[caption id="attachment_192043" align="aligncenter" width="646" caption="Penampilan Diabolo di Klub Hot Shot, Tokyo / photo junanto "][/caption]
Akhir pekan lalu, saya diundang Kaneko-san, seorang kawan Jepang, untuk menyaksikan penampilan grup rock bawah tanah atau grup indie Jepang. Mereka manggung di salah satu klub di kota Tokyo. Kebetulan grup yang akan bermain adalah kawan-kawannya.
Sebagai pecinta musik rock, ajakannya tentu tak saya sia-siakan. Menyaksikan penampilan grup musik indie Jepang selalu menarik bagi saya, karena seolah menampilkan realita musik dari negeri tersebut apa adanya.
Secara umum, grup indie di Jepang tidak tumbuh sebanyak di negeri lain, terutama di barat. Anak muda di Jepang terlihat kurang tertarik dengan indie. Mereka lebih terpukau dengan kemilau J-Pop dan label yang menjanjikan ketenaran. Selain itu, untuk tampil di klub-klub bawah tanah, kebanyakan mereka harus membayar untuk dapat tampil. Dengan demikian, banyak bakat musik muda Jepang yang menghadapi kendala untuk berkembang.
Meski demikian, bukan berarti indie music tidak tumbuh di Jepang. Kota Tokyo sendiri terkenal sebagai salah satu arena pusat indie music di dunia. Berbagai band tampil di ribuan, atau setidaknya ratusan, klub bawah tanah atau “live houses” yang tersebar di setiap sudut Tokyo, mulai dari Shibuya, Roppongi, Ochanomizu, hingga Okubo. Setiap genre musik bisa kita temukan tampil di sana.
Malam itu, Kaneko-san mengajak saya untuk menyaksikan grup yang bernama "Diabolo". Grup itu mengusung Japanese Rock sebagai aliran musiknya. Diabolo secara rutin manggung dari klub ke klub di kota Tokyo.
Saat lagu pertama dinyanyikan, saya merasakan sebuah tarikan vokal dan musik yang lepas dan penuh semangat.
Diabolo adalah grup band yang berasal dari wilayah Yokohama. Personilnya adalah Misa-san pada vokal, Yukio-san pada bass, Daisuke-san pada gitar, Kouhei-san pada gitar, Hiroki-san pada keyboard, dan Tomo-san pada drum.
[caption id="attachment_192044" align="aligncenter" width="614" caption="Diabolo di panggung / photo junanto"]
Satu hal menarik dari Diabolo adalah, keenam personilnya bukan musisi profesional. Mereka adalah para “salary man”, atau sebutan bagi kaum pekerja di Jepang yang artinya “orang gajian”, atau karyawan yang bekerja di perusahaan.
Keenam personil Diabolo memang bekerja di berbagai perusahaan Jepang di kota Tokyo, seperti perusahaan IT atau elektronik. Meski bekerja sebagai salary man, sejak muda mereka memiliki hobi dan kecintaan yang mendalam pada musik rock. Oleh karena itu, usai bekerja, mereka berkumpul untuk berlatih band dan menyalurkan hobi mereka.
Di panggung, saya melihat Misha-san atau yang akrab dipanggil Mi-chan, tampil dengan vokalnya yang nyaring dan lantang. Diabolo membawakan empat lagu orisinal karya mereka sendiri, dan beberapa lagu J-Rock lainnya. Lagu karya Diabolo yang dibawakan adalah “Calling”, “Blue”, “Kirisane”, dan “Ai Ga Mahi Shisou”. Umumnya lagu tersebut bercerita soal hubungan antar kekasih dan cinta anak muda.
Usai menyaksikan Diabolo saya menyempatkan diri untuk berbincang dengan para personil band di belakang panggung. Ke depan, Diabolo berencana untuk membuat album indie dan terus manggung dari klub ke klub.
Penampilan Diabolo malam itu sangat menghibur dan penuh semangat.
Kalau teman-teman ada yang mampir ke Jepang, sesekali saya sarankan untuk datang ke klub-klub musik underground yang tersebar di sini. Cobalah untuk menyaksikan geliat indie music di sana, dan kita akan merasakan semangat anak-anak muda Jepang. Semoga Diabolo sukses selalu. Salam Indie !!
[caption id="attachment_192045" align="aligncenter" width="614" caption="Bersama personil Diabolo"]