Segmen Dua
Memukul Sarang Lebah dengan Tangan Telanjang, Menginjak Sarang Semut dengan Kaki Telanjang
DUA PULUH TUJUH
Waktu dan Tempat Belum Diketahui
Alif menatap layar komputernya dengan wajah khawatir. Keringat dingin berjatuhan. Dia sudah tidak menghitung lagi sudah berapa minggu berada di “surga”, mungkin sudah memasuki bulanan. Berita berbagai situs memang memberitahukan tanggal, bulan dan tahun. Tetapi Alif tidak bisa mengecek apakah waktunya sama. Dia di belahan bumi mana dan kapan persisnya juga tidak tahu. Yang jelas Salat Jumat tetap jalan. Masalahnya Khatib tidak memberitahu kapannya. Mereka yang ke gereja juga rutin.
Yang jelas dia tidak mengakses media sosial, email dan telepon. Dia baru tahu siaran televisi yang ada di ruangannya rekaman yang bisa diambil dari waktu kapan saja.
Boleh jadi Anis bohong waktu bilang mengacak lokasi pulau itu. Bisa jadi pulau ini memang nggak ada di peta tetapi di planet lain. Ada semacam jalan dari tempat ini ke lokasi pesawat jatuh dan hanya bisa diakses penghuni pulau ini. Bukan dirinya.
Dia mulai berpikir ia diambil untuk Zahra dan memang kehidupan itu hadiah untuk jasanya dulu pada anak-anak pada Nanang. Jangan-jangan dia adalah manusia terakhir yang diambil dari planetnya sebelum dunia kiamat? Alif khawatir dia jadi paranoid.
Anis terkekeh-kekeh melihat rekan kerjanya kewalahan membuka akunnya. Media sosial pun tidak bisa diakses. Entah berapa lama Alif mengotak-atik internet. Bisa jadi juga data yang diakses sudah disimpan dan bukan waktu sebenarnya.
“Sudah diatur seperti ini sahabatku. Mereka di “sana” pun tidak bisa berinteraksi dengan kita.”
“Sepertinya aku diculik dan dibawa piring terbang waktu di laut ke planet lain. Bukan seperti cerita Zahra membawa aku dari laut bersama-sama teman-teman dan kupu-kupunya,” gumam Alif.