Mohon tunggu...
Rizki Subbeh
Rizki Subbeh Mohon Tunggu... Guru - SAYA ADALAH SEORANG GURU

Dekonstruksi Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Minggu Ke-1201

18 Maret 2018   16:43 Diperbarui: 19 Maret 2018   18:27 2682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.vebma.com

Lonceng pagi berbunyi, suara gemuruh adzan subuh terdengar, dan kokok ayam di sekitar rumah menghiasi pagi yang berselimut kabut dingin. Aku terbangun dengan tahi mata yang menyudut. Sejenak aku merenung tanpa bayangan kosong, tidak ada pikiran yang menggaetku, hanya terlintas dingin yang menusuk pori-pori kulit. Pagi ini aku masih bercumbu dengan daun kasur, selimut yang tebal menutupi kakiku, ini sebuah peralihan demi menutupi rasa dingin. 

Saat Iqomat mulai terdengar, aku mulai resah, ini waktu untuk menelanjangi air ke sekujur tubuh demi kesucian. Kalian tentu merasakan betapa beratnya untuk membangunkan diri dari rebahan kasur yang empuk. Namun, ini sebuah tantangan. Aku-pun bergegas bercumbu, mendekatkan, dan membisiki sang Tuhan. 

Dingin masih menyelimuti, meski air sudah menerka tubuh ini akibat wudhu. Kegiatan berikutnya adalah bekerja. Sebelum jam menunjukkan pukul 06.00 pagi, aku harus menyiapkan diri. Rumah sudah nyepi terlebih dahulu, karena keluargaku selalu memulai aktivitas diluar rumah sebelum adzan subuh. Ini sama seperti hidup sendiri, kelabu, sepi, dan suram. Entah sampai kapan cerita ini akan terus berlanjut. 

Detik jam, detik hari, dan detik tahun selalu menemani untuk memberikan perhitungan kehidupan. Perhitungan yang aku maksut adalah suatu pelajaran pahitnya dalam kehidupan. Pahit yang menerka diri, memangkas waktu, dan menyiksaku. Tidak ada teman yang dapat menghibur dan menyelesaikan ini semua. Ada beberapa orang yang menganggapku anak beruntung karena limpahan materi yang ku terima.

Persepsi ini sangat kontras oleh jalan yang ku hadapi, sebab penilaian mereka hanya terkonteks pada materi. Mereka pula hanya melihat rumput tetangga seperti yang sering kita dengarkan "rumput tetangga memang sangat menawan hati" hal itu dikolaborasi dengan sebuah materi maka jadilah anggapan keberuntungan.

Aku sudah mencoba mencari jalan keluar, namun sampai detik ini tetap saja nyepi ini menjadi teman sejati yang mungkin tidak akan terganti. Dapat terganti jikalau aku sudah berumah tangga sendiri. Paling tidak aku memiliki teman hidup diri, yang dapat menemani usai pulang kerja atau libur kerja. Benar, pemenuhan diri sudah dapat kuraih beberapanya. 

Jika aku analisis sesuai teori yang pernah dibahas pada skripsi waktu kuliah. Aku sudah memenuhi 3 poin dari 5 keutamaan pemenuhan kebutuhan. Ini prinsip psikologi humanistik Abraham Maslow, di mana manusia harus memenuhi 5 prinsip di dalamnya. dan Aku hanya memenuhi kebutuhan fisiologis yang berkonteks pada kebutuhan dasar pokok baik rumah, makan, minum, udara dll. 

Kemudian, aku juga memenuhi kebutuhan harga diri karena identitasku sebagai seorang yang mampu dalam konteks materi sehingga harga diri selalu menjadi prioritas. Dan yang berikutnya sekaligus terakhir adalah kebutuhan aktualisasi diri karena pengakuan oleh masyarakat sebagai seorang keluarga mampu dalam hal materi. Untuk poin kebutuhan rasa aman aku tidak merasakan ketentraman batin, sedangkan poin kebutuhan cinta dan memiliki masih belum pernah merasakan kemutlakan cinta dan memiliki dari keluarga. 

Ini hanyalah andai-andai dalam benakku saja, mungkin juga andai-andai siluet senja yang sekejap datang kemudian pergi kembali. Untuk mengubahnya aku tidak begitu kuasa, mungkin sudah takdir-Nya. Namun jika dipikir kembali, Aku tidak dapat menyerah pada keadaan sesakit apapun inilah hidup, sepahit apapun inilah manusia, dan sesulit apapun inilah kehidupan. Tidak ada yang dapat membaca bagaimana cerita selanjutnya yang jelas kehidupan harus tetap berlangsung sampai aku memenuhi kesempurnaan dari 5 kebutuhan tersebut.

Susah aku memperpanjang kritik dan komentar terhadap persoalan ini, apa yang aku rasakan sudah bertahun-tahun lamanya. Selama 25 tahun dan 1200 minggu aku lewati dengan kisah yang tidak jauh berbeda. Kebutuhan selalu ditargetkan dalam keluarga dan manusia. Pemuasan juga menjadi prioritas manusia, sehingga aku terkunci dalam persoalan kebutuhan yang harus terpenuhi. Kebutuhan ini terlepas pada konteks teori psikologi humanistik, karena yang aku maksut adalah kebutuhan kelangsungan hidup yang harus dipenuhi keluargaku. 

Mereka hanya berusaha memenuhi kebutuhan itu, bayangkan saja, Ibuku kerja mulai dari pukul 03.00 pagi kemudian pulang pukul 16.00 sore. Aktivitasnya selalu monoton, setiap pulang tidak ada yang harus dibicarakan, dia hanya pulang untuk istirahat saja. Bapak, sudah tidak menghiraukan karena sudah lalai dengan kewajiban. Dia juga hanya memenuhi kebutuhan seks dengan perempuan lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun