Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi; Adjunct Lecturer di Sekolah Tinggi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik (SGPP Indonesia); Pengurus Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Menghadapi Layar = Menghadapi Badan?

26 Desember 2016   08:24 Diperbarui: 26 Desember 2016   16:57 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Teknologi ponsel pintar (smartphone) sering disebut mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Kata “mendekatkan yang jauh” mesti didalami secara kritis. Apakah ini dekat sungguhan, ataukah perasaan dekat yang “semu” atau ilusif? Secara psikologis, mari kita uji perasaan kita sendiri, apakah menghadapi layar (teks maupun visual) sama dengan menghadapi badan? Samakah tingkat kedalamannya? Samakah tingkat kepuasannya? 

Demikian pula kata “menjauhkan yang dekat” harus diperiksa karena dengan dikembangkannya jejaring sosial yang “mendekatkan yang dekat” seperti NextDoor.com, teknologi justru menjadi sarana yang efektif untuk saling mengingatkan antar warga yang sudah saling kenal sebelumnya atau yang secara geografis memang berdekatan (dan dibuat menjadi semakin dekat). Aplikasi Smart City (seperti Qlue di DKI Jakarta) juga berpotensi mengarah ke hal seperti ini. Jadi, teknologi selalu memiliki dua sisi paradoksal semacam ini.

Di satu sisi, aktivitas sosial manusia tampaknya mengalami penggandaan secara kuantitatif. Kita dapat melihat diri kita sendiri, berapa banyakkah aktivitas sosial yang dapat kita lakukan, bahkan dalam satu waktu? Namun di sisi yang lain, kita dapat mempertanyakan kualitas dari sosialitas yang tampak mewabah tersebut.

Saya ingin mengajukan tiga buah pertanyaan terkait ini:

Pertama, apakah sosialitas yang kita lakukan itu merupakan “sosialitas yang asli, yang genuine”? Ataukah, “sosialitas citraan, yang selalu dibuat-buat”? Riset-riset menunjukkan bahwa kita hanya memproyeksikan citra terbaik kita dalam media sosial, terlebih dalam sebuah masyarakat yang semakin narsisistik. Atas motif perbandingan sosial, kita hanya membiarkan sisi ideal dari diri kita untuk tampak di mata orang lain. Menariknya, ada juga kenyataan bahwa ia yang sedang sering menampilkan yang terbaik di mata orang lain, justru sedang menyimpan kekosongan tersendiri dalam jiwanya.

Kedua, apakah sosialitas yang kita hidupi itu merupakan sosialitas yang berasal dari kebebasan kehendak kita sendiri? Ataukah, “sosialitas yang didikte”, “sosialitas salinan atau kopian?”, tanpa kita menyadarinya? Entah didikte oleh media itu sendiri, atau oleh pemilik media, atau oleh yang berkepentingan terhadap media. Mari kita refleksikan, misalnya, mengapa sering muncul perasaan urgen dalam diri kita untuk me-“like” atau men-“share” suatu posting di media sosial, untuk menjawab pertanyaan kedua ini.

Ketiga, apakah sosialitas yang kita langsungkan itu merupakan sosialitas yang didasarkan atas makna? Ataukah “sosialitas atas dasar ‘yang penting bersosialisasi’”? (karena jika tidak melakukannya, maka akan merasa “tertinggal”). Banyak dampak perilaku yang bermunculan dari motif sosialitas kita. Bergosip tentang kehidupan pribadi dari orang lain di media sosial, misalnya, menjadi terasa “lebih sah” apabila sosialitas yang kita hayati adalah sosialitas yang dangkal.

Sosialitas yang tergerus dapat cukup besar. Pertama, sosialitas diktean menyebabkan orang mudah konform atau ikut-ikutan dengan kecenderungan lingkungan yang dikerubungi oleh berbagai wacana yang diliputi banyak kepentingan. Akibatnya, orang sulit untuk menyadari pilihan sendiri (“Inikah yang aku mau?”) serta sulit mengambil keputusan dalam situasi sosial.

Kedua, sosialitas citraan menyebabkan orang menjadi saling canggung dalam perjumpaan sosial di dunia nyata. Oleh karena dalam dunia nyata, orang tidak bisa selamanya menutup-nutupi keadaan dirinya dan menampilkan hanya yang terbaik dari dirinya.

Ketiga, sosialitas yang dangkal menyebabkan berkurangnya kepekaan seseorang dalam membaca bahasa tubuh, ekspresi emosi dari orang lain, maupun mengekspresikan tubuh dan emosi sendiri, yang sangat dibutuhkan dalam negosiasi, persuasi, dan koordinasi sosial.

Berdasarkan paradoks kuantitas dan kualitas sosialitas disebutkan di atas, sosialitas manusia sebagai “makhluk sosial” memang mengalami keterancaman yang serius, jika faktor-faktor penurun kualitas sosialitas di atas tidak mampu kita tanggulangi. Oleh karena itu, penggunaan gadget hendaknya memperhatikan empat buah prinsip. Tekniknya bergantung pada masing-masing orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun