Mohon tunggu...
Kacong Tarbuka
Kacong Tarbuka Mohon Tunggu... Media -

Hidup di tengah masyarakat agamis-kontekstualis membuat saya harus banyak belajar pada realitas. Terlalu banyak orang yang gampang mengkafirkan sesama, dan jarang orang yang bisa mengakui kesalahan, khususnya dalam perjalanan beragama. Mencari ketenangan dengan menulis, berkarya, serta mengangkat ketimpangan sosial menjadi bermartabat. Salam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Film Alif Lam Mim; Sebuah Konspirasi yang Terdidik

20 Juni 2017   11:30 Diperbarui: 20 Juni 2017   11:32 15593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Film Nasional; Yuk Upgrade Pengetahuan Kita

Catatan Film Alif Lam Mim; Sebuah Konspirasi yang Terdidik.

Hari film nasional bolehlah usai, tapi me-resensi sebuah film tak harus menunggu jatuh tempo HFM. Berikut resensi film Alif Lam Mim, secuil gagasan dari pensiunan jurnalis.

HAMPIR semua resensi film Alif Lam Mim yang mengemuka dikalangan publik adalah "menggambarkan" Kota Jakarta yang menggiurkan pada tahun 2036. Dimana kesemuanya serba elektronik. Tak ayal memang, jika semua penikmat film dibuat terkesima usai menonton film tersebut. Resenator terhipnotis akan digdyanya Jakarta di tahun 2036 tersebut.

Film yang dirilis pada tanggal 1 Oktober2015 yang diperankan oleh Cornelio Sunny, Abimana Aryasatya, Agus Kuncoro, dan aktor terkenal lainnya, bagi saya tidak hanya manarik dari latar yang mumpuni, melainkan situasi politik yang kian hari tambah tak bersudut. Lupa tujuan, hingga lupa tujuan yang sebenarnya diciptakan. Atau bahkan lupa sederet pengargaan, jabatan, hanya ilusi belakan.

Film yang diperankan oleh tokoh professional tersebut, bagi saya sudah cukup sukses. Bagaimana tidak? film tersebut, hanya beberapa hari tayang di bioskop. Usai itu dinyatakan film makar oleh berbagai kalangan. Nah, sampai saat ini belum jelas pula alasan kenapa film tersebut tidak tayang di bioskop. Ibarat penentang orde baru, yang akan akan dihukum tanpa diadili. Ngeri.

Ya, diakui atau tidak, perkembangan ideologi akan sejalan dengan tindakan aplkatif yang dilakukan seseorang. Tindakan tersebut, secara tidak sadar akan menyulap perubahan terhadap dirinya sendiri. Contoh, bagaiamana Buya Hamka, sedikit memberatkan nikah poligami, sebab ayahnya adalah poligami sejati. Namun, dimata Buya keadaan berpoligami itulah yang menyebabkan keadaan rumah tangganya menjadi tidak nyaman. Hingga memutuskan dalam tulisannya yang tertuang dalam Tafsir Al-Ahzar, sedikit memeberatkan terahadap poligami. Sedikit gambaran, bahwa kecenderungan ideologi seseorang tergantung pengalaman tersebut.

Ya, Film Alif Lam Mim yang dibinyangi oleh Cornelio Sunny (Alif), Abimana Aryasatya (lam), Agus Kuncoro (mim), meski seperaduan, namun mempunyai kisah yang berbeda dan cita-cita yang berbeda dalam menegakkan kebenaran, atau lebih fokusnya bagaimana membangun bangsa yang ideal.

Mari ulas satu persatu. ALif, lahir dari keluarga terpandang, kaya, dan sedikit tersohor. Namun, kebakaran dan perlakuan semena-mena dari orang tak dikenal (jahat) didapatkan keluarganya, hingga menyebabkan kedua orang tuanya tewas di TKP. Tangis air mata membasahi dirinya, sebab kemampuan bela diri yang dimikinya tidak bisa menyelamatkan keluarganya dari mara bahaya. Aparata Penegak Hukum (APH) pun saat itu, tak serius menyelesaikan problem keluarganya tersebut. Tak ayak, jika kasus kaluarga Alif kececer bak pindang dipasar di tradisional. Dibilang disentuh, ya disentuh. Dibilang disentuh, tak ada hasil yang signifikan. Penyesalan terjadi, hingga ia memutuskan untuk menjadi APH yang pro rakyat. Sebab, dalam dirinya APH hanya menyelesaikan dua perkara; duit dan keputusan transaksional. Ya ujung-ujungnya duit juga. Cita-citanya pun tercapai. Ia tak hanya menjadi anggota, mayor, bahkan ia menjadi kapten. Sepak terjangnya pun diakui oleh BIN saat itu. Tak ada operasi yang gagal ditangan Alif. Semua kejahatan takluk padanya.

Berlanjut ke Lam, sapaan akrab Herlam, merupakan sosok jenius, teliti, dan peka terhadap keadaan sosial. Hidup didunia pesantren tidak membuat ia "kuno" apalagi tak modern. Sering upgrade pengetahuan dengan membaca buku, dan membaca surat kabar. Dengan hobi membaca itu pula yang mengantarkan ia menjadi wartawan yang profesiional di Majalah Liberti Indonesia (dalam film tersebut). Mestinya hidup di pesantren, baik pesantren tersebut modern ataupun salafi ikut me-modernisasi santrinya agar upgrade pengetahuan. Tak ada lagi kabar, bahwa dalam dunia pesantren dilarang membaca buku selain kita. Sebab, bagi kita semua, keputusan tersebut merupakan kesesatan yang terorganisir.

Herlam menginginkan perubahan terhadap bangsa ini dengan cara memberikan infomasi yang ramah lingkungan. Bukan informasi yang hanya memperkeruh keadaan, seperti media sekrang ini (sebagian) yang harus hidup dari iklan, dan nantinya berdampak pada berita yang publish (sesuai keinginan pembca). Ya, itu tak masalah. Sebab, media juga butuh akaomodasi untuk memberikan sesuap nasi terhadap wartawan. Selagi berita itu layak dibaca, tak apalah, meski tujuan utamanya bukan informasi melainkan klaim iklan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun