Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gajah dan Manusia dalam Sejarah: Bukan hanya Meninggalkan Gading

11 Agustus 2015   15:13 Diperbarui: 11 Agustus 2015   15:13 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Tulisan ini merupakan tulisan kedua saya untuk sejarah lingkungan hidup sesudah tulisan http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/seteru-atau-sekutu-harimau-dan-manusia-dalam-mitos-sejarah-dan-realitas_55804756e022bd9921871a9c. Sesudah harimau gajah adalah hewan liar yang punya hubungan menarik dengan peradaban manusia. Dalam kepercayan Masyarakat Hindu India terdapat Dewa Ganesa berwujud manusia dengan kepala gajah simbol pengetahuan. Thailand juga memberikan tempat bagi gajah putih.

Hubungan gajah dan manusia sudah ada pada masa prasejarah dengan adanya bukti artefak gajah diperkirakan pada era cro magnon sekitar 25.000 SM. Dalam sejarah peradaban manusia pelatihan gajah sudah dikenal di Mesir pada 3500 SM dan juga di India untuk tenaga kerja. Catatan sejarah juga menyebutkan Hannibal, panglima perang Chartago menyerang Roma dengan menggunakan gajah pada abad ke 3 SM.

Perburuan gading gajah sebetulnya sudah dimulai sejak abad ke 14 dan makin marak pada abad ke 19 dilakukan oleh orang Inggris. Pada 1870, misionaris terkenal Dr David Livingstone memperkirakan jumlah gajah Afrika dibunuh untuk pasar Inggris saja sekitar 44.000. Pada 1894, laporan dari Zanzibar dan Afrika Timur menyebutkan jumlah tewas untuk pasar internasional di 65.000 ekor. Selama akhir abad ke-19 di sekitar £ 250.000 dari gading pindah dari benua ke Eropa, Amerika Serikat, Asia, dan India (http://www.huckmagazine.com/perspectives/opinion-perspectives/elephants/)

Dalam sejarah dunia Melayu gajah adalah kendaraan raja . Di antara negeri yang mendudukan gajah sebagai terhormat adalah kerajaan-kerajaan di Sumatera hingga masa Kesultanan Aceh. M. Junus Djamil dalam bukunya Gajah Putih Iskandar Muda yang diterbitkan Lembaga Kebudayaan Aceh pada 1959 menyebutkan bahwa sejak 500 Masehi terdapat kerajaan di Piddie beragama Buddha dengan 136 kampung. Rakyatnya memakai pakaian dari kapas dan rajanya memakai pakaian dari sutera, bermahkota emas dan mengendarai gajah (halaman 5).

Kehormatan terhadap gajah ini berlanjut sampai masa Islam masuk. Dalam buku itu disebutkan gajah putih bernama “Biram Sattany” di Kerajaan Aceh. Dalam sebuah syair disebutkan

Gajah Putih Biram Sattany/Gajah yang Sakti Kendaraan Radja/Bulunya cantik putih baiduri/Kurnia Rabbi Azza Wa Djalla. Pada syair kedua disebutkan Penutup punggung permadani/sulaman sutera kuning warna/Pinggirnya hijau indah/berumbai putih yang kuning tua (halaman 56). Dalam kitab Rahlah Abu Ishak Al Makkarany disebutkan terdapat seorang sultan bergelar Machdoem Djauhan Berdaulat Malik Ibrahim di Peurelak memerintah antara tahun 1134-1158 Mengendarai gajah yang berhiasan emas warna-warni. Marcopolo mengunjungi Samudera Pasai pada 1265 M menyebutkan Sultan Malikus Saleh mempunyai kendaraan gajah. Pengembara dari Arab bernama Ibnu Batutah menyebutkan Samudera Pasai punya 300 tentara menggunakan gajah dengan perhiasan (halaman 62).

Beberapa cerita tutur menyebutkan bahwa Iskandar Muda ketika ia masih berumur lima tahun, kakeknya Sultan Alau’ddin Riayat Syah, memberinya anak gajah bernama Indra Jaya sebagai teman bermain. Ironisnya pada umur tujuh tahun, Iskandar Muda berburu gajah liar. Ong Hok Kham dalam tulisan yang menawan di Majalah Tempo, edisi 6 Oktober 1979 menyebutkan Iskandar Muda memiliki 40.000 pasukan terlatih. Lebih dahsyat lagi, Banda Aceh dikelilingi oleh gajah hingga 1.000 ekor, 200 kuda pilihan dan 5.000 meriam yang diimpor dari Turki serta mendatangkan teknisi dari sana.

 

Augustin de Beaulieu, seorang pelaut Normandi dalam kunjungannya ke Aceh juga menyebutkan bahwa gajah adalah bagian dari angkatan darat dan angkatan laut Aceh. Seperti yang ditulsi dalam buku Benard Dorleans.

Raja memberi nama setiap gajahnya, dan yang dipandang paling berani dan terpandai diperlakukan istimewa dengan diberikan paying kebesaran ketika sedang dipamerkan di jalan-jalan.. dengan cara itu raja menimbulkan keajaiban, karena cukup sering orang menyaksikan rajamenunggangi seekor gajah dan melarikannya kencang-kencang sambil berdiri, hanya bertumpu pada tongkat berkait yang dipakai mengendalikan gajah…Ketika sang raja sedang bersukaria, biasanya dua hari terus-menerus, dia pergi berburu dengan perlengkapan yang indah…(Dorleans, 2006 halaman 68)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun