Mohon tunggu...
Jaja Zarkasyi
Jaja Zarkasyi Mohon Tunggu... Penulis - Saya suka jalan-jalan, menulis dan minum teh

Traveller, penulis dan editor

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Refleksi Idul Fitri: Karena Birokrasi Tak Boleh Kalah

23 Mei 2020   21:07 Diperbarui: 23 Mei 2020   22:03 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tahun ini seluruh penjuru dunia tak bisa merayakan Idul Fitri dalam suka cita yang megah. Covid 19 memaksa kita semua stay at home, birokrasi "sementara waktu" terhenti, aktivitas bisnis juga terhenti. Walhasil perputaran ekonomi yang biasa mengiringi datangnya idul fitri terpaksa tak berjalan tahun ini.

Di kampung saya, Kuningan, Idul Fitri adalah momen kembalinya anak-anak perantau untuk sejenak membumi dengan tanah kelahirannya. Kesuksesan di tanah rantau tak berarti apa-tapa tanpa doa dan motivasi dari penduduk tanah kelahiran. Inilah alasan mengapa Idul Fitri tak boleh terlewat tanpa mudik.

Sebagai seorang ASN, saya pun begitu menyambut momen lebaran ini dengan sukacita. Inilah momen saya bisa kembali membumi, mengunjungi para sesepuh yang tak lelah memberi saya ilmu kearifan. Inilah momen saya bisa bertemu sahabat kecil yang dulu sama-sama "bandel". Dan sederet aktivitas lebaran sungguh sangat membuat hati saya terharu.

Dampak paling besar lebaran adalah kembalinya semangat saat kembali ke perantauan. Ada semangat baru, ada motivasi baru, ada cita-cita yang terbarukan. Momen lebaran benar-benar efektif me-recharge kehidupan menjadi lebih bersemangat, berwarna dan penuh rencana kebaikan. Bukan hanya oleh-oleh dibawa dari kampung, namun juga deretan nasihat dan kata-kata bijak untuk menjaga imunitas diri dari rongrongan pesimisme.

Itu dulu. Hari ini berbeda. Saya tak bisa mudik, tak bisa bertemu dengan keluarga, teman, para guru atau cerita gokil bertemu "mantan". Dari kejauhan saya sudah melihat betapa lesunya anak-anak karena tak bisa bermain di sungai dan kebun abahnya. Padahal ini sudah direncanakan jauh-jauh hari. Pun, saya ikut merasakan kepiluan karena tak bisa ikut keliling kampung mengikuti takbiran.

Lebaran tahun ini tak ada sayur cabe dan bekakak ayam kampung yang biasa kami nikmati pasca shalat ied. Tak ada pula pembagian uang buat para ponakan dan tetangga yang biasa dilakukan anak pertama kami. Begitulah, rasanya sangat-sangat sedih. Lebaran harus di Jakarta, tak boleh keluar.

Memenangkan Rindu vs Menenangkan Rindu
Dua hari yang lalu saya membaca kisah seorang laki-laki berjalan kaki dari Jakarta ke kampung halamannya karena tak ada kendaraan yang bisa mengantarkannya. 4 hari lamanya ia berjalan hingga sampailah di Kota Batang. Nasib pun tiba-tiba berubah, ia ditemukan oleh teman-teman sesama sopir bus pariwisata dan merekapun mengantarkan laki-laki itu ke kampung halamannya.

Banyak cerita "sedih" yang ditulis oleh orang-orang yang tak punya pilihan kecuali memilih mudik. Dilema memang. Jakarta bukan kota yang ramah, semua serba berbayar. Tak seperti di kampung, masih banyak kebun dan lahan yang bisa memberi vitamin. Dan itu kadang gratis. Tinggal di Jakarta dalam kondisi tak menghasilkan rupiah tentunya dilema besar bagi sebagian besar kita.

Seorang teman bercerita, bahwa ia sendiri tak menginginkan mudik. Ini pilihan berat, kang. Saya tak lagi bekerja, taka ada rupiah, sementara anak-anaknya di kampung tetap harus dicukupi kebutuhannya. Bagaimana saya bisa bertahan di perantauan tanpa kerja, sementara anak-anakku kelaparan dan rindu?

Mereka memenangkan rindunya demi orang-orang terkasih di kampung halaman. Maka ribuan ide ia gali agar bisa "lolos" dari pemeriksaan yang digelar pemerintah. Ada cerita tentang ongkos yang mencapai 5 kali lipat harga lebaran. Ada pula trik-trik aneh dan membahayakan hanya demi bisa sampai di kampung halaman. Sebagian tak beruntung, berhasil dicegah aparat dan dipaksa putar balik ke Jakarta.

Tidak ada yang salah secara penuh akan pilihan mereka. Namun tentunya tak juga bijak dalam kondisi tak menentu Covid 19 ini. Saya lebih memilih bahwa keduanya tak menemukan titik temu, hingga akhirnya salah satunya harus mengambil keputusan ekstrim: mudik dengan segala risikonya. Rindu yang menggunung dan kelaparan tak menemukan kesepakatan yang ideal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun