Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Review “Surga yang Tak Dirindukan”: Kisah Dongeng dan Surga Seorang Perempuan

20 Agustus 2015   20:30 Diperbarui: 4 April 2017   16:42 12454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

“ Surga yang kita bangun bersama kamu hancurkan dan aku tak merindukan surga itu lagi..” kalimat yang dilontarkan Citra Arini (Laudya Cynthia Bella) begitu tegas kepada suaminya Prasetya (Fedy Nuril), ketika ia mengetahui suaminya di belakangnya menikah dengan perempuan lain. Sekali pun sang suami bermaksud baik. Dalam sebuah adegan lain Arini melabrak Meirose (Raline Shah) dengan kalimat dahsyat: “Kamu telah berhasil menghancurkan dongeng saya hanya untuk menghidupkan dongeng kamu..”.

Surga dan dongeng adalah dua kata kunci dalam “Surga yang Tak Dirindukan”. Dari awal film Arini diceritakan pandai mendongeng di depan-depan bercerita soal Madani (yang tersirat artinya negeri yang damai juga atau "surga" yang diciptakan di bumi). Ketika dia bekerja itu, seorang calon arsitek Prasetya mengantarkan seorang anak kecil murid taman kanak-kanak tempat ia bekerja yang ditolongnya ketika jatuh dari sepeda. Keduanya saling jatuh cinta, menikah dan punya seorang anak bernama Nadya (Sandrina Michael).

“Surga yang tak Dirindukan” bersetting soal di Yogyakarta, jelas berlatar belakang “kelas menengah muslim” - berbeda dengan sinetron Indonesia yang tidak menjelaskan asal usul orang yang menjadi kaya, dalam film ini tokoh utamanya santri pekerja keras- dan mencerminkan realitas sosial Indonesia, kehadiran kalangan profesional santri, pengusaha santri dan isteri mereka juga bebas berekspresi –sepanjang tetap memperhatikan keluarga- Arini digambarkan tetap berkarir sebagai guru TK berhijab. Terminologi santri yang saya gunakan di sini adalah muslim yang taat beribadah.

Ini kesan yang pertama dari Asma Nadia yang penulis novelnya (yang sama judulnya dari film ini) bahwa Islam tidak menolak emansipasi, Islam memperbolehkan perempuan bekerja, kesan saya dapatkan juga dari “Assalamulaikum Beijing”. Perempuan juga bekerja untuk ibadah seperti kata Arini : Dongeng itu adalah sedekah aku, di dalam dongeng aku menitipkan ilmu”. Sekali pun perempuan berkarir tetap menganggap suaminya adalah imam.

Kesan kedua yang saya tunggu ialah “Surga yang Tak Dirindukan” adalah cerita tentang poligami dari sudut perempuan yang saya tahu seorang santri. Kalau karya novelis religi lainnya seperti Habbiburahman El Shirazy dalam “Ayat-ayat Cinta” dari sudut laki-laki, tokoh perempuannya menyerah begitu saja ketika dipoligami-walau pun juga untuk keadaan tertentu-paling hanya menangis, tetapi Asma Nadia mendebatkannya dulu, walau pun akhirnya ikhlas.

Jelas Arini melawan. Apalagi setelah ia mengetahui ayahnya juga diam-diam berpoligami dan ibunya merahasiakan hal itu. Adegan ketika Arini didekati dua kawan Pras  berdiplomasi soal surga bagi perempuan saleha (dalam halini ikhlas dimadu) dijawabnya : bukan surga itu yang aku rindukan. Saya melihat adegan ini sebagai kemenangan perempuan dan para laki-laki menjadi pecundang. Lalu ketika menyabarkannya, Arini dengan lugas berkata: “Apa perempuan dilahirkan untuk ikhlas bila disakiti?” Disusul kalimat berikutnya: “Banyak kisah anak yang sukses dari single parent?”

Asma Nadia terasa ambigu dalam soal poligami. Di satu sisi bisa menerima, tetapi dalam hati kecil perempuan mana yang mau diduakan? Dalam dialog lain antara Amran (Kemal Phalevi) dan Hartono (Tanta Ginting) mulai soal An Nisa ayat 3 yang menjadi dasar poligami itu sudah lazim dalam diskusi para feminis muslim dan saya pernah ngobrol dengan beberapa dari mereka: ayat itu dibaca sepotong dan tidak dibaca utuh. Sementara dalam “Surga yang Tak Dirindukan” Prasetya menikahi Meirose agar tidak bunuh diri, agar anak yang dikandungnya tidak senasib dengan dirinya. Lewat opening scene ibu Pras bunuh diri ketika masih kecil. Pras juga menyesali dilihat dalam adegan air mukanya yang pucat ketika mendengar percakapan Arini dan ibunya soal ayahnya yang poligami.

Tokoh Meirose juga perempuan tangguh, walau pun awalnya rapuh. Kehilangan ayahnya yang kabur begitu saja. Ibunya meninggal ketika ia berusia 12 tahun dan ia bekerja serabutan agar rumahnya tidak dijual dan ia punya mobil. Ia kemudian bunuh diri karena ditinggal dalam keadaan hamil oleh ayah anak dikandungnya. Hanya saja dalam hal ini saya tidak habis pikir mengapa Meirose tidak meminta bantuan LSM advokasi perempuan yang bertebaran di Yogyakarta yang pasti membelanya habis-habisan? Laki-laki yang menghamilinya tidak akan bisa mengelak ditantang tes DNA. Satu-satunya lubang dalam cerita film ini. Tetapi di akhir cerita Meirose adalah perempuan yang tegar. “Ini pilihan aku,” kata Meirose di akhir cerita.

Perempuan tegar lainnya ialah Ibu Arini. Adegan yang suka ketika ia mendukung anaknya menelpon suaminya menanyakan apakah muntah Akbar (anak dari Meirose) padat atau cair? Padahal Nadya anaknya sedang mengadakan pertunjukkan dongeng dan menantikan kehadiran ayahnya menonton, sementara ayahnya harus menemani Meirose karena Akbar sakit mendadak. Standing aplaus untuk semua tokoh perempuan dalam film ini. Dan yang saya suka dalam film ini (juga film dari cerita Asma Nadia lainnya) tidak ada tokoh antagonis dalam film ini, apalagi tokoh perempuan yang mukanya dibuat (buat) menyebalkan dalam sinetron Indonesia.

Semua tokoh perempuan dalam film (saya kira juga novelnya) menentukan sendiri pilihan hidupnya, sekali pun mengakui bahwa kukungan budaya patriaki begitu kuat. Dari jajaran departemen acsting Laudya Cynthia Bella kemampuan aktingnya meningkat, natural benar dengan logat Jawanya. Raline Shah tumben main bagus. Dan yang paling bagus ialah Sitoresmi sebagai ibu yang ikhlas dan nrimo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun