Mohon tunggu...
Hanny Kardinata
Hanny Kardinata Mohon Tunggu... Desainer -

Pendiri situs pengarsipan Desain Grafis Indonesia (dgi.or.id), penulis buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia (2016).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjalanan Kembali (4)

13 Juli 2017   11:00 Diperbarui: 13 Juli 2017   11:23 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13. Pertunjukan spektakuler rancangan sutradara film Zhang Yimou (. 1951) di lereng Jade Dragon Snow Mountain, kota tua Lijiang yang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO. Fotografi: Ka Xiaoxi.

[Sambungan dari: Perjalanan Kembali (3)]

"Masa depan adalah masa lalu yangberulang dan muncul dalam rupa yang baru. Masa depan era industri adalah erapra-industri dalam wujud baru. Memahami hal seperti itu penting bagi Indonesiayang memiliki ribuan desa, karena masa depan itu sesungguhnya ada sangat dekatdengan kita. Namun kita sekarang ini sudah membelakanginya. Inginmeninggalkannya demi meraih masa depan---yang bentuknya seperti masyarakatindustri sekarang ini. Semestinya kita hanya perlu membalikkan badan, sertamenggali dan mengembangkan potensi di dekat kita, terutama komunitas desa-desa.Dengan cara seperti itu, kita akan tiba di masa depan jauh lebih cepat daripadanegara-negara industri yang sebenarnya juga sedang menuju ke sana. [...] Halyang paling vital adalah adanya fasilitas pendidikan kontekstual. Fasilitas danaktivitas tersebut adalah jantungnya komunitas."---Singgih Susilo Kartono

Tidakbahagia

Gerakan 'kembali ke desa' sebenarnya telah berlangsung lebih awal di banyak negara. Sifatnya universal, dan sejauh ini sejalan dengan apa yang dipercayai oleh masyarakat Cina, bahwa apabila sesuatu berkembang ke kondisi ekstrimnya, pasti akan berputar balik ke arah sebaliknya.

Di Australiamisalnya, saementara orang-orang muda berusia 20-an berduyun-duyun ke kotamencari pekerjaan, sebuah laporan dari Regional Australia Institute (RAI) pada2014 menunjukkan bahwa setelah beberapa tahun mereka akan berbondong-bondongkembali ke daerah asalnya. Hal itu mereka lakukan terutama agar kehidupan yanglebih baik bisa dijangkau, tersedia lebih banyak waktu bersama keluarga, dandemi nilai-nilai baik yang dipahami masih kuat melekat pada masyarakatpedesaan. Pada catatan RAI, sepanjang 2010--2011 saja ada 135 ribu orangmeninggalkan ibu kota negara-negara bagian di Australia untuk kembali ke daerahregionalnya masing-masing:

"It's been a steady flow over the last five years, so it's not brandnew... it's just ramped up."[5]

Sama sajahalnya dengan proses konter-urbanisasi yang tengah berlangsung di Kanada,khususnya di Toronto. Hanya saja pola yang terjadi di sini umumnya mengikutidua tahapan, awalnya perpindahan dari kota ke daerah pinggirannya, dan kemudianperpindahan lagi dari daerah pinggiran kota ke pedesaan. Dan yang melakukannyaadalah kaum berpunya (affluent). Para eks-urbanis ini bukan mereka yang miskin, melainkan mereka yang berusaha mencari tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya. Mereka memiliki penghasilan di atas rata-rata, dan tingkat pendidikan yang lebih baik daripada mereka yang tinggal di kota.[6]

Serupa juga dengan yang berlangsung di Cina; ketika kaum miskin di pedesaan pindah ke kota, kaum kaya urban justru kembali ke desa. Menurut Bloomberg Business pada laporannya tahun 2013, mereka mengalami tekanan oleh pekerjaannya di kota, dan mencari alternatif kehidupan yang temponya lebih lambat.

Diilustrasikannyakisah seorang warga Cina, Bei Yi yang pada 2007 melakukan sebuah hal yangdianggap gila oleh banyak orang. Ia berhenti dari pekerjaannya yang berupahtinggi sebagai manajer sebuah perusahaan kaca, menjual mobil sertaapartemennya, dan meninggalkan Shanghai, salah satu kota yang paling didambakandi Cina. Destinasinya adalah kota tua Lijiang, terletak jauh di pedalaman BaratDaya propinsi Yunan yang miskin, yang pada masa lalu menjadi tempat pembuanganbagi mereka yang bertentangan dengan Kaisar. Keluarga dan teman-temannya yangkeheranan bertanya kepadanya: "Bagaimana mungkin kamu yang berasal dari kotayang demikian hidup dan penting ini bisa pindah ke daerah pegunungan yang jauhdari kehidupan?"   

"Mereka takmengerti" kenang Bei, yang di kemudian hari mengelola sebuah pesanggrahan diLijiang, sebuah kota dengan banyak lorong-lorong tua dan sungai yang derasairnya. "Dalam beberapa hal, hidup saya di Shanghai cukup baik. Tapi saya samasekali tidak bahagia."

Lijiang,rumah bagi minoritas Naxi yang memiliki sistem aksara tersendiri berkarakterpiktografis, terletak di lereng Jade Dragon Snow Mountain dengan ketinggian5.596 meter dan terkenal karena langitnya yang biru sepanjang tahun. PerkiraanPan Hongyi, Wakil Direktur Travel Research Institute, Lijiang Normal TechnicalCollege: "Dari sekitar 20.000 penduduk Lijiang, 95% di antaranya adalaheks-urbanis, berubah banyak dari keadaannya yang hampir-hampir tak berpenghuni15 tahun yang lalu. Kebanyakan dari mereka tadinya datang hanya untukberkunjung, tapi akhirnya mereka menetap di sana."


 Survei tahun2012 oleh Regus (RGU:LN) cabang Luxemburg yang menyewakan ruang perkantoran danruang konferensi di seluruh dunia menyimpulkan bahwa 75% pekerja Cina merasabeban mental mereka bertambah terus, merupakan persentase terbesar darikeseluruhan survei yang diadakan di 80 negara. Sementara survei yang diadakanoleh Pew Research Center pada tahun yang sama menunjukkan hanya 59% warga Cinayang puas dengan "kehidupan abad ke-21", turun dari 71% pada survei empat tahunsebelumnya. Masalah keamanan pangan menduduki tempat teratas keprihatinanmereka, berikutnya masalah-masalah seperti kemacetan lalu lintas, kriminalitas,dan polusi.[7]

Heartof nature

"People get to used too convenience. They think convenience is better.They throw out what's truly good." ---Akira Kurosawa, Dreams (1990)

Kehidupan di pedesaan dan masalah lingkungan hidup divisualkan oleh Akira Kurosawa (1910--1998) melalui filmnya yang berjudul Dreams (1990), menggambarkan bagaimana manusia menghancurkan alam atas nama "kemajuan". Film dengan konsep Realisme Magis ini ditulisnya sendiri berdasarkan mimpi-mimpi yang dialaminya berulang kali. Film ini tidak memiliki narasi tunggal, tetapi agak episodik mengikuti petualangan seorang "pengganti Kurosawa" [sering dikenali mengenakan topi yang merupakan cap (trademark) Kurosawa] melalui delapan segmen, atau "mimpi", yang berbeda. Dreams mengeksplorasi kesia-siaan perang, bahaya reaktor nuklir, dan terutama mengenai perlunya umat manusia menyelaraskan dirinya dengan alam.

 Yang ingin saya bagikan di sini adalah segmennya yang kedelapan, yang berjudul Village of the Watermills, di mana dalam keheninganatmosferiknya kita diajaknya merenungkan kembali apa prioritas kita dalamkehidupan dewasa ini.

 Seorangpemuda mendapatkan dirinya sedang menapaki sebuah desa nan damai sentosa, yangdialiri sungai kecil jernih dan deras airnya. Ia kemudian bertemu denganseorang laki-laki tua bijak yang sedang memperbaiki roda putar pembangkit-energi(watermill) (Gb. 14) yang rusak. Si penatua bercerita bahwa di masa lampau orang-orang desa ini memutuskan meninggalkan kotanya yang kotor akibat teknologi modern (polusi) untuk kembali ke kehidupan yang lebih bersih dan sehat (tanpa teknologi modern). Mereka mengupayakan sendiri keberlanjutan kehidupannya dengan melangsungkan gaya hidup alami. Desa ini tidak mengkonsumsi listrik. Penduduknya menggunakan minyak biji rami dan lentera di malam hari. Sawah mereka dibudidayakan menggunakan kuda dan sapi, bukan traktor. Dan untuk bahan bakar, mereka memakai kotoran sapi dan kayu bakar (dari ranting pohon yang patah). Dengan tinggal di desa ini mereka telah memilih kesehatan (fisik dan spiritual) daripada kenyamanan hidup.

14. Watermills di peternakan Daio Wasabi, Distrik Nagano, di mana segmen kedelapan film Dreams, Village of the Watermills diambil.
14. Watermills di peternakan Daio Wasabi, Distrik Nagano, di mana segmen kedelapan film Dreams, Village of the Watermills diambil.

"We try to live the man used to. That's the natural way of life. Peopletoday have forgotten they're really just a part of nature. Yet, they destroythe nature on which our lives depend. They always think they can make somethingbetter. Especially scientist. They may be smart, but most don't understand theheart of nature. They only invent things that in the end make people unhappy.Yet they're so proud of their inventions. What's worse, most people are too.They view them as they were miracles. They worship them. They don't know it,but they're losing nature. They don't see that they're going to perish. Themost important thing for human beings are clean air and clean water... and thetrees and grass that produce them. Everything is being dirtied, pollutedforever. Dirty air, dirty water... dirtying the hearts of men." 

Pemuda itu terkejut mendengarnya tapi tergugah dengan gagasan tersebut. Hal lain yang menarik, tidak ada yang meninggal sebelum waktunya. Semua orang hidup hingga usia sembilan puluhan. Pak tua itu sendiri telah berumur seratus tiga tahun. Pada bagian akhir, diperlihatkan jalannya sebuah prosesi pemakaman bagi seorang perempuan tua. Alih-alih mengiringinya dengan isak tangis, seluruh warga desa merayakannya dengan penuh suka cita, melukiskan akhir yang pantas bagi sebuah perjalanan hidup yang telah dilalui dengan baik. Adegan ditutup dengan nukilan musik yang melankolis dan menggugah hati, Inthe Village yang merupakan bagian dari CaucasianSketches, Suite No. 1 (1894, 1896) karya komposer Rusia, Mikhail Ippolitov-Ivanov (1859--1935).

15. Sampul depan laser disc film Dreams (1990) karya sutradara Akira Kurosawa (1910–1998). Film ini dengan satu dan lain cara melibatkan pula George Lucas (l. 1944), Francis Ford Coppola (l. 1939), Steven Spielberg (l. 1946), dan Martin Scorsese (l. 1942).
15. Sampul depan laser disc film Dreams (1990) karya sutradara Akira Kurosawa (1910–1998). Film ini dengan satu dan lain cara melibatkan pula George Lucas (l. 1944), Francis Ford Coppola (l. 1939), Steven Spielberg (l. 1946), dan Martin Scorsese (l. 1942).

 Melihatke dalam

"We search for something not knowingwhat it is. We search for happiness and fulfillment. But we search in the outerworld not realizing that we find these things by looking within."---Slow Movement

 Namun, guna mengikuti prinsip-prinsip Slow Movement [Lihat SlowDesign pada Nada dalam TautanBidang-Bidang (2)], ada juga orang-orang yang memilih tidak pindah dari kota yang tengah mereka diami. Mereka tetap tinggal, tapi secara dramatis memperlambat diri dan mengubah gaya hidup mereka. Mereka beranggapan tetap bisa melakukan perlambatan atau perubahan besar, sekali pun tetap berada di lingkungan atau posisi mereka saat ini. Agar bisa terhubung ke kehidupan, 'bukan keadaan sekitar yang diubah, tapi diri sendiri'.

"Terhubung ke kehidupan berarti terhubung dengan tiap aspeknya: dengan diri kita sendiri, tubuh dan pikiran kita; dengan spiritualitas; dengan jalan hidup; dan dengan irama alam yang menuntun hidup kita. Kalau banyak di antara kita yang tak terhubung, itu karena kita mencarinya di luar, tidak menyadari bahwa kita bisa memperolehnya dengan mencarinya di dalam. Pada saat kita melihat ke dalam, kita akan menyadari bahwa diri kita lengkap dan hidup kita sempurna. Kita tak lagi mesti berjuang menapaki jenjang jabatan dalam pekerjaan, atau meningkatkan status sosial kita. Kita akan melihat diri kita sebagai bagian dari keseluruhan yang sangat kompleks---saling tergantung atas segala hal."[8]

 Gerakan SlowCity (atau Cittaslow) yang dimulai di Greve, sebuah kota kecil di wilayahChianti, Tuscany, Italia Utara pada 1999, mendapat respons sensasional daripenduduk kotanya yang termotivasi untuk segera mengubah irama keseharianmereka. Tapi pengertian 'slow' disini tidak serta merta merupakan kebalikan dari 'fast'.Kata ini juga menyiratkan keterhubungan dengan alam, sikap respek terhadaplingkungan, dan bagaimana orang meluangkan waktu untuk menghargai hal-halseperti perubahan musim, guna membuat hidup sedikit lebih mudah, sertamenyediakan waktu untuk merenung.

16. Logo Gerakan Slow City (Cittaslow).
16. Logo Gerakan Slow City (Cittaslow).

Pengertian dari slow life diutarakan di dalam manifestoCittaslow (jaringan internasionalnya Slow City), yang berarti bebasberjalan-jalan kemana saja, tak berbuat apa-apa atau bahkan hanya melamun,mendengarkan saja, puas dengan menunggu saja, merenung, dan mempraktikkan "carahidup analog". Yang artinya menolak segala sesuatu yang lebih cepat, atau gayahidup yang sangat kompetitif dari dunia digital modern. Tujuannya di antaranyaadalah untuk membangun kehidupan yang lebih baik di lingkungan urban, meningkatkankualitas hidup, menolak homogenisasi dan globalisasi kota di seluruh dunia,mempromosikan keragaman budaya dan keunikan kota masing-masing, memberikaninspirasi mengenai gaya hidup sehat, dsb.

 Untuk bisadigolongkan sebagai Slow City (Kota Lamban), sebuah kota perlu memilikibeberapa karakteristik tertentu. Tidak cukup sekadar melambat saja. Beberapa diantaranya, penduduknya tidak lebih dari 50.000 orang; warganya memilikikeahlian khusus atau spesialisasi yang dilangsungkan dengan cara-cara lama,tidak menggunakan mesin, dan warisan tradisionalnya harus terawat baik. Kotaseharusnya tidak memiliki toko makanan cepat saji atau toko diskon besar, dankuliner lokal asli harus tersedia. Hingga 2009, hanya 111 kota di 16 negarayang memenuhi standar itu, menunjukkan tidak mudahnya sebuah kota memilikipredikat sebagai Slow City.

 Jauh sebelumnya, filsuf dan ekonom E.F. Schumacher (1911--1977) dalam buku terakhir yang ditulisnya, A Guide for the Perplexed (1977) telahmenyinggung mengenai kesadaran atas berbagai krisis kehidupan kemanusiaandengan saran bahwa pemulihan harus datang 'dari dalam diri manusia':

"Beberapaorang tidak lagi marah kalau diberitahu bahwa pemulihan harus datang daridalam. Sangkaan bahwa segala sesuatu adalah "politik" dan bahwa pengaturankembali "sistem" secara radikal akan memadai untuk menyelamatkan peradaban, taklagi dianut dengan fanatisme yang sama seperti duapuluh lima tahun lampau, dimana-mana di dunia modern sekarang terdapat percobaan-percobaan gaya hidup barudan kesederhanaan secara sukarela; kesombongan ilmu-ilmu materialistik telahberkurang, dan bahkan adakalanya orang telah bertenggang hati bila nama Tuhandisebut di dalam pergaulan yang sopan. Harus diakui bahwa beberapa di antaraperubahan pikiran ini pada mulanya tidak berasal dari wawasan rohani, melainkandari kecemasan materialistik yang ditimbulkan oleh krisis lingkungan, krisisbahan bakar, ancaman akan krisis bahan makanan dan petunjuk-petunjuk akandatangnya krisis kesehatan." [...] 

"Serempakdengan itu, kepercayaan kepada kemahakuasaan manusia, kini telah menipis.Bahkan jika semua masalah "baru" dapat dipecahkan dengan rumus-rumus teknologi,keadaan yang sia-sia, kekalutan dan kebejatan akan tetap. Keadaan itu telah adasebelum krisis-krisis yang ada sekarang menjadi gawat dan ia tak akan pergidengan sendirinya. Semakin banyak orang yang mulai menyadari "percobaan modern"telah gagal. Percobaan itu mendapatkan rangsangannya mula-mula dari apa yangsaya sebut  revolusi ala Descartes,yang dengan logikanya memisahkan manusia dari Tingkat-Tingkat yang LebihTinggi, yang dapat mempertahankan keinsaniannya. Manusia menutupgerbang-gerbang Surga terhadap dirinya sendiri dan mencoba dengan daya kerjadan kecerdikan yang besar sekali, mengurung diri mereka di bumi. Kini ia mulaimengetahui bahwa bumi hanyalah tempat persinggahan sementara, sehingga suatupenolakan untuk mencapai Surga berarti tak sengaja turun ke Neraka."[9]

 Kesia-siaanyang bodoh

"Ketikamanusia telah mencampuri Tao,

Langitmenjadi suram,

Bumiterkuras,

Keseimbanganmenjadi remuk,

Ciptaanmenjadi musnah." ---Tao Te Ching 39

 Ada sebuah film yang secara spektakuler merekam proses ketakseimbangan yang sedang berlangsung di berbagai belahan dunia. Pada 1982, bekerjasama dengan komposer Philip Glass (l. 1937) dan sinematografer Ron Fricke, sutradara Godfrey Reggio (l. 1940) melahirkan sebuah film dokumenter eksperimental berjudul Koyaanisqatsi: Life out of Balance. Film apokaliptik ini menonjolkan kontras antara keheningan alam versus kekisruhan kehidupan perkotaan dan teknologi modern; dibesut dengan teknik slow motion (gerakan-lamban) dan time-lapse (penyusunan serangkaian gambar menjadi klip video) yang memanjakan mata. Sebuah puisi visual tanpa dialog atau narasi, suasananya dibangun semata oleh gambar dan musik secara berdampingan.

"Koyaanisqatsi berupaya mengungkap keindahan darisuatu keburukan. Kita terbiasa melihat dunia kita, gaya hidup kita, sebagaiindah karena tidak ada pembandingnya. Bila seseorang hidup di dunia ini, didunia teknologi tinggi yang mendunia ini, yang dapat dilihat oleh semua orangadalah sebuah lapisan komoditas yang melapisi komoditas lainnya. Di dunia kitaini, yang "orisinal" itu adalah proliferasi dari apa yang telah dibakukan.Salinan adalah salinan dari salinan. Sepertinya tak ada jalan lain untukmelihat apa yang berada di luarnya, melihat bahwa kita telah mengemas diri kitadi dalam lingkungan yang artifisial, yang sungguh-sungguh telah menggantikanyang orisinal, yaitu alam itu sendiri. Kita tak lagi hidup bersama alam; kitahidup di atasnya, jauh darinya. Alam telah menjadi sumber daya untuk menjagaagar alam buatan atau alam baru itu hidup."[10]

 

17. Sampul depan film Koyaanisqatsi (1982) karya Godfrey Reggio (l. 1940). Kata Koyaanisqatsi berasal dari bahasa yang dipakai oleh orang-orang Hopi, penduduk asli Amerika yang berdiam di Timur Laut Arizona, berarti ‘hidup tak seimbang’ (unbalanced life).
17. Sampul depan film Koyaanisqatsi (1982) karya Godfrey Reggio (l. 1940). Kata Koyaanisqatsi berasal dari bahasa yang dipakai oleh orang-orang Hopi, penduduk asli Amerika yang berdiam di Timur Laut Arizona, berarti ‘hidup tak seimbang’ (unbalanced life).

Sebagaimana halnya dengan Dreams, pesan yang ingin diteruskan melaluifilm ini sangat jelas: umat manusia sedang dalam proses menghancurkan bumi,seluruh kemajuan yang dicapainya adalah suatu 'kesia-siaan yang bodoh' belaka.

When airwaves swing.
Distant voices sing.

Here is the West German Broadcasting Station with the news.
Fifty nuclear power stations will be built in the West German Republic.
In the next ten years.
Each one can supply a city of millions with power.[i]

 [i] Lirik ini diambil dari sebuah karya musik Kraftwerk yang berjudul Airwaves. Kraftwerk (Ingg.: Power Station) adalahsebuah band elektronik Jerman yang dibentuk pada 1970 di Dsseldorf.Karakteristik suaranya: irama yang repetitif, melodi yang mudah diingat,mengikuti harmonisasi Klasik Barat, dengan instrumentasi elektronik yangminimalistik. Lirik-liriknya yang sederhana dilagukan melalui vocoder ataudihasilkan melalui program komputer. Tema karya-karyanya berhubungan denganteknologi modern dan kehidupan kalangan urban di Eropa pasca Perang Dunia:berkendara di Autobahn, melakukan perjalanan dengan kereta api, memakaikomputer, dsb. Lirik-liriknya sangat minimal, tapi mengungkapi baik perhelatanmaupun kewaspadaan terhadap dunia modern, mengekspresikan paradoksal dalamkehidupan perkotaan modern: kuatnya rasa keterasingan yang hidup berdampingandengan suka cita kehidupan modern.[11]

[5] Younger Australians flocking back to the countryside.2014. Guardian Australia,http://www.theguardian.com/world/2014/jan/22/younger-australians-flocking-back-to-the-countryside,diakses 19 Juli 2015.

[6] Walker, Gerald. Urbanites Creating New Ruralities: Reflections onSocial Action and Struggle in the Greater Toronto Area.

[7] Roberts, Dexter. 2013. Stressed Chinese Leave Cities, Head for theCountryside. Bloomberg Business,http://www.bloomberg.com/bw/articles/2013-05-02/stressed-chinese-leave-cities-head-for-the-countryside#p1,diakses 19 Juli 2015.

[8] Making the connection to life. Slow Movement,http://www.slowmovement.com/life.php, diakses 20 Juli 2015.

[9] Schumacher, E.F. 1981. Keluar dari Kemelut: Sebuah PetaPemikiran Baru [A Guide for the Perplexed (1977)]. Jakarta: LP3ES.

[10]Koyaanisqatsi, http://www.koyaanisqatsi.com/films/koyaanisqatsi.php, diakses 28Juli 2015.

[11]Kraftwerk-Das Model,http://germannn.tumblr.com/post/72540053586/willkommen-in-germany-kraftwerk-das-model,diakses 29 Juli 2015.yakin bahwa 'desa adalah masa depan'.

 

***

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun