Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

The Exception: Teka-teki Moral Antara Baik dan Buruk

10 September 2017   21:59 Diperbarui: 11 September 2017   08:34 2880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film The Exception (Sumber: www.psarips.com)

Setting film yang berlatar belakang Perang Dunia ke-II selalu menarik perhatian saya. Pada film-film tersebut saya dapat melihat berbagai dimensi yang diangkat saat Eropa berada dalam kekacauan akibat perang. Tak terkecuali di film The Exception. Film yang diangkat dari novel karya Alan Judd ini, membidik kisah menarik dari satu tradisi kekaisaran di Eropa. Terlepas dari plot ceritanya yang berisi ketegangan, melodrama, dan bumbu seks di ranjang, The Exception mengangkat satu periode sebelum tragedi dan horor PD II dimulai oleh Nazi.

Kisah film ini berkisar seputar masa-masa akhir Kaisar Prussia (yang kekuasaannya melingkupi Jerman) terakhir, yaitu Kaisar Wilhem II (Christoper Plummer) dan istrinya (Janet McTeer) saat berada dalam pembuangan di Belanda. Kaisar disingkirkan saat  Adolf Hitler dan Partai Nasional Sozialist-nya berkuasa di Jerman. Namun Hitler masih tetap mempertahankan kehidupan dan keberadaan Kaisar Wilhelm dengan tujuan agar ia dapat membongkar konspirasi dan kekuatan-kekuatan yang masih berada di sekitar Kaisar tersebut. 

Plot selanjutnya di film tersebut adalah tentang Kapten Brandt (Jai Courtney), perwira Jerman yang ditugaskan mengawal (dan memata-matai) Kaisar, dengan Mieke De Jong (Lily James), pelayan muda cantik yang bekerja di istana "pengasingan" Kaisar. Mieke, yang kerap menemani Kaisar memberi makan bebek, sambil sesekali sang Kaisar menggodanya, memiliki hubungan gelap dengan Brandt.

Adegan The Exception / source Hollywood Reporter
Adegan The Exception / source Hollywood Reporter
Hubungan Brandt dan Mieke, yang digambarkan dengan beberapa adegan ranjang, menjadi poros cerita film ini. Masalahnya menjadi rumit ketika Brandt mengetahui bahwa Mieke adalah seorang Yahudi. Apakah Mieke menjebak Brandt? Atau Brandt mengeksploitasi Mieke? Atau mereka hanya dua orang dewasa yang digerakkan oleh libido? Pertanyaan tersebut menjadi menarik dalam plot film The Exception.

The Exception adalah cerita tentang Orang yang Memiliki Karakter Pengecualian. Mieke de Jong, yang notabene seorang pelayan, di film itu digambarkan sebagai orang yang mengagumi filsuf Jerman, Friedrich Nietzche. Buku Nietzche yang berjudul "Beyond Good and Evil" menjadi bacaannya, yang di akhir perang kemudian buku ini dikirimkannya pada Kapten Brandt.

Kapten Brandt adalah tipikal orang yang memiliki kekecualian. Sebagai seorang perwira Jerman, Brandt adalah seorang patriot. Ia sadar akan tugas dan kewajibannya dalam membela negara. Namun ia juga seorang manusia yang tidak bisa menerima kekejaman dan kesadisan tentara SS saat ia turun di medan perang Polandia. Dalam hatinya ia mengutuk kejahatan perang. Baginya, negara Jerman dan militer Jerman seharusnya memiliki kehormatan dalam berperang, bukan dengan melakukan genosida pada anak-anak. Mieke melihat sifat ini dalam diri Kapten Brandt, dan mencoba meyakinkan bahwa keyakinan Brandt itu benar. "They are the rule," kata Mieke, "You are the exception."

Ini satu pandangan yang dimaksud oleh Nietzche dalam bukunya "Beyond Good and Evil". Kita perlu untuk dapat melihat sebuah peristiwa atau sikap. Sesuatu dapat dikatakan baik atau jahat, sangat bergantung pada keyakinan dan pemahaman seseorang. Kita perlu bergerak melebihi apa itu baik dan apa itu buruk. Karena keyakinan kita bisa jadi bergantung pada berbagai variabel, apakah itu ideologi, keyakinan, peraturan, ketentuan, atau suara hati. Melakukan pembantaian, pembunuhan, atau teror, pada orang atau kaum yang dianggap liyan, mungkin bisa dianggap benar dilihat dari satu keyakinan agama atau politik. Tapi suara hati bisa mempertanyakan apakah keputusan itu baik secara moral. Hal inilah yang menjadikan Kapten Brandt sebagai The Exception.

Kita melihat dunia saat ini diwarnai oleh berbagai ketegangan dan penghancuran. Saling menghasut dan menebar ujaran kebencian. Satu kelompok merasa benar dan menganggap yang berbeda itu salah, tanpa saling menghormati. Kita begitu mudah marah, begitu mudah tersinggung, dan begitu mudah menebar kebencian pada kelompok lain yang berbeda. Semua tentu memiliki alasan yang bisa jadi dijustifikasi secara baik, bisa dari sisi kepentingan politik, agama, ataupun kebenaran suku dan ras. Tapi apakah itu betul-betul baik? Mungkin kita perlu mempertanyakan sekali lagi sebelum bertindak.

Film The Exception seolah mengingatkan kita bahwa di balik apa yang tampak dan apa yang banyak orang yakini, kita bisa jadi pengecualian apabila mau mendengar suara hati. Tentu hal ini bukan sebuah langkah mudah, apalagi di tengah kehidupan dunia yang bergerak cepat di tengah media digital. Tapi mari kita berusaha untuk menjadi orang baik, orang yang dikecualikan. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun