Mohon tunggu...
Ahmad Athoillah
Ahmad Athoillah Mohon Tunggu... Jurnalis - -------

--------

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi Itu Tidak Bisa Dinalar

15 Juli 2017   15:59 Diperbarui: 15 Juli 2017   16:08 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.hukumpedia.com

MALAM itu, hujan deras baru saja mengguyur wilayah Kota Tuban. Suhu udara terasa cukup dingin. Membekap tubuh yang merasakannya. Ada yang menggigil, ada yang biasa saja. Mereka yang merasa biasa saja itu karena sedang asyik diskusi.

Dan, mungkin saja mereka yang asyik diskusi di salah satu warung pinggiran kota itu, juga tidak tahu kalau di luar sana sedang hujan. Toh, dia juga tidak terganggu. Biarin, kata mereka yang sudah aman di dalam warung. Sambil nyruput kopi dan ditemani sebatang rokok yang diapit antara jari penunjuk dan penunggul. Mereka terus asyik berdiskusi.

Topik diskusi yang mereka ambil adalah korupsi. Korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi, yang notabennya juga kaya dan raya. Tapi bukan Indonesia Raya. Karena, kalau mereka merasa Indonesia Raya, pasti tidak mungkin korupsi. Malu. ''Kok bisa ya, mereka yang sudah kaya masih saja korupsi,'' kata salah satu peserta diskusi. Jika dilihat dari wajahnya, para peserta diskusi itu usianya rata-rata 22-24 tahun. Masih kuliah. Mungkin semester tiga dan lima.

Saya yang mendengar celetukan mereka hanya bisa tersenyum. Apa yang mereka sampaikan adalah hal yang wajar. Kaya artinya sudah mampu. Sudah kecukupan segala materi. Bahkan, mungkin lebih-lebih. Lalu apa lagi yang dicari?. Ya, mungkin itulah yang mereka fikirkan. Memang sangat tidak masuk akal. Bagi akal yang sehat, harusnya mereka rajin beribadah.

Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang diskusi merinci gaji para pejabat yang korupsi tersebut. Fantastis, kata mereka. ''Gaji yang sudah puluhan hingga ratusan juta, kok masih menyempatkan diri korupsi,'' ujar salah satu peserta diskusi lain. Lagi-lagi, saya hanya bisa tersenyum. Tapi saya sangat bersyukur bisa ngopi, dan bertemu dengan sejumlah mahasiswa yang masih mencintai diskusi di warung kopi.

Maklum, kini diskusi di warung kopi seperti sudah langka. Sudah menjadi bagian kaum-kaum minoritas. Kaum pinggiran yang tak ada teman. Tahu kenapa? Karena semua sudah ''ndiluk''. Asyik dengan gadget-nya masing-masing. Tak peduli kanan-kiri. Ada teman maupun tidak, yang penting ''ndiluk''. Tak pelak, mereka yang diskusi itu bak oase di padang keheningan para generasi ''ndiluk.

Tentu, apa yang mereka sampaikan tidak ada yang salah. Karena kalau salah, itu temannya syaitan.

Bagi penulis, korupsi itu tidak kenal kaya maupun miskin. Tidak kenal gaji besar maupun kecil. Tidak kenal gaji layak atau tidak. Bahkan, tidak kenal pejabat atau juru parkir (jukir).

Simpel saja. Korupsi itu keinginan yang kemudian ada kesempatan. Selama tidak ada keinginan. Tentu tidak akan mengambil uang yang bukan haknya. Tentu tidak akan menerima amplop atau suap. Tentu tidak menghinati profesinya. Dan, tentu mereka akan takut memberikan makan yang tidak halal untuk anak dan istrinya.

So, tidak perlu kita menghujat mereka yang korupsi. Cukup kita berdoa saja, semoga kita tidak punya keinginan untuk ke sana (ingin mengambil uang yang bukan hak kita. Ingin dan berharap menerima amplop atau suap. Ingin menghinati profesi. Dan, ingin memberikan makan yang tidak halal untuk anak dan istrinya). (*)

@atok_baiq

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun