Mohon tunggu...
Maman Imanulhaq
Maman Imanulhaq Mohon Tunggu... Anggota DPR RI -

Ketua Lembaga Dakwah PBNU, Anggota DPR RI Periode 2014-2019, pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka, penulis buku "Fatwa dan Canda Gus Dur" dan Antologi Puisi "Kupilih Sepi".Email:kang_maman32@yahoo.com, Twitter; @kang_maman72. Ketik: Kyai Maman>kangmaman100’s chanel www.youtube.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menagih Komitmen Negara untuk Memenuhi Hak-hak Anak dari Kelompok Rentan

21 November 2016   11:03 Diperbarui: 21 November 2016   11:22 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam satu dasa warsa terakhir, indeks kekerasan atas nama agama dan keyakinan di Indonesia mengalami peningkatan cukup signifikan. Berdasarkan catatan The Wahid Institute dalam Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi Tahun 2013menyatakan bahwa terdapat banyak kasus pelanggaran dan intoleransi yang tidak terselesaikan yang mengakibatkan nasib korban semakin tidak menentu. Korban di sini saya ingin tegaskan termasuk anak-anak di dalamnya yang tidak bisa kita abaikan begitu saja. Beberapa kasus yang masih menggantung antara lain, pengabaian nasib pengungsi Ahmadiyah di Asrama Transito Mataram NTB (7 tahun), pelanggaran hak rumah ibadah GKI Yasmin Bogor (5 tahun), pelanggaran hak rumah ibadah umat muslim Baluplat NTT (3 tahun), pelanggaran hak rumah ibadah HKBP Filadelfia Bekasi (2 tahun), nasib pengungsi Syiah Sampang di Jawa Timur (1 tahun).

Seluruh pelanggaran di atas umumnya terjadi atas dasar tekanan dari oknum-oknum kelompok mayoritas yang juga memberikan label terhadap beberapa kelompok minoritas sebagai “sesat” atau “berbeda”. Beberapa kasus juga menampilkan fakta bahwa perbuatan tersebut turut dilakukan/didukung oleh negara melalui ragam kebijakannya serta peraturan yang berlaku. Padahal, keyakinan seseorang tidak boleh dijadikan landasan untuk melakukan intimidasi terhadap dirinya. Diskriminasi dan intimidasi terhadap kebebasan beragama dan keyakinan seseorang/kelompok minoritas merupakan pelanggaran HAM. 

Bagaimana seharusnya kita mendorong peningkatan pemahaman masyarakat terhadap HAM dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, sehingga mampu menjadi kunci agar kekerasan atas nama agama setidaknya tidak lagi terulang. Penegakan dan kesadaran HAM juga merupakan kunci untuk meletakkan peran manusia secara proporsional di dalam memelihara kehidupan beragama dan berkeyakinan secara damai. Karena kepalan tangan yang kita gunakan untuk memukul orang lain yang kita hakimi sebagai “sesat”, tak serta merta membuat kita jadi orang yang lebih benar.

Dalam pusaran kasus kekerasan agama/keyakinan, lagi-lagi kelompok minoritas agama dan keyakinan selalu yang menjadi korban. Kelompok minoritas agama dan keyakinan akhirnya menjadi kelompok rentan, termasuk di dalamnya ada anak-anak yang secara universal harus kita lindungi hak-haknya. Sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) bahwa yang dimaksud dengan Anak adalah “setiap manusia” yang belum berumur 18 tahun. “Setiap manusia” berarti tidak boleh ada pembeda-bedaan atas dasar apapun, termasuk atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, kebangsaan, asal-usul etnik atau sosial, kekayaan, cacat atau tidak, status kelahiran ataupun status lainnya, baik pada diri si anak maupun pada orangtuanya. Jika kita melihat kembali konsensus universal tentang perlindungan anak sebagaimana tersebut diatas, maka sudah seharusnya sebagai bagian dari bangsa-bangsa di dunia, Indonesia secara sungguh-sungguh berkomitmen untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak dari kelompok rentan minoritas agama dan keyakinan tersebut.

Pelanggaran HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan juga seringkali menjadi pemicu dari pelanggaran hak lainnya terhadap kelompok minoritas, misalnya anak-anak dari penganut Syi’ah di Sampang Madura yang tak bisa sekolah karena terusir dari kampung halamannya atau pengusiran paksa dan kekerasan fisik yang dialami oleh jemaat Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat. Dan yang paling terkini adalah ratusan anak-anak dari eks Gafatar yang diusir paksa dari Pulau Kalimantan juga mengalami trauma psikologis yang luar biasa. Padahal, HAM memiliki prinsip ‘saling terkait’ (interdependentdan interrelated)yang berarti untuk dapat melaksanakan pemenuhan suatu hak, hak lain harus terlaksana terlebih dahulu dan di antaranya sama sekali tidak dapat digantikan/ditukar satu dengan yang lain. Nah, dalam konteks inilah, Negara semestinya berkomitmen untuk memberikan perlindungan khusus sesuai amanah KHA tanpa terkecuali kepada kelompok rentan tadi.

Isu dan tantangan perlindungan anak, terutama bagi kelompok rentan minoritas agama dan keyakinan ini harus segera dijawab oleh pemerintah dengan membuat langkah-langkah konkrit melalui perencanaan terpadu (integrated planning) dan membangun sinergitas dengan berbagai instansi terkait seperti Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, Kementerian Koordinator PMK, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, dan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak (P2TP2A) serta yang tak kalah pentingnya adalah mengoptimalkan peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Banyaknya situasi buruk yang dialami oleh anak-anak Indonesia khususnya kelompok minoritas dan keyakinan harus menjadi perhatian bersama. Selama ini instansi-instansi tersebut di atas belum sepenuhnya komitmen menjadikan isu perlindungan anak kelompok minoritas dan keyakinan korban kekerasan sebagai isu bersama (common issues). Dalam menjalankan perintah UU terkait anak sebagai sebuah produk kebijakan masih berjalan secara parsial. Sebagai contoh, negeri ini masih belum punya itikad baik dalam mengurus identitas anak. Fakta masih rendahnya pencatatan kelahiran, yang merupakan hak penting bagi anak untuk mendapatkan legalitas identitas dan kewarganegaraan. 

Berdasarkan data tahun 2011, tercatat baru 59% anak berumur 0-4 tahun yang telah tercatat kelahirannya. Persoalan lain masih terjadinya pernikahan anak, anak putus sekolah, anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang bekerja, anak korban kekerasan atas nama agama dan keyakinan, anak korban eksploitasi seksual, dan sebagainya yang menunjukkan belum terlihat perubahan yang signifikan atas situasi mereka dari tahun ke tahun.

Perkembangan positif produk legislasi terkait anak yang semakin banyak belum diimbangi oleh komitmen pelaksanaannya yang masih jauh panggang dari api. Namun, di sisi lain, publik juga secara obyektif mengapresiasi secara positif tentang penarikan reservasi yang dilakukan Indonesia terhadap tujuh (7) pasal KHA dan menyambut baik bahwa prinsip umum hak anak telah masuk ke dalam konstitusi kita. Meski harus diakui belum ada pengakuan sepenuhnya terhadap prinsip respect to the view of the child serta prinsip best interest of the child sebagai wujud partisipasi anak. Sementara di dalam UU Perlindungan Anak, empat prinsip umum sudah dimasukkan, dengan catatan pada prinsip respect to the view of the childmesti sesuai asas kesusilaan dan kepatutan. Tambahan ini jelas menimbulkan multi tafsir di kalangan masyarakat.

Di Komisi VIII, kami harus fair juga dengan prestasi dan capaian beberapa lembaga-lembaga seperti KPAI dengan beberapa lembaga lain telah berhasil mendorong lahirnya keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menaikkan batas umur pertanggung-jawaban pidana dari delapan (8) tahun menjadi 12 tahun. Batas umur tersebut yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 yang merevisi Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sementara itu dalam kasus lain, kami di Balegnas juga sudah mendorong agar perubahan terhadap UU Perkawinan bisa dilakukan pada tahun ini. UU ini jelas telah melanggar prinsip-prinsip perlindungan anak dengan memperbolehkan menikah pada usia 16 tahun, adanya perkawinan di bawah tangan, kontrak dan mut’ah, kekerasan yang terjadi dalam praktek budaya.

Kita juga harus kembali mereview konsep partisipasi anak, yang pada hakekatnya adalah hak anak untuk didengar pandangannya. Hal terpenting adalah bagaimana memampukan anak untuk menyatakan pandangan, adanya ruang untuk menyampaikan pandangan, dan pandangan tersebut didengar dan dijadikan bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan dan dilaksanakan. Percuma kalau anak berbicara, tapi tidak didengar. Didengar tapi tidak dijadikan bahan pertimbangan dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun