Mohon tunggu...
Kang Rendra Agusta
Kang Rendra Agusta Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti Naskah Kuno

sedang belajar Filologi dan Epigrafi || Sraddha Institute Surakarta ||

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Museum dan Kamu Sama-sama di Hatiku

5 Juni 2015   00:46 Diperbarui: 7 April 2016   15:41 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Foto : Wedangan Pendapa, yogyes.com


“Berjalan lebih jauh, menyelam lebih dalam, jelajah semua warna bersama-bersama. Parapapapa…”[i] 
suara yang keluar dari earphone memenuhi telinga.

Yeaay. Liburan akhirnya datang juga,” Ucapku lepas sambil menghirup nafas dalam-dalam. “Memang torang pe kota te’ada kereta[ii]jadi ada baiknya aku harus liburan ke Jawa supaya bisa liburan berkereta”.

Satu jam take off dari Sultan Hasanuddin Airport, akhirnya sampai juga di Surabaya. Dengan budget pas-pasan, akupun menginap di hotel belakang  Sangrila. Malam yang panjang terkuras habis, aku menyusun kembali rencana liburan tahun ini. Kota yang sedikit pengap ini cukup membuat gerah pada malam hari, seperti Makasar tentunya. Lalu kuputuskan untuk keluar ke warkop[iii].

Pak, Kopi item satu ya,” pesanku.

“Iya mas,” jawab pemilik warkop.

“Iki Mas Kopine,” lanjut pemilik warkop sambil menyajikan kopi.

“Iya, terima kasih,” jawabku.

“Sampeyan mergawe ndek kene ta?” balas pemilik warkop.

“Eee, maaf pak saya kurang begitu paham bahasa Jawa. Saya dari Makasar,” jawabku tergopoh-gopoh.

Woalah, Makasar. Kate ndo endi sampeyan? Eh lali maneh, mau kemana,?” balasnya

“Rencana mau ke Jogja pak, ingin sekali-kali naik kereta,” jawabku.

“Oh Yogya, wah kota budaya itu, anak saya juga kerja di sana mas,” balasnya.

Malam makin larut, kamar hotel juga makin hening. JTV masih mengudara dengan bahasa khas Surabaya, cakcuk-an[iv]. Sebelum tidur aku mengiripkan pesan singkat  kepada Ganang guide, dia orang Yogya yang sangat njawani[v]Sayup-sayup lampu temaram seperti serbuk Tinkerbell[vi]lelap juga aku.

Asholaatulkhoirumminannaum[vii]. Kumandang adzan subuh terdengar di telinga, aku terbangun dan segera bergegas. Dari kejauhan Sancaka Pagi[viii] sudah terlihat menungguku di stasiun Gubeng.

“Wah akhirnya, aku bisa naik Kereta,” ucapku senang.

                Stasiun pagi itu terlihat sesak dengan manusia. Akupun segera masuk ke gerbong kereta. Jawa memang selalu ramai dengan manusia, berbeda dengan rumahku di lereng Bawakaraeng[ix] sana.

“Gerbong 3, nomor 14D. Wah, dekat jendela. Hemm Ini dia kursi idamanku” gumamku dalam hati seraya tersenyum-senyum.

                Sembari menunggu penumpang lain, lamunanku memandang ke luar jendela.  Terlihat bangunan indis yang berbalut pemukiman padat. Kios-kios di depan stasiun, angkutan kota yang lalu-lalang dan tenaga angkut Herona Ekspress yang sibuk menata muatan logistik. Tiba-tiba datang seseorang mengejutkanku.

“Permisi dik, ini nomer 13C ya,” tanya beliau.

“Iya pak, mari silahkan duduk,” ucapku.

“Wah, mau ke Yogya juga dik,” tandas beliau.

“Iya pak, mengisi liburan kuliah,” balasku.

“Wah, luar biasa. Mumpung masih muda keliling Indonesia. Nanti kalau sudah seusia bapak, waktunya sudah harus dibagi dengan keluarga,” jawabnya.

“Benar juga ya pak, ke Yogya acara apa pak,” tanyaku.

“Pulang kampung dik, silahkan mampir ke rumah saya di daerah Godean,” jawabnya.

Beberapa menit kemudian suara lokomotif berbunyi nyaring, tanda kereta akan diberangkatkan. Lalu datanglah dua orang pemuda yang terburu-buru.

“Maap kang, kiye bener kreta nyang Yugya ya,” tanya pemuda tadi.

“Iya mas,” jawab bapak yang duduk disampingku.

Aku hanya terdiam dan mengamati, karena aku tidak bisa bahasa Jawa.

“ Kiye bener kursi nomer 13 AB ya pak,” lanjut pemuda tadi.

“iya dik, mangga silahkan duduk,” lanjut bapak itu.

Kedua pemuda itu sibuk meletakkan barang di rak gerbong.

“Rika sih ndadak golet pecel Genjer, dadi telat kaya kiye,” ucap pemuda itu kepada kawannya.

“Nyong, kincot temen beh, balas kawannya.

“mulane mbok tangi ya sing esuk, rika kalah karo petani Munthul[x], sahut pemuda itu.

“uwis-uwislah, ayo padha lungguh, jawab kawannya.

Keretapun melaju kencang memotong persawahan dan ladang, sesekali berhenti di stasiun untuk menaikkan penumpang. Sepanjang perjalanan kami berempat makin akrab. Pemandangan luar biasa indah. Mulai perkebunan tebu di sekitar Madiun, Hutan Jati Ngawi, dan persawahan yang luas di Sragen.

Ngomong-ngomong kita belum berkenalan dik,” sahut bapak tadi.

Oh iya pak, nama saya Von Laode,” jawabku.

“Namanya bagus, saya Suwarno mas. Kalau mas berdua siapa,” lanjut bapak tadi sambil menunjuk kedua pemuda tadi.

Nyong Rahman pak.

Nyong Arif,” jawab keduanya bergantian, sambil berjabat tangan.

Akupun juga mengikuti berjabat tangan dengan mereka.

“Pak Warno, kalau ke Jogja enaknya main kemana pak, tanyaku.

“Yogya banyak tempat yang indah mas, kalau suka gunung bisa ke Kaliurang. Pantai juga banyak,” ujarnya.

“Kalau pegunungan dan laut, saya tiap hari ketemu pak. Rumah saya di dekat hutan, tempat kuliah saya dengan dengan pantai pak. Kalau yang berbau kuno-kuno begitu,” lanjutku.

“Oh, kalau yang kuno-kuno silahkan mampir ke Keraton, Benteng Vredeburg atau museum-museum di Yogyakarta mas,” jawabnya.

ehm, baiklah. Terima kasih pak,” jawabku.

Matahari condong ke barat, seiring dengan jalannya kereta. Setelah melewati Stasiun Balapan, akhirnya sampai juga di Yogyakarta. Kami berempat berpisah. Mas Ganang sudah menungguku di peron.

“Ganang” sapaku.

“Laode, apa kareba” sahut Ganang dengan bahasa Makasar.

“Kabarku apik-apik,” balasku menggunakan bahasa Jawa.

“So lama e, torang tak jumpa. Ngana makin kurus saja,” Lanjutku.

Ah, perasaanmu saja De. Yuk kita ke rumah dulu, biar kamu istirahat. Besok kita baru mulai perjalanan, oke,” sahut Ganang.

“Mari,” jawabku.

                Selama perjalanan aku melihat banyak hal unik di Yogyakarta. Mulai malam hari yang ramai dengan wisatawan, pengamen jalanan, dan gelak tawa orang-orang warung tenda. Setelah sampai di rumah, kami berbenah dan bercakap-cakap dengan Keluarga Ganang. Namun ada satu hal yang benar-benar berbeda di sini, cara bicaranya benar-benar pelan, tak seperti di rumah. Lalu kami melanjutkan percakapan di teras, orang Jawa menyebutnya ngemper[xi].

“Bagaimana perjalananmu De,” Tanya Ganang.

Wah, betul-betul menyenangkan. Kesampaian juga aku naik kereta api Gan,” jawabku.

“Begini De, besok itu aku ada pelatihan di Dinas Kebudayaan selama 3 hari. Jadi aku tidak bisa mengantarmu,” Balas Ganang.

“Lalu,” tanyaku.

“Aku sudah menghubungi temanku, namanya Manissa. Dia yang akan mengantarmu keliling Yogya. Tenang, Nissa orang baik dan gak kalah kece lah denganku,” jawab Ganang sedikit meninggi.

Oke baiklah, kalau Museum yang recommended di Yogya mana saja,” tanyaku.

“ Banyak De, mau kamu museum yang bagaimana. Pendidikan atau Kebudayaan. Ada semua disini,” Jawab Ganang.

“Kalau Sangiran jauhkah,” tanyaku.

“Ya lumayan, nanti aku bilang ke Nissa. Biar dia yang mengatur jadwalmu selama 3 hari disini,” tuturnya.

Oke, masalah akomodasi kita hitung di belakang ya,” jawabku.

“Tenang De, kayak kenal baru setahun-dua tahun saja,” balas Ganang.

                Pukul dua pagi, kami bergegas tidur. Samar-samar terdengar suara Nyi Candralukita di programa satu Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Instrumen karawitan itu mengalun perlahan menutup pagi.

Kriiiiiing,” alarm berbunyi.

“Mari berangkat. Aku antar kau ke tempat Manissa,” ucap Ganang.

“Baiklah,” balasku singkat.

                Sepatu boot Eiger dan ransel Deuter sudah melekat di badan. Kami berangkat dari Kos Manissa di Seturan. Jalanan pagi itu begitu padat oleh anak-anak sekolah dan para pekerja. Akhirnya kami sampai di kontrakan. Seorang dengan paras menawan ada di kursi beranda.

“Pagi Nissa,” sapa Ganang.

“Pagi Nang, oh ini temanmu yang mau keliling tempat-tempat kuno di Yogya,” jawab Nissa.

“Iya, kenalkan dia Ode,” ucap Ganang seraya mengenalkanku pada Nissa.

“Ode,” ucapku sambil menjabat tangannya.

“Nissa,” jawab Nissa.

“Baiklah, selamat berjalan-jalan. Aku pamit dulu,” pungkas Ganang.

                Ganang meninggalkan kami menuju Dinas Kebudayaan DIY. Perjalanan kami pun dimulai. Kami berdua naik motor mengelilingi Yogyakarta menuju Museum Sanabudaya. Selama perjalanan Nissa banyak bercerita tentang toponimi pedesaan di sekitar keraton Yogyakarta.

“Sudah pernah ke Jogja berapa kali De,” Tanya Nissa.

“Ini yang kedua Nis,” jawabku.

“Nah, ini adalah Desa Patehan. Dulu desa ini merupakan tempat tinggal abdi dalem,[xii] yang menyediakan minuman bagi kerajaan. Sedangkan Desa Jogokaryan ini dahulu merupakan tempat tinggal Prajurit Jogokarya,”  ucap Nissa.

“Wah, Keren,” sahutku.

Di Sanabudaya, Nissa banyak menjelaskan berbagai koleksi. Mulai dari arca sampai dengan Arsitektur Jawa.

“Ini yang disebut Pasren atau Krobongan, Tempat tidur khusus ini biasannya digunakan untuk malam pertama para pengantin. Dalam Serat Centhini, diceritakan malam pertama Syekh Amongraga dan Ni Ken Tambangraras menghabiskan 40 malam pertamanya di Krobongan. Centhini itu karya sastra Jawa yang terbesar. Kalau di Makasar adakah kisah semacam ini,” ucap Nissa.

“Ada, terdapat kisah Lontara I La Galigo. Cerita ini merupakan Epos terbesar bagi kami di Makasar. Perjalanan Maritim yang panjang,” jawabku.

Wah, luar biasa Nusantara itu,” ucap Nissa.

“ Iya, ada kisah yang romantis di setiap perjalanannya,” Tandasku.

Lalu kami masuk pada ruangan pakaian adat.

“Ini pakaian orang Jawa De. Setiap Jarik atau Nyampingan[xiii] yang dipakai mempunyai motif yang berbeda pula. Hal itu merupakan karya leluhur kita yang wajib kita lestarikan,” ucap Nissa.

“Benar Nis, kita wajib melestarikan. Kalau ingin tahu lengkap motifnya dimana Nis,” tanyaku.

Yuk, kita lanjutkan perjalanan,” potong Nissa.

Dari museum Sanabudaya kami menuju Museum Batik. Disitu terdapat berbagai jenis kain batik lintas jaman, dari jaman klasik sampai era modern. Berbagai jenis batik dapat kita jumpai disini baik Batik Tulis maupun Cap.

“De, ini yang kita lihat di Sanabudaya. Namanya motif  Sidamukti,” ucap Nissa.

“Arti motifnya,” tanyaku.

“Sidamukti berarti makmur, maka biasanya digunakan para Pengantin Jawa,” terang Nissa.

Aku terdiam dan takjub atas penjelasan Nissa.

“Ini motif Parang, motif ini adalah motif khusus yang digunakan untuk keluarga kerajaan,” jelasnya.

Puas di Museum Batik kami melanjutkan perjalanan menuju Museum Ullen Sentalu. Museum yang terletak di ujung utara Yogyakarta itu juga menyimpan keunikan yang luar biasa. Setelah kami disana, edukator museum menyambut kami dengan ramah dan menjelaskan koleksi di setiap ruangannya.

“Nis, ini siapa, kok batik yang dipakai bermotif Parang,” tanyaku sambil menunjuk sebuah foto.

Seperti menangkap pertanyaanku, lalu edukator menjelaskan pada kami.

“Ini foto Gusti Nurul, beliau adalah Putri Mangkunegaran yang sangat cantik. Bahkan dia pernah memikat banyak lelaki, sampai Sukarno sendiri pernah simpati padanya. Gusti Nurul pernah menari di Belanda dan iringan gamelannya langsung dari Pura Mangkunegaran, yang disiarkan melalui stasiun Solosche Radio Vereeniging (SRV),” terang edukator.

“Lebih cantik aku kan daripada Gusti Nurul,” tukas Nissa bercanda.

“De, ayo kita lanjut,” ajaknya melihat koleksi yang lain.

Siang itu kami berhenti sejenak di warung Es Kelapa Muda Pak Har, untuk rehat sejenak dan membasahi tenggorokan.

“Kamu suka es Degan[xiv] Nis,” tanyaku.

“Ah, gak juga. Aku mah semua makan doyan, hahaha,” jawab Nissa.

“Di sini banyak pohon Kelapa juga ya Nis, Macam di Sulawesi,” balasku.

“Iya, Kelapa merupakan pohon yang tidak bisa dipisahkan dari orang Jawa. Seluruh bagiannya bisa digunakan. Mulai dari lidi, janur, batang kayu, dan buah Kelapa itu sendiri. Ada juga yang diolah menjadi makanan tradisional seperti Sagon[xv],” terang Nissa.

“Benar juga ya, kalau di tempat kami juga ada makanan yang terbuat dari parutan Kelapa namanya Sinole, kapan-kapan kamu harus mencobanya. Lezat abis Nis,” ucapku.

“ Oke, kapan-kapan aku mau mencobanya. Nanti kalau aku jadi ke Togean, aku sempatkan untuk mencari Sinole. Tau gak De, selain untuk makanan, pohon Kelapa juga mempunyai ikatan spiritual bagi setiap masyarakat Jawa. Kembar Mayang[xvi] simbol wahyu perjodohan itu juga dibuat dengan daun Kelapa atau Janur, merupakan akronim dari Jan- Nur.  Berarti benar-benar cahaya Tuhan. Degan juga mempunyai cerita sendiri dibalik kekuasaan Mataram. Terkait perjanjian Kyai Giring dan Kyai Pemanahan, yang akhir-akhir ini sedang banyak dibahas di media,” Terang Nissa kembali.

Wah, Keren,” ucapku diam sambil memperhatikan Nissa

Yuk Kita lanjutkan perjalanan,” ajak Nissa

Tanpa berpikir panjang, aku menuruti Nissa. Selepas membayar es Degan, kamipun melaju ke selatan. Seperti biasa, Nissa selalu bercerita tentang tempat-tempat yang kami lalui. Mulai dari Selokan Mataram, Tugu Pal Putih, Pajimatan[xvii] Kota Gedhe, dan seterusnya.  Motor Vario terus melaju ke selatan menyusuri kampung-kampung. Kami memasuki komplek bangunan berwarna abu-abu yaitu Museum Pleret.

                “Selamat sore mas,” sapa Nissa.

                “Mari mbak, masuk. Saya Deny, edukator museum ini,” ucap edukator.

“Begini mas, kami mau main aja disini sekalian tanya-tanya tentang awal berdirinya Mataram” ucap Nissa

Owh begitu, Mari Silakan,” jawab edukator.

Sore itu kami diajak keliling museum dan mendapat penjelasan tentang Keraton Mataram. Deny menceritakan peranan Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan dalam masa awal kebangkitan Mataram Islam. Lalu kami melanjutkan ke situs-situs di sekitar Pleret. Deny menjelaskan dengan runtut mulai dari Panembahan Senopati sampai dengan Amangkurat I. Cerita begitu menarik ketika dibumbui kisah cinta Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Perjalanan begitu menarik dan menyenangkan.

“Jadi komplek Museum Pleret ini disinyalir sebagai pusat kraton Pleret dimana Sunan Amangkurat memegang kekuasaan tertinggi,” terang Deny.

“Wah, Amangkurat I ya? Aku jadi teringat trilogi Rara Mendut[xviii]Kisah perseteruan Tumenggung Wiraguna dan Amangkurat Amral itu begitu menegangkan,” sahutku dengan semangat.

“Benar mas, Amangkurat I terkenal sebagai raja yang mempunyai kekhasan saat memerintah,” tukas Deny.

Langit jingga membekas di balik gleges-gleges[xix] tua. Aku dan Manissa kembali menyusuri jalan ke selatan. Sepanjang runaway pantai Depok, menikmati debur ombak saat surya berpulang. Lalu Nissa menunjukkan tempat yang dipercaya sebagai pertemuan Penembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul, Parang Kusuma. Saat Nissa asyik menjelaskan tempat itu, tiba-tiba handphone-ku berdering, ada pesan singkat masuk.

[De, kamu besok pulang kan? Tidak lupa to lusa Daeng Ahmad menikah?]

Akupun sontak terkejut, teringat bahwa lusa kakak sepupu menikah.

“Aduh, kok bisa lupa ya?” ucapku sambil menepuk jidat

Kenapa De?” tanya Nissa

“Aku kelupaan kalau lusa kakakku menikah,” balasku

“Oh, jadi kamu besok balik ke Makasar?” tanya Nissa

“Ya bagaimana lagi Nis,” sahutku.

Yah, gak bisa ber...,” ucap Nissa sontak tak melanjutkan perkataan.

“ Kenapa Nis?” tanya.

“ Enggak kok,” jawab dia singkat.

Sesaat kami terpaku saling pandangakupun tersipu sendiri. Setelah boking tiket pesawat, kami menuju Wedangan[xx] PendapaTempat wedangan ini begitu menarik, desain ruangannya klasik syarat akan ornamen. Ditambah lagi sepasang Loro Blonyo[xxi] membuat suasana vintage sekali. Malam itu obrolan makin hangat dengan kehadiran Ganang yang baru pulang dari dinas Kebudayaan.

Pagi itu kami berpisah di Bandara Adisucipto. Rasanya ingin berlama-lama di Yogyakarta, menjelajah museum dan bangunan kuno lainnya. Tanpa sadar jariku mulai menari di atas keypad, menuliskan apa yang kurasakan via Path.

[Museum dan kamu, sama-sama menarik. Sama-sama di hatiku at Adisucipto Interational Airport]

                Kembali aku memasang earphone dan memilih lagu untuk mengiringi perjalanan pulang. Di dalam hati aku berkata “Yogyakarta aku akan kembali”.

“ I’ll take you home, just wanna take you home. I’ll take you home, just wanna take you home.[xxii]

 

 

[i] Sebuah lagu milik Banda Neira- band indie Indonesia.

[ii] Kotaku tidak ada kereta (Bugis,terj.)

[iii] Warung Kopi.

[iv] Cakcukan adalah ragam khas/ dialek bahasa Jawa Timur khususnya Surabaya.

[v] Paham Jawa.

[vi] Karakter fiksi Peri di Walt Disney.

[vii] Sholat itu lebih baik daripada tidur (Arab terj.).

[viii] Nama Kereta Api.

[ix] Nama gunung di Sulawesi Selatan.

[x] Ketela dalam dialek Banyumasan.

[xi] Teras rumah.

[xii] Pegawai Keraton.

[xiii] Kain batik yang digunakan orang Jawa untuk kepentingan adat.

[xiv] Kelapa Muda.

[xv] Makanan yang terbuat dari parutan kelapa berbentuk setengah lingkaran.

[xvi] Anyaman dari daun kelapa sebagai simbol wahyu perjodohan. Sepasang kembar mayang itu bernama Dewadaru dan Jayadaru.

[xvii] Makam Tokoh Masyarakat atau Raja.

[xviii] Novel karya Y.B Mangun Wijaya.

[xix] Gleges= bunga Tebu (Jw).

[xx] Tempat untuk menikmati minuman/wedang(jw).

[xxi] Sepasang patung sebagai simbol kesuburan, kedua tokoh ini adalah Dewi Sri dan Raden Sadono.

[xxii] Lagu Layur, band indie dari Yogyakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun