Mohon tunggu...
Izzah Lunetta
Izzah Lunetta Mohon Tunggu... -

Bismillah... Mimpi adalah harapan yang tak pernah lelap...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Amnesia 17

2 Desember 2016   16:02 Diperbarui: 2 Desember 2016   16:44 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

19 November 2015. Sore yang mendung. Gemuruh sesekali terdengar. Perlahan bulir-bulir air langit menjatuh. Ya, hujan sedang melepas rindu pada bumi yang kering dalam penantiannya. Lirih terdengar suara tangis di sekitarku. Beberapa kali samar terdengar menyebut-nyebut Nama “Luna”. Mataku sayup. Perlahan menutup...

***

Usia 17 akan selalu menjadi momen yang indah bagi para gadis pada umumnya. Begitupun denganku, gadis berambut panjang yang baru saja merayakan momen indah di usiaku. Semalam aku merasa anggun dengan gaun berwarna merah muda. Dua anting bermotif bulan sabit di kedua telingaku, matching dengan kalung berliontin bulan sabit yang juga melingkar di leherku.

Hari ini, setelah bermalas-malasan akibat lelah acara ultah semalam, aku memanjakan diri membaca novel di teras kamar. Di tempat itu aku bisa melihat matahari terbenam dari sela-sela pohon rindang. Belum selembar aku membaca, tiba-tiba mengingat sesutu. Aku beranjak menuju kamar untuk mencarinya. Aku membuka pintu kamar. Betapa heran dan kagetnya aku ketika menemukan kamarku dalam gelap gulita di waktu sore.

PPPAAAKKKK…!!!!! Pintu kamarku tertutup sendiri. Aku mulai merasa takut. Beberapa saat kemudian, seberkas cahaya muncul perlahan-lahan dari sudut kanan kamar tempatku selalu sholat dan mengaji, seketika menerangi seluruh sudut kamar. Dinding kamarku dipenuhi oleh jam dinding yang entah dari mana. Berjejer dengan ukuran dan warna yang berbeda. Bibirku komat kamit mohon ampunan Tuhan.

Aku ingin keluar. Namun belum sempat aku membuka pintu, Ting-tong-ting-tong…Jam ke 17 di antara jam-jam itu berdenting. Seketika seluruh jam dalam kamar itu berhenti di pukul 17.00. Dan KREAAAAKKKKK…!!! Ternyata papan yang ku pijak sudah rapuh menyebabkan aku jatuh dari kamar di lantai dua ke lantai dasar rumah. Aku kehilangan kesadaran.

Beberapa menit kemudian, lagi-lagi suara jam itu berdenting dan membuatku terbangun. Aku mulai memperhatikan sekelilingku. Perasaan tadi aku jatuh dari lantai atas, kenapa badanku rasanya biasa aja? Harusnya lecet atau semacamnya. Tapi kok…???Tanyaku dalam hati. Ting-tong-ting-tong…Jam itu berdenting lagi. Aku merasa suara itu tidak asing. Alis kananku terangkat dengan ekspresi heran.

“Hahaha…!!! Tentu saja tidak asing, itu kan suara jamku. Alhamdulillah… Jamku ternyata masih melingkar di tanganku yang kusangka telah hilang.” Aku menepok jidat. Jam itu memang selalu berdenting setiap tiba waktu sholat. Aku lalu tersenyum lega karena telah menyadari apa yang baru saja kualami. Dan ternyata aku baru saja jatuh dari kursi tempatku membaca akibat ketiduran. Aku pun bangun dan masuk kamar untuk siap-siap menunaikan sholat maghrib meski dengan perasaan yang kurang nyaman atas mimpi aneh itu.

Beberapa waktu berlalu. Lelaki 170 cm meneriakiku dari bawah, “Woi Luna! Abang pergi nih..! Jangan ngelamun di atas sana!” Katanya yang kemudian melambaikan tangan dan memberi salam. Malam ini abang kuliah malam. Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan sambil membalas salamnya. Tiba-tiba pikiran nakal muncul dalam kepalaku. Aku lalu berjalan menuju kamar abang. Sudah lama aku penasaran. Tiap kali ingin masuk kamar abang, Luna selalu dilarang. Apa-apaan? Luna kan adiknya! Luna yakin pintunya nggak terkunci. Pikirku.

Tiba di ambang pintu kamar. Benar saja, pintu tidak terkunci. Tentu saja. Wahid sudah yakin dan percaya adiknya tidak akan berani masuk kamarnya. Aku adik yang nurut. Tapi kali ini aku nekad masuk kamar abang tanpa sepengetahuannya.

Dengan pelan aku membuka pintu kamar dan menutupnya kembali setelah aku berada di dalam kamar abang. Aku berusaha menguasai medan. Mataku lalu tertuju pada sebuah kotak di atas meja. Aku memberanikan diri membuka kotak meski aku mulai berdebar-debar karena tahu kalau yang kulakukan adalah salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun