Mohon tunggu...
Juragan Sego Tiwul
Juragan Sego Tiwul Mohon Tunggu... wiraswasta -

Open Minded, PD aja meski pendidikan pas2an, pernah kerja di KBRI (Kuli Bangunan Republik Indonesia) Kuala Lumpur

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dosa Pemerintah kepada Para “Satinah”

6 April 2014   09:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:00 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku bersyukur “katanya” pengadilan Arab Saudi urung melakukan eksekusi pada Satinah karena keluarga korban bersedia menurunkan denda diyat kepada korban menjadi 15 miliar rupiah dan bersedia menunggu pembayaran sampai lunas, entah benar atau tidak atau bahkan mungkin Satinah sudah di pancung kita tidak tahu. Pemerintah sepertinya sembunyi-sembunyi mengungkapkan masalah ini.

Pun begitu aku masih merasa keberatan atas pernyataan pemerintah(Presiden SBY) beberapa hari yang lalu yang menganggap pemberian diyat oleh pemerintah tidak adil bagi rakyat yang lain.

Dengan beberapa alasan saya menganggappemerintah “wajib” membayarkandiyat atas Satinah :


  1. Hutang luar negeri yang dibuat pemeritah (SBY) saat ini mencapai 3000 triliun (sama dengan 3.000.000.000.000.000.)jika di bandingkan dengan diyat Satinah (21.000.000.000) maka itu hanyalah 0,000007 persen dari utang luar negeri kita. Jadi bisa dikatakan jika pemerintah membayarkan denda diyat itu tidak akan merubah apa-apa terhadap keuangan Indonesia. Diibaratkan laut yang sudah asin tidak akan bertambah asin meski ditambahkan segunung garam.
  2. Mengherankan ketika seorang rakyat kecil (TKW) memerlukan bantuan untuk mempertahankan nyawanya tiba-tiba saja pemerintah (SBY) merasa tidak adil kepada rakyat yang lain. Apakah selama ini pemerintah (SBY) sudah berlaku adil kepada seluruh rakyat Indonesia? Kenapa Presiden (SBY) merasa biasa saja ketika Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, Anas urbaningrum, Aulia Pohan dan ribuan koruptor lain yang mencuri duit negara?
  3. Apakah anda percaya di pengadilan selalu dapat keadilan? Di pengadilan jika anda salah mengucapsatu kata saja bisa berarti hukumman pancung. Bahasa pengadilan bisa saja berbeda dengan bahasa orang awam. Seorang Satinah bisa saja tidak mampu membedakan pembunuhan berencana, pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan dengan tidak sengaja, pembunuhan karena terpaksa/membela diri dll. Sangat mengecewakan ketika pemerintah (SBY) juga banyak masyarakat Indonesia “ujug-ujug”percaya saja Satinah adalah pembunuh yang layak dihukum pancung. Yang justru harus dipertanyakan adalah kemanakah pemerintah (SBY) ketika seorang Satinah diperlakukan tidak adil seperti budak, mendapatkan kekerasan pisik dan psikis pernahkah pemerintah melakukan pembelaan?Kenapa tidak pernah terpikir apakah majikan tsb layak mendapat ganjaran atas apa yang telah diperbuat? Mengherankan jika orang Indonesia mudah percaya kepada pengadilan Arab Saudi daripada mempercayai rakyatnya sendiri. Pembunuhan itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan apalagi untuk seorang wanita, perlu situasi yang luar biasa seorang wanita bisa menjadi seorang pembunuh. Banyak TKI yang menjadi penjahat di luar negeri. Suatu ketika penulis juga pernah mengalami di rampok di luar negeri dan pelakunya adalah orang Indonesia. Meskipun demikian pemerintah dan rakyat Indonesia seharusnya bisa membedakan mana yang benar-benar jahat dan mana yang tidak. Bumi ini tidak bulat, ada gunung ada lembah ada laut ada palung dll, begitu juga hukum tidak selalu adil apalagi sudah menyangkut orang asing.
  4. Pemerintah seharusnya menghargai jerih payah pihak-pihak diluar pemerintahan seperti solidaritas sesama buruh migrant dan masyarakat umum yang dengan susah payah mengumpulkan sumbangan untuk pembebasan temannya yang kesusahan bukannya malah melemahkan dengan menganggap pemberian itu tidak adil buar rakyat yang lain. Tanpa solidaritas dan loyalitas rakyatnya maka Indonesia hanyalah sebuah kata tanpa makna. Pemerintah seharusnya berperan menjadi panglima dalam memupuk solidaritas sesama warga Negara bukannya bertindak sebagai pengecut.
  5. Seandainya Jepang atau Belanda masih menjajah Indonesia mungkinkah ada rakyat yang jadi pembantu di negeri orang? Saya menjawabnya tidak mungkin sebab tidak ada sejarahnya orang Jepang atau Belanda yang menjadi pembantu rumah tangga diluar negeri. Bukannya menyesali Bung Karno dan Bung Hatta memploklamirkan kemerdekaan Indonesia namun kita tidak bisa memungkiri bahwa kita belum bisa merealisasikan apa yang menjadi cita-cita kemerdekaan yang tertulis dalam UUD 45. Masalah kesejahteraan, keadilan sosial, kemiskinan dan cita-cita hidup layak telah membawa rakyat kita untuk berbondong-bondong menjadi TKI ke luar negeri. Jika anda pergi ke kampung-kampung ketemu rumah yang lebih bagus dari yang lain sudah pasti pemiliknya kalau bukan Pegawai Negeri maka yang punya pasti keluarga TKW. Banyak hal yang tidak bisa diberikan oleh negeri ini sudah diberikan oleh negara lain melalui TKI. Kenapa negeri ini seolah-olah menutup mata ataukah pemerintah terlalu bodoh untuk mengerti.
  6. Kemiskinan telah menjadikan pendidikan sulit dijangkau sebagian besar rakyat Indonesia. Yang pada gilirannya kurangnya pendidikan menjadikan seseorang tidak bisa berfikir panjang. Dan inilah yang terjadi pada sebagian besar rakyat yang miskin tidak hanya yang menjadi TKW tetapi juga yang ada di tanah air. Mereka hanya bisa memikirkan apa yang ada di depannya, ketika mereka mendapat perlakuan yang tidak adil maka mereka akan serta merta melakukan perlawanan, ketika mereka mendapat uang maka mereka akan cepat-cepat menghabiskan. Fenomena seperti ini seharusnya pemerintah sudah faham

Berdosalah pemerintah yang memegang amanat rakyat diserahi dana APBN lalu mengartikan keadilan secara sempit. 21 miliar untuk Satinah itu hanyalah sebutir debu jika dibandingkan dengan ketidak adilan yang diterima oleh rakyat yang terpaksa harus miskin dan terpaksa harus  bodoh dan terpaksa harus menjadi pembunuh karena pemerintah yang tidak mampu merelisasikan apa yang menjadi cita-cita kemerdekaan.

TKI tidak mengharap gelar PAHLAWAN DEVISA, tetapi hendaknya di hargai TKI sebagai bagian dari rakyat yang tidak mau merengek-rengek meminta bantuan sosial dari pemerintah atau mereka yang rajin berdemo karena menuntut diangkat jadi Pegawai Negeri, juga bukan bagian dari orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah.

Kenapa negeri ini lebih mudah memandang pengecut dan pengkianat bangsa (koruptor dan sebangsanya) daripada memandang TKI/TKW?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun