dan Kajati seluruh Indonesia agar tidak mempidanakan kebijakan kepala daerah.

Siapapun dilawan, termasuk berpolemik dengan BPK dan DPRD DKI  yang memancing kegaduhan.  Sikap seperti tentunya tidak mengundang simpati dan meledak ketika menyinggung ayat Al Qur`an. Celah inilah yang akhirnya menyulitkan Ahok.  Kedua kontestan pesaing Ahok memanfaatkan moment tersebut yang menjanjikan tidak ada lagi penggusuran dan Anies Baswedan berkunjung ke markas FPI yang difahami untuk mencari dukungan suara.

Ganti pemimpin, ganti kebijakan tanpa didasari pertimbang sosial ekonomi kemasyarakatan dapat menimbulkan kegoncangan sosial yang akhirnya menjadi masalah politik.  Pembiaran adanya keamanan partikulir yang menguasai wilayah-wilayah ekonomi menjadikan wilayah itu sebagai sumber penghasilan mereka  berebut dengan pemerintah daerah  terjadi dikota-kota seluruh Indonesia, bukan hanya di Jakarta.

Penguasaan keamanan bukan saja monopoli ormas ormas, tetapi juga oknum2 aparatur negara yang menimbulkan friksi antara TNI dan Polri seperti yang terjadi di Batam.  Ibarat sebuah lingkaran setan yang tidak terputus melibatkan banyak kepentingan berebut rejeki dengan pemerintah daerah.

Kalau kita lihat angka kemiskinan di DKI, berdasarkan data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta yang dirilis pada Senin, 18 Juli 2016, jumlah penduduk miskin di Jakarta pada Maret 2016 mencapai 384,30 ribu orang atau 3,75 persen. Angka tersebut naik dibandingkan dengan September 2015 yang mencapai 368,67 ribu orang atau 3,61 persen. Jumlah penduduk miskin meningkat 15,63 ribu atau meningkat 0,14 persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun