Mohon tunggu...
Fahri Firdausillah
Fahri Firdausillah Mohon Tunggu... -

Programmer yang masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Musafir, Muqimiin, dan Mustawthin dalam Fiqih

28 Mei 2011   04:39 Diperbarui: 4 April 2017   17:04 21994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa hari yang lalu penulis ikut mengawal rombongan mahasiswa calon beswan DIKTI dari Indonesia yang mengadakan study banding sekaligus survey keadaan kampus di Malaysia termasuk kampus penulis. Kebetulan waktu itu hari Jum'at dan acara study tour kampusnya dilaksanakan pagi hari. Menjelang waktu Jum'atan, kira-kira 30 menit sebelum adzan Jum'at, rombongan malah pamit untuk melanjutkan perjalanan karena masih harus melawat ke universitas lain.

Melihat para rombongan berpamitan salah satu senior penulis bertanya-tanya, "loh yang laki-laki nggak nunggu Jum'atan dulu?". Dengan spontan penulis menjawab "kan mereka musafir pak?". Tidak disangka senior dengan nada sedikit sewot berkata "lah kita semua kan juga musafir" (perasaan penulis kata "kita" berarti menunjuk pada kita mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Malaysia). Yah, penulis menghargai semangat keislaman dari senior ini, tapi sepertinya ada kesalah pahamn tentang pengertian Musafir yang perlu diluruskan dalam konteks ini.

Sebelumnya penulis meminta maaf karena mungkin nggak bisa menghadirkan dalil Qur'an & Hadits seperti penulis handal lainnya. Tapi yang jelas, tulisan ini bukan tanpa dasar sama sekali. Kalau pembaca berniat menelaah lebih lanjut, bisa merujuk beberapa kita Fiqih seperti Fathul Mu'in dan Kifayatul Akhyar.

Ditilik dari domisili seseorang, dalam Fiqih terdapat tiga istilah yaitu Mustawthin, Muqimin, dan Musafir. Perbedaan status domisili ini berelasi juga terhadap beberapa hukum ibadah, terutama sholat. Berikut adalah penjelasannya :


  • Musafir : adalah orang yang sedang bepergian untuk tujuan tertentu. Jarak perjalanan yang membuat orang dianggap sebagai musafir adalah kurang lebih 80 KM, dan lagi selama perjalanan orang tersebut tidak berencana untuk menetap di daerah tertentu lebih dari 3 hari. Jika musafir berencana menetap di suatu tempat 3 hari atau lebih, maka statusnya bukan lagi musafir, dan juga jika perjalanannya tidak lebih dari 80 KM, maka orang tersebut juga belum bisa disebut sebagai musafir (secara Fiqih). Seorang musafir mempunyai keistimewaan dalam melaksanakan ibadah, yaitu diperbolehkan Men-jamak sholat (mengerjakan 2 sholat dalam sekali waktu), diperbolehkan meng-qoshor sholat (meringkas sholat dari 4 rekaat menjadi 2 rekaat), membatalkan puasa Romadlon, dan juga meninggalkan sholat Jum'ah (menggantinya dengan sholat dluhur). Yang perlu digaris bawahi, privilege ini hanya berlaku bagi musafir yang tujuan perjalanannya bukan untuk ma'shiat. Kalau tujuannya adalah untuk ma'shiat seperti ngapelin pacar, ya tentu saja privilege ini hilang.
  • Muqimin : ini yang sering disalah pahami karena kemiripannya dengan kata dalam bahasa Indonesia "pemukim". Status Muqimin adalah untuk orang yang melakukan perjalanan lebih dari + 80 KM namun berencana menetap di suatu tempat lebih dari 3 hari. Domisili selama lebih dari 3 hari ini bukan untuk menjadi penduduk tetap dan di kala waktu ada rencana untuk pulang ke kampung halaman. Contoh yang paling mudah dari orang yang berstatus muqimin adalah anak kos, santri pondok, dan juga mahasiswa yang sedang belajar di luar daerah seperti penulis. Orang dengan status muqimin tidak lagi mendapat privilege seperti musafir dan sayangnya juga tidak mendapat hak untuk menyempurnakan bilangan Jum'atan seperti penduduk tetap. Maksudnya, muqimin tersebut tetap harus menjalankan sholat Jum'ah, namun ketika di masjid tertentu jumlah penduduk yang mengikuti sholat Jum'ah ada 39 orang plus 1 orang muqimin (total 40 orang), sholat Jum'ah di daerah tersebut belum bisa dianggap sah karena 1 orang muqimin tersebut tidak bisa dihitung sebagai ahli Jum'ah.
  • dan terakhir adalah Mustawthin : penduduk tetap adalah orang yang menetap di suatu daerah dan tidak akan pulang ke daerah lain karena memang rumahnya adalah di situ. Atau lebih mudahnya, alamat KTP-nya adalah di daerah tersebut. Tapi tentu saja ini penentuan mustawthin bukan dilihat dari KTP tapi dari keinginan orang itu sendiri. Kalau orang tersebut sudah menganggap daerah tersebut sebagai rumah tempat tinggal tetapnya, maka orang tersebut sudah bisa disebut sebagai mustawthin di tempat tersebut. Mustawthin tidak mempunyai privilege seperti musafir, dan tidak seperti muqimin, seorang yang berstatus mustawthin dapat dihitung sebagai ahli Jum'ah yang menyempurnakan syarat sahnya digelar sholat Jum'ah.


Kembali kepada kasus rombongan beswan tadi. Jadi menurut penulis, rombongan tersebut adalah musafir karena melakukan perjalanan jauh dari Indonesia ke Malaysia, dan penulis yakin tujuan mereka ke Malaysia bukanlah untuk ma'shiat tapi untuk mendapatkan pengalaman studi banding ke universitas yang dianggap lebih maju. Sehingga, mereka mempunyai hak untuk tidak melaksanakan sholat Jum'ah dan menggantinya dengan sholat dluhur. Di lain pihak, penulis yang sudah berbulan-bulan menetap di perantauan ini tidak mendapat privilege sebagai musafir, namun juga tidak bisa dianggap sebagai mustawthin karena tidak menganggap Malaysia sebagai rumah tempat tinggal dan masih berencana untuk pulang ke rumah di kemudian hari. Dan sekarang pun penulis sudah mulai kangen ingin pulang :).

Semoga bermanfaat,

Wallahu A'lam bis Showab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun