Mohon tunggu...
Kelana Nusantara
Kelana Nusantara Mohon Tunggu... -

Pendengar, pengamat dan pembaca. Kemudian belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mang Lengser (1 - Gelap)

22 Maret 2017   20:49 Diperbarui: 22 Maret 2017   20:59 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Saya terima nikah dan kawinnya Cintya Ananda Puspita binti Arif Rais dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai. “Sah! Sah! Sah!” Mantra sakti dirapal, runtut, lengkap, jelas, mantap, penuh percaya diri oleh mempelai pria yang pagi tadi pucat pasi. Tapi, kini sumringah, menebar senyum ke seluruh tamu undangan yang tiada henti silih berganti naik turun panggung pelaminan untuk memberikan ucapan selamat. Pelaminan megah hasil karya wedding organizer kenamaan di Kota Bandung. Kelir berwiru dominan merah jambu dengan kombinasi putih bersih mencitrakan diri dengan rasa cinta kasih yang sedang tumbuh bersemi. Suci dan bersih.

***

Bulan sudah tergelincir di kaki langit barat, ditindih sinar matahari yang mulai merajut cahaya pagi dibalik fajar yang menggaris cakrawala di ujung timur. Dipta terjaga semalan, sedetikpun tak mampu tenggelam dalam peraduan. Tampias sinar matahari yang menerobos kain korden berwarna krem menyilaukan matanya yang bulat besar, bermahkotakan alis tebal hitam legam. Jantung dan hatinya merintih tak menentu, berdebur seperti ombak yang bergejolak, bergemuruh seperti merapi yang menghambur pijaran api. Dipta menyingkap selimut yang mengungkungnya, membebaskan tubuhnya terjamah dingin AC dari kamar hotel berbintang tiga di pusat kota.

Rambut yang menyentuh pundak seakan menari seperti ombak mengiringi tubuh tinggi tegapnya keluar ke teras kamar hotel. Tangannya menjinjing cangkir kopi yang, seharusnya mampu membangkitkan semangat oleh aroma sedap yang tercium oleh hidungnya yang bangir. Kumis tipisnya melengkung, mengikuti gerak bibirnya menyisip kopi. Sambil menyandarkan diri pada sandaran kursi, logikanya mencoba mempengaruhi hatinya yang belum bisa berlaku santai menghadapi hari ini. Hari yang akan menjadi satu dari sekian banyak hari yang begitu berkesan dalam hidupnya.

***

Lelaki paruh baya melenggak-lenggok, bersetelan hitam-hitam, berkebat sarung bercorak kotak setinggi lutut, dan blangkon batik ceper menangkupi kepalanya. Baju hitamnya, berlis putih selebar satu setengah ruas jari pada ujung lengan dan landasan kancingnya, yang dibiarkan terburai. Lis berwarna putih yang dihiasi rajutan berpola kujang, senjata tradisional ranah pasundan. Lelaki itu bercakar ayam, bibirnya berkecap- kecap menahan cangklong tanduk rusa yang disumpal dengan rajangan tembakau kering, menggulun kepulan asap. Pernik gelang bergelambir di lengan, dan kalung tali tambang dengan bandul kantong blacu berwarna hitam menambah penampilannya yang nyentrik pagi ini.

Mang Lengserpanggilan kehormatannya. Energik menghentak-hentakkan kaki, tangannya direntang memanjang. Sendi pergelangan tangan kanan kemudian dikokang tinggi ke atas meliak liuk, sementara tangan kirinya meregang hampir tegak lurus dengan tubuhnya yang pecicilan tak mau diam. Gerakannya eksotik, nyeni, enak dipandang, terus celedang-celedok mengikuti lantunan irama sunda yang bertalu dari kombinasi peralatan musik yang beraneka ragam. Mang Lengser,menjadi semacam pemandu arak-arakan rombongan yang beranggotakan hampir lima puluh orang. 

Rombongan yang tak satu orang pun bibirnya mengatup rapat, karena harus sesekali membuka lebar, menarik ujung simpulnya ke atas, dan menunjukkan deret gigi depan. Iya, inilah rombongan temanten pria, yang di tuntun oleh tarian jenaka dari Mang lengser.Dipta, lelaki yang namanya mengesankan nama seorang perempuan, menjadi bagian rombongan itu. Hati dan jantungnya belum berubah, persis seperti semalam, saat rasa kantuk seakan murtad dari jiwa dan raganya. Menyisakan kantung mata yang menghitam.

Lantunan lagu-lagu berbahasa sunda dengan sarat pemaknaan akan cinta dan semangat menjalin  kasih, mendayu sahdu dari bibir manis seperempat lusin sinden yang berayun  serasi seperti tertiup angin. Parade adat terus berlanjut, dan tampaknya masih akan berjalan sangat panjang. Raut wajah Dipta tampak jelas menunjukkan ekspresi kebosanan. Cukup masuk akal, bagi Dipta yang Jawa totok, kelahiran Jogja.

Ritual adat seakan berjalan sangat lambat di penglihatan Dipta. Dituntun oleh sinden senior dengan dandanan serba menor, prosesi berlanjut acara mapag, kemudian prosesi tembung trima yang, pastinya hanya formalitas. Bayangkan, kalau saat prosesi pernikahan adat yang serba ribet ini, tembung dari temanten pria tidak disambut terima oleh pihak temanten perempuan. Tak dapat lagi dibayang, baratayudha era milenium semacam apa yang akan pecah.

Tak mau terbenam dalam kebosanan, Dipta belajar menyesuaikan diri dengan berusaha menikmati tahapan demi tahapan. Saat kepalanya mulai ikut bergoyang mengikuti ritme musik dalam prosesi pernikahan sunda yang njlimet, jiwa raganya seakan tersengat oleh daya listrik berkekuatan ribuan volt. Hatinya seakan membeku, saat pemandu acara membacakan adicara berikutnya. Pelaksanaan ijab qobul, ruang rasanya kembali bergejolak liar. Sebentuk keringat sebesar biji kacang bergelantungan di kening dan pelipisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun