Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (9-10)

1 Mei 2017   07:52 Diperbarui: 1 Mei 2017   08:58 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Koloni oleh Irvan Sjafari

SEMBILAN

Tempat Tak Diketahui. Waktu Tak Diketahui.

Lelaki tua itu tersenyum melihat wajah Alif yang memancarkan kekakuan, kecemasan, keraguan, tetapi sekaligus juga keinginan. Sementara bidadarinya jauh lebih tenang menanti Alif mengucapkan kata demi kata.

Dia menduga lelaki itu semacam wali hakim yang menikahkan pasangan di sini. Alif menyadari ratusan warga di sini sepasang-sepasang usia mereka belum mencapai 30 tahun.  Hanya berapa yang lebih tua dari dia. Di antaranya yang lebih tua dari Alif penghulu dan si Wali Hakim.   

Tempat duduk dia bersila di hadapan lelaki tua itu adalah ruangan bulan yang diyakininya sebagai masjid.  Alif sempat juga melihat ada seorang laki-laki tua lagi di kejauhan menyaksikan mereka. Rasanya Alif mengenalnya, tapi entah di mana.

Di luar para orangtua itu. Hanya tiga pasang manusia menyaksikan mereka.  Alif mengucapkan kalimat yang pernah dia dengar waktu sepupunya mengucapkan ijab Kabul.  Lalu apa yang dia berikan sebagai mas kawin? Alif pucat.

Tetapi bidadarinya memberikan sebuah kotak berisi cincin emas putih.  Dia tersenyum.  Cincin seberat 15 gram itu pemberian ibunya yang selalu dibawanya walaupun sedang bertugas. Alif ingat terakhir ditaruh di saku celana kombinya, tepatnya dalam dompetnya sewaktu naik pesawat. Jalan Tuhan buat dirinya, pikirnya.

“Iya, cuma ini yang aku punya,” kata Alif. Darimana bidadari itu menemukannya?

Namun Alif tidak merasa penting hal itu. Sebelum ijab kabul, ada sesuatu yang ingin ditanyakan dan tak pernah dijawab oleh perempuan itu. 

“Namaku Alif Muharram, kamu?” Dia menoleh ke wajahnya yang tertunduk.

Bidadari itu pelan-pelan menyebut namanya dengan tulus. “Zahra Puteri Fajar, Kakanda.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun